Menunggangi Nomokrasi
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Menunggangi Nomokrasi

Rabu, 19 Jun 2024 15:00 WIB
Zuhad Aji Firmantoro
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Ilustrasi fokus (bukan buat insert) Pilkada Langsung Ditinjau Ulang (Nadia Permatasari/detikcom)
Ilustrasi: dok. detikcom
Jakarta - Jagat hukum nasional kembali digemparkan dengan terbitnya putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 23 P/HUM/2024 tertanggal 29 Mei 2024. Kegemparan itu muncul lantaran putusan itu merubah pemberlakuan syarat batas usia calon kepala daerah yang diatur dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 9 tahun 2020 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 3 Tahun 2017 Tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati dan/atau Walikota dan Wakil Walikota.

Pasal 4 ayat (1) huruf d PKPU nomor 9 tahun 2020 mengatur usia minimal calon gubernur dan wakil gubernur adalah 30 tahun, sedangkan usia minimal calon bupati dan calon wakil bupati atau calon walikota dan calon wakil walikota adalah 25 tahun pada saat ditetapkan sebagai pasangan calon kepala daerah oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD). MA menyatakan pasal ini bertentangan dengan Pasal 7 ayat (2) huruf e Undang-Undang (UU) Nomor 10 tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang.

Alasan utama MA mengabulkan permohonan itu ada dua. Pertama, MA menemukan adanya perubahan titik mulai penghitungan usia calon kepala daerah yang dilakukan oleh KPU. Pada 2010, KPU menetapkan titik mulai penghitungan batas usia calon kepala daerah dilakukan sejak pendaftaran calon. Tetapi pada 2020 KPU menetapkan titik mulai penghitungan usia calon kepala daerah sejak penetapan pasangan calon. Perubahan itu membuat MA khawatir akan mencederai rasa keadilan warga negara dan tidak sesuai dengan prinsip kepastian hukum.

Kedua, pengaturan batas usia yang demikian dinilai memangkas original intent UU Nomor 10 tahun 2016. Terutama, dalam hal mengakomodasi kesempatan anak-anak muda untuk berpartisipasi membangun bangsa dan negara. Sayangnya MA tidak menjelaskan lebih jauh tentang original intent yang dimaksudkan.

Perdebatan Hukum

Sejak lama terjadi perdebatan hukum mengenai batas usia sebagai syarat pejabat publik. Mahkamah Konstitusi (MK) meletakkan pengaturan tentang pembatasan usia dalam urusan kepemiluan sebagai open legal policy atau dalam bahasa Indonesia disebut kebijakan hukum terbuka. Putusan MK Nomor 15/PUU-V/2007 mengatakan:

…Mungkin saja batas usia minimum bagi keikutsertaan warga negara dalam jabatan atau kegiatan pemerintahan itu diubah sewaktu-waktu oleh pembentuk undang-undang (UU) sesuai dengan tuntutan kebutuhan perkembangan yang ada. Hal itu sepenuhnya merupakan kewenangan pembentuk undang-undang yang tidak dilarang. Bahkan, seandainya pun suatu undang-undang tidak mencantumkan syarat usia minimum (maupun maksimum) tertentu bagi warga negara untuk dapat mengisi suatu jabatan atau turut serta dalam kegiatan pemerintahan tertentu, melainkan menyerahkan pengaturannya kepada peraturan perundang-undangan di bawahnya, hal demikian pun merupakan kewenangan pembentuk undang-undang dan tidak bertentangan dengan UUD 1945.

Selain putusan tersebut, MK telah menggunakan konsep kebijakan hukum terbuka dalam