Belum lama ini masyarakat dihebohkan dengan kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) secara drastis dan Iuran Pengembangan Institusi (IPI) yang disebabkan oleh Permendikbudristek 2/2024 tentang SSBOPT. Dalam pengaturan baru ini, biaya kuliah untuk menempuh pendidikan tinggi nominalnya tidak berkesesuaian dengan kemampuan masyarakat Indonesia secara umum.
Hal tersebut menimbulkan gejolak dan polemik di tengah masyarakat. Muncul berbagai aksi, penolakan, dan kecaman dari berbagai golongan di masyarakatβtermasuk mahasiswaβakan tidak rasionalnya biaya kuliah yang ditanggung oleh mahasiswa. Nominal UKT dan IPI yang meroket tak terkendali ini memunculkan pertanyaan di benak masyarakat, "Bagaimana peran negara dan pemerintah dalam pengelolaan pendidikan tinggi?"
UU Dikti
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Apabila menilik pengaturan dalam UU Dikti jelas dituliskan bahwa pemerintah harus menyediakan APBN yang dialokasikan untuk perguruan tinggi dan juga untuk mahasiswa. Dalam Pasal 89 huruf a UU Dikti diatur bahwa dana Pendidikan Tinggi yang bersumber dari APBN dan/atau APBD dialokasikan untuk PTN, sebagai biaya operasional, Dosen, dan tenaga kependidikan serta investasi dan pengembangan. Namun, hal ini justru tidak dijalankan dalam Permendikbudristek 2/2024 tentang SSBOPT padahal Permendikbudristek ini seharusnya muncul sebagai aturan pelaksana dari UU Dikti.
Dalam Permendikbudristek 2/2024, penghitungan UKT hanya didasarkan pada BKT yang mana penghitungan BKT berdasarkan lampiran Permendikbudristek a quo adalah BKT = SSBOPT/2. Berdasarkan rumus tersebut terlihat bahwa tidak ada variabel mengenai alokasi APBN sebagai dasar penghitungan BKT. Apabila kita kaitkan antara pengalokasian APBN sebagaimana dimaksud pada UU Dikti dengan Permendikbudristek 2/2024 tentang SSBOPT, seharusnya pengalokasian dana APBN sebagaimana diatur dalam UU Dikti dapat digunakan untuk mensubsidi bagian Biaya Tidak Langsung yang merupakan komponen penghitungan BKT.
Sesuai dengan Pasal 89 ayat (1) huruf c UU Dikti, dana pendidikan tinggi yang bersumber dari APBN/APBD juga dialokasikan untuk mahasiswa sebagai dukungan biaya untuk mengikuti pendidikan tinggi. Dengan penetapan BKT yang hanya didasarkan oleh SSBOPT menjadikan biaya yang ditanggung oleh mahasiswa tidak didukung oleh dana pendidikan tinggi yang bersumber dari APBN.
Kemudian, permasalahan yang jelas terlihat dalam Permendikbudristek 2/2024 tentang 2024 adalah hilangnya unsur "harus menyesuaikan dengan kemampuan ekonomi mahasiswa, orangtua mahasiswa, aatau pihak lain yang membiayainya" dalam rumusan bab mengenai penetapan UKT. Hilangnya unsur ini tentu dapat memberikan dampak besar dalam penetapan UKT di perguruan tinggi nantinya. Perguruan tinggi menjadi dimungkinkan untuk menetapkan UKT secara sewenang-wenang tanpa mempertimbangkan kondisi ekonomi mahasiswa sama sekali, dan menyebabkan jauhnya biaya kuliah dari keterjangkauan.
Selain mengenai penetapan UKT yang tidak lagi mencantumkan unsur harus mempertimbangkan kondisi ekonomi tersebut, adanya pengaturan dalam Permendikbudristek 2/2024 tentang SSBOPT mengenai PTN dapat menetapkan UKT paling tinggi sama dengan BKT, dan IPI dapat hingga 4 kali BKT tentu tidak bersesuaian dengan asas keterjangkauan dalam UU Dikti, terlebih penetapan ini tidak disertai landasan atau penghitungan yang jelas.
Diatasi Hingga Akar
Permasalahan kenaikan biaya pendidikan ini perlu diatasi hingga akarnya. Permendikbudristek 2/2024 tentang SSBOPT juga harus dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda dan Stafsus Presiden Bidang Inovasi Pendidikan dan Daerah Terluar Billy Mambrasar juga telah menyampaikan terkait diperlukannya pencabutan Permendikbudristek ini.
Setelah banyak menimbulkan protes dan penolakan dan menjadi perhatian bagi DPR serta Presiden Jokowi, Menteri Pendidikan Nadiem Anwar Makarim pada akhirnya membatalkan kenaikan UKT tahun ini dengan diterbitkannya Surat Edaran Dirjen Diktiristek Nomor 0511/E/PR.07.04/2024.
Tetapi, perlu dipahami Surat Edaran tersebut, baik judul maupun substansi pembahasannya ialah tentang "Pembatalan Kenaikan UKT dan IPI Tahun Akademik 2024/2025". Dalam hal ini, Surat Edaran tersebut hanya membatalkan kenaikan UKT dan IPI pada tahun akademik 2024/2025. Kenaikan UKT dan IPI sangat potensial terjadi di masa yang akan datang atau pada tahun akademik 2025/2026 dan seterusnya. Hal tersebut dapat terafirmasi dari pernyataan Presiden Joko Widodo yang menyebutkan bahwa UKT kemungkinan naik tahun depan.
Akibat dari hal tersebut, dan Mendikbudristek yang baru menindaklanjuti kenaikan biaya kuliah hanya dengan pembatalan yang bersifat sementara bahkan hingga kini belum ada perguruan tinggi yang merilis kebijakan terbaru mengenai biaya kuliah pasca adanya Surat Edaran Pembatalan, protes dan penolakan dari masyarakat kembali muncul. Termasuk hingga adanya permohonan uji materiil (judicial review) Nomor 31P/HUM/2024 terkait Permendikbudristek 2/2024 tentang SSBOPT.
Judicial review menjadi langkah yang harus ditempuh untuk memberikan akibat hukum yang mengikat kepada Mendikbudristek supaya mencabut atau sekurang-kurangnya merevisi Permendikbudristek tersebut. Juga, menjadi jalan bagi masyarakat untuk menagih peran dari pemerintah dan negara dalam memberikan pendidikan tinggi yang terjangkau bagi masyarakat. Perlu diingat, dalam pendidikan seharusnya pemerintahlah yang seharusnya memiliki tanggung jawab lebih, sedangkan masyarakat hanya sebagai bentuk kontribusi dan dukungan, bukan sebaliknya.
Al Syifa Rachman mahasiswa FH UGM, pemohon Judicial Review Permendikbudristek 2/2024