Transisi Energi Berbasis Komunitas Lokal

Mimbar Mahasiswa

Transisi Energi Berbasis Komunitas Lokal

Muh Rasikh Undipa Akbar - detikNews
Kamis, 20 Jun 2024 16:10 WIB
SIG berupaya pemanfaatan bahan bakar alternatif sebagai energi baru terbarukan (EBT). Mereka menanam 143 ribu batang pohon kaliandra merah.
Menanam kaliandra merah untuk sumber energi alternatif (Foto: dok. SIG)
Jakarta -

Kebutuhan energi meningkat pesat dalam beberapa dekade terakhir seiring meningkatnya industrialisasi dan elektrifikasi di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Sayangnya, hal ini tidak diimbangi dengan akselerasi penyediaan variasi sumber-sumber energi. Akibatnya, postur sumber energi global hari ini masih sangat bertumpu pada sumber energi fosil.

International Energy Agency menyebut bahwa hingga 2020 energi fosil masih menjadi sumber energi andalan dengan porsi mencapai 80% dari total keseluruhan. Ketergantungan dunia akan sumber energi fosil ini membuat peradaban umat manusia hari ini rawan terkena krisis energi global. Sebab, baik secara geografis maupun secara politik ekonomi, dalam sumber energi fosil terdapat ketimpangan yang bersifat struktural. Hal ini disebabkan oleh akses dan distribusi energi fosil yang tidak merata.

Ketidakmerataan akses bisa dilihat pada aktor yang menguasai akses ke sumber energi ini yang terbatas hanya pada penguasa modal secara besar mengingat tingginya kapasitas minimum untuk dapat mengekstraksi energi fosil. Selanjutnya, ketimpangan distribusi dilihat dari jumlah dan penyebaran energi ini yang terbatas di beberapa titik geografis saja.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Persebaran titik geografis sumber energi fosil tidaklah merata di tiap negara. Konsekuensi dari hal tersebut tentu saja ada pada ketergantungan beberapa negara di dunia terhadap sebagian kecil negara lain. Inilah yang menjelaskan mengenai maksud ketimpangan struktural pada akses dan distribusi energi fosil.

Implikasi dari hal tersebut adalah kerentanan sumber energi fosil ini akan suatu guncangan. Guncangan ini dapat berupa perubahan harga, gangguan pasokan, dan penipisan cadangan. Kerentanan ini membawa konsekuensi negatif seperti keamanan energi yang terancam, pengembangan ekonomi yang terhambat, dan kerusakan lingkungan.

ADVERTISEMENT

Berbagai dampak tersebut dapat kita lihat sendiri pada 2022 saat Rusia menginvasi Ukraina sesuai laporan International Energy Agency. Di sinilah pentingnya bagi kita untuk mewujudkan apa yang disebut dengan demokrasi energi.

Desentralisasi Akses

Demokrasi energi merupakan konsep yang dimaksudkan untuk melakukan desentralisasi di sektor energi secara akses dan distribusi sekaligus. Desentralisasi di sini berarti menolak dominasi bahan bakar fosil yang distribusi sumbernya tidak merata.

Selain itu, desentralisasi juga berarti menolak penguasaan akses energi oleh hanya segelintir pihak saja. Dengan demikian, perwujudan demokrasi energi nantinya menjamin ketahanan energi yang baik bagi masyarakat karena hilangnya ketergantungan, baik ketergantungan pada satu sumber energi tertentu saja atau juga ketergantungan pada sebagian kecil pihak yang menguasai akses energi.

Salah satu upaya yang dapat ditempuh guna mewujudkan demokrasi energi adalah mendorong transisi energi dari sumber energi fosil kepada sumber energi baru terbarukan (EBT). Dominasi sektor energi fosil perlu setidaknya dikurangi perlahan-lahan. Sebab, sebagaimana yang telah disebutkan di atas, energi fosil memiliki sifat terbatas secara jumlah dan persebarannya.

Karakteristik inilah yang membuat energi fosil bersifat kurang demokratis. Namun, transisi energi ke EBT saja tidak cukup. Kita perlu memastikan bahwa transisi ini dilakukan secara adil dan melibatkan semua pihak, terutama komunitas lokal yang selama ini sering terpinggirkan.

