Ada yang lamat-lamat terjadi. Mengendap-endap tak disadari, namun membawa akibat yang sifatnya struktural dan berdampak persisten jangka panjang. Sayangnya persistensi itu bersifat mengerikan, mengubah struktur kesadaran manusia. Yang terjadi adalah berkembangnya masyarakat tanpa konteks.
Prosesnya berkelanjutan, walaupun sangat samar namun irreversible--tak dapat dikembalikan ke posisi semula. Ini seiring beralihnya modus komunikasi manusia, jadi termediasi komputer. Juga berbagai relasi informasi, yang mengandalkan penggunaan perangkat digital. Seluruhnya berkat perkembangan teknologi informasi, dan mendorong transformasi digital.
Transformasi digital memanfaatkan spektrum medium yang beragam, mulai e-mail, media sosial, hingga aplikasi layanan aneka keperluan manusia. Aktivitas transformasi jenis ini tak mempersyaratkan pertemuan di dunia nyata. Menyebabkannya dapat terjadi tanpa kenal batas ruang dan waktu. Ini karena, sarana digital yang digunakan mampu mengubah citra--teks, audio, visual maupun gabungan seluruhnya--menjadi simbol-simbol biner yang sederhana. Kesederhanaan yang menyebabkan daya tampung medium jadi tak terbatas. Mendorong produksi, distribusi dan konsumsi informasi sangat intensif. Bahkan dapat disebut: jadi ciri utama aktivitas manusia di peradaban hari ini.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berdasar data yang diterbitkan Statista, dan dikutip oleh Fabio Duarte dalam 'Amount of Data Created Daily (2024)', disebutkan: tak kurang dari 402,74 juta terabyte data, dihasilkan setiap hari. Jika angka ini diubah dalam skala zettabytes, setara dengan 0,4 zettabytes setiap hari, 2,8 zettabytes per minggu, 12 zettabytes per bulan dan 147 zettabytes per tahun. Lebih lanjut disebutkan, dalam kurun waktu sekitar 13 tahun pertumbuhan produksi-distribusi informasi itu mengalami peningkatkan sebanyak 74x. Dari hanya 2 zettabytes di tahun 2010, menjadi angka yang telah disebutkan di atas. Selain jumlah produksinya yang sangat besar, pertukarannya juga berlangsung sangat cepat. Seluruhnya melahirkan pola relasi berbasis kecepatan, dan mengemuka saat ini.
Kecepatan makin jadi ciri relasi antar manusia. Dengan syarat relasi dialihkan ke medium berbasis komputer. Sayangnya medium alihannya tak mampu menampung seluruh ekspresi manusia. Bahkan menghapus konteks dari informasi yang direlasikan, sebagai akibatnya.
Dalam pemanfaatan platform media sosial instagram misalnya, pemilik akun dengan pengikut dan diikuti kurang lebih 1700 orang, hanya memproduksi dan mendistribusi 1 macam konten. Juga merespon dengan satu cara, saat bereaksi terhadap konten akun lain. Setelah diperiksa, konten berelasi antar 1700 pengikut itu, masing-masing punya cara berbahasa yang berbeda, cara pemrosesan informasi yang berbeda, sehingga menghasilkan cara mempersepsi yang berbeda pula. Seluruhnya akibat latar belakang maupun field of experience khalayak yang beragam.
Konten 'bijaklah bermedia sosial', tentu akan menghasilkan respon yang berbeda untuk pengikut yang berliterasi memadai, dibanding pengikut berliterasi rendah. Juga konten yang mengetengahkan kunjungan ke lokasi wisata tertentu, akan menimbulkan spektrum tanggapan: mulai munculnya keinginan untuk mengunjungi lokasi wisata yang sama, hingga cibiran yang menganggapnya sebagai konten flexing. Ini akibat seluruhnya disajikan dengan satu cara. Normalisasi produksi-distribusi dan konsumsi satu konten, namun ditampilkan untuk menjangkau aneka perbedaan karakteristik pengguna akun ~juga dalam realitas yang prosesnya sangat cepat~ menyebabkan penghapusan konteks. Dan diikuti context collapse, keruntuhan konteks.
Context collapse berdasar Jannis Androutsopoulos, 2014, dalam 'Languaging when Contexts Collapse: Audience Design in Social Networking', merupakan istilah yang diciptakan oleh Marwick dan Boyd pada tahun 2011. Terjadi saat keduanya melakukan studi media di Twitter yang kemudian mendefinisikan keruntuhan konteks. Disebutkannya, keruntuhan konteks sebagai akibat teknologi yang melekat pada media digital menyebabkan penghapusan keragaman sosial. Seluruh keragaman dilebur jadi satu. Teknologi media digital yang terbatas, namun 'dipaksa' mewadahi aneka perbedaaan batas-batas konteks komunikasi, justru menghapus perbedaan yang ada. Dan menyebabkan keruntuhan, yang utamanya dialami media sosial.
Jason Bartz, 2020 dalam 'Social Media and the Effects of Context Collapse', menguatkan indikasi di atas. Bartz menyebutkan, dalam keseharian di dunia nyata, saat berinteraksi dengan khalayak yang berbeda, dilakukan dengan cara yang berbeda pula. Berbicara dengan teman dekat, orang tua, kolega, maupun orang asing, masing-masing dengan tampilan yang berbeda. Presentasi disesuaikan saat berpindah dari satu kelompok ke kelompok lain. Namun saat berelasi secara online ~dengan jumlah pengikut yang mencapai ribuan~ khalayak jadi sulit ditangani dengan cara masing-masing. Hanya satu presentasi untuk menghadapi aneka perbedaan.
Ini juga terkonfirmasi berdasar hasil wawancara Bartz dengan Mark Zuckerberg di tahun 2010. Zuckerberg menyebut, hari-hari adanya citra yang berbeda untuk orang yang berbeda-beda segera berakhir. Dan sebagai gantinya hanya ada satu identitas untuk seluruhnya. Scholarly Community Encyclopedia juga menyebut hal yang senada. Keruntuhan konteks merupakan gejala yang melekat pada komunikasi digital.
Pada keadaan sosial berbeda, dituntut dilakukannya pengelolaan ekspektasi khalayak, batasan privasi, maupun presentasi diri secara berbeda. Namun dalam realitasnya, konten ditujukan seakan untuk satu khalayak namun dapat dilihat oleh banyak khalayak. Ini menyebabkan kaburnya batasan antara identitas pribadi, profesional, dan karakter sosial secara online. Seluruhnya menghasilkan keruntuhan konteks. Keruntuhan yang sering kali menimbulkan kekhawatiran tentang privasi, keaslian dan dampak sosial dalam lingkungan digital.
Dari sisi khalayak--saat berposisi sebagai konsumen konten--respon harus segera ditampilkan. Ini bentuknya uraian kesadaran maupun tindakan. Manifestasi yang paling terlihat, berbentuk komentar. Hampir seluruh komentar dihadirkan dalam keadaan absennya konteks. Keadaan nirkonteks ini makin nyata, saat konsumen berhadapan dengan kecepatan produksi-distribusi konten. Atau konsumen konten akan dihadapkan pada risiko: tak turut dalam arus besar perbincangan.
Para simpatisan kemanusiaan Palestina misalnya, mengukur pihak-pihak di luar dirinya melalui diproduksi-distribusikannya konten, yang secara eksplisit mengecam Israel. Pihak yang tak melakukan hal yang sama di media sosial, dianggap tak pro perjuangan Rakyat Palestina. Karenanya layak dikecam, juga diboikot. Gerakan #Blockout2024 mengajak khalayak penggemar, memboikot pesohor dunia yang tak segera menunjukkan sikap Pro Palestina. Tak ditunjukkannya sikap secara eksplisit ~tanpa lewat pemeriksaan konteksnya~, menunjukkan pembelaan terhadap Israel. Tentu saja tak selalu begitu realitasnya.
Konten yang tak terlalu diperiksa ruang dan waktu peristiwanya, tak jarang pula dihadirkan untuk memancing sikap tertentu khalayaknya. Tentu sikap yang menguntungkan produsen konten. Jika keterbatasan media digital yang menghasilkan tampilan konten secara tunggal mendorong terproduksinya misinformasi, konten yang diproduksi dengan mengaburkan sebagian konteksnya, merupakan suatu bentuk disinformasi. Seluruhnya tereduksi akibat dipaksa tampil tunggal.
Hari ini, saat media digital makin mampu jadi wadah yang merepresentasikan kehidupan nyata, kaburnya batas ~yang nyata dengan yang maya~ adalah kelaziman realitas. Batas yang lebur, diikuti keruntuhannya. Dalam tingkatan kognisi, mental menghayati seluruh fenomena media digital seraya mengabaikan konteks. Ini yang lamat-lamat melahirkan masyarakat tanpa konteks. Masyarakat yang inteptretasinya terhadap realitas yang dihasilkan konten media digital, serupa dengan intepretasinya terhadap fenomena di dunia nyata. Manakala di media sosial sedang trending adanya orang dengan ciri tertentu tertangkap melakukan penculikan anak. Maka saat menjumpai orang dengan ciri serupa di dunia nyata, serta merta dituduh sebagai penculik, tanpa perlu menyertakan bukti-buktinya.
Demikian pula tindakan terhadap dunia digital serupa dengan tindakan terhadap dunia analog. Dunia digital dalam permainan Grand Theft Auto (GTA) yang mengijinkan adu kekerasan dan pelanggaran hukum, diterapkan sebagai perilaku di dunia nyata. Kekerasan dibanalkan, hukum diabaikan. Maraknya kejahatan begal atau pengabaian terhadap aturan lalu lintas, mungkin manifestasi tak dibedakannya dunia nyata dari permainan
Seluruh realitas di atas, diperburuk oleh sikap terburu-buru akibat banjirnya produksi-distribusi konten. Namun tak jarang berakhir sebagai kesalahan. Terutama saat konteks hadir lebih lengkap. Prasangka dan perilaku telah menelan korban, dengan kekerapan yang kian mengerikan.
Menghadapi kengerian yang makin mengemuka, nampaknya perlu menata ulang cara memahami realitas zaman ini. Intensitas berelasi yang mendorong respon cepat terhadap konten, tanpa menyertakan konteksnya. Jalan keluarnya restorasi konten.
Restorasi yang menghadirkan konten sebagai kemutlakan bersama konteksnya. Seluruhnya memerlukan latihan seksama. Termasuk menahan diri, untuk tak segera memberi respon. Bahkan jika risikonya tak dilibatkan dalam arus besar perbincangan. Namun jika kebenaran yang lebih utuh sebagai hasilnya, apa salahnya dikembalikan sebagai kesadaran?
Firman Kurniawan S. Pemerhati Budaya dan Komunikasi Digital & Pendiri LITEROS.org.
(rdp/rdp)