Kasus Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) di Danau Poso, Sulawesi Tengah menjadi contoh nyata bagaimana transisi energi yang tidak adil dapat merugikan masyarakat. Pembangunan PLTA oleh swasta di daerah tersebut telah merugikan masyarakat setempat karena mengganggu mata pencaharian masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan. Pengerukan dan pembendungan danau menyebabkan ekosistem alami ikan sidat terganggu dan berdampak negatif pada nelayan setempat.

Contoh kasus di atas memperlihatkan bahwa transisi energi ke energi hijau saja tidaklah cukup untuk mengupayakan demokratisasi energi. Kita perlu memahami bahwa urgensi transisi energi tidak semata muncul karena ancaman habisnya sumber energi fosil. Kemunculan wacana ini sendiri tidak dapat dilepaskan dari hadirnya ketimpangan struktural yang terjadi.

Ketimpangan terjadi sebab sifat sumber energi fosil yang terbatas, baik distribusinya maupun aksesnya. Oleh karena itu, ide transisi energi juga mengharapkan munculnya aktor baru di dunia energi. Sayangnya, kenyataan hari ini berbeda dengan apa yang diharapkan berkaitan dengan transisi energi. Ramainya perusahaan energi berbasis fosil yang mulai perlahan berinvestasi juga di sektor EBT tentu membatalkan impian adanya aktor baru di sektor energi.

Kita tidak boleh hanya berhenti di tuntutan untuk pengalihan energi. Tetapi, kita juga harus lantang menuntut secara lebih substantif keadilan energi yang merupakan inti gagasan dari konsep demokrasi energi. Keadilan energi menuntut sebuah paradigma baru dalam tata kelola sumber daya energi yang tidak hanya tentang efisiensi dan ketersediaan energi yang menjadi fokus, tetapi juga distribusi yang adil serta partisipasi masyarakat dalam prosesnya.

Kemudian, yang menjadi pertanyaan selanjutnya, bagaimana cara untuk mengupayakan secara maksimal keadilan energi, termasuk di dalamnya kebermanfaatan bagi komunitas lokal dalam proses transisi energi.

Lebih Berkeadilan

Segala upaya dalam transisi energi untuk mendemokratisasi akses dan distribusi energi perlu diarahkan kepada perubahan konfigurasi dan tata kelola energi supaya lebih berkeadilan. Upaya akan hal tersebut dapat dimulai dengan transisi energi secara mikro melalui pelibatan komunitas lokal yang ada. Komunitas lokal ditempatkan sebagai stakeholder aktif yang terlibat mulai dari inisiasi, implementasi, dan perawatan.

Desentralisasi transisi energi dengan mendorong komunitas lokal setempat mengembangkan pembangkit listrik berskala kecil merupakan bentuk upaya demokratisasi energi yang konkret. Adanya pembangkit listrik berskala kecil yang dapat secara langsung mengalirkan listrik ke masyarakat juga menguatkan ketahanan energi dan meningkatkan pemerataan elektrifikasi di masyarakat.

Adapun bentuk badan usaha yang dapat diaplikasikan dalam upaya ini adalah Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) atau koperasi. Sebagaimana yang kita ketahui, kedua bentuk badan usaha ini merupakan salah satu wujud implementasi konsep ekonomi kerakyatan yang termaktub dalam konstitusi kita. Harapannya, melalui penggunaan skema badan usaha tersebut dapat sekaligus menghidupkan ajaran ekonomi kerakyatan kita dalam kehidupan nyata perekonomian Indonesia.

Transisi energi ke EBT bukan hanya tentang pergantian sumber penggunaan dan pemutakhiran energi semata, melainkan juga tentang perubahan tata kelola energi sehingga lebih berkeadilan. Demokratisasi energi di tengah peningkatan kebutuhan energi global yang berimbas pada ancaman krisis energi menjadi hal yang penting dan mendesak. Mengupayakan transisi energi secara mikro menjadi tawaran yang diajukan dalam tulisan ini.

Upaya tersebut dilaksanakan melalui skema BUMDes dan koperasi sehingga komunitas lokal yang selama ini kurang dilibatkan dalam aktivitas pembangunan, termasuk transisi energi dapat menjadi subjek aktif dalam upaya mewujudkan demokrasi energi di Indonesia.

Muh Rasikh Undipa Akbar mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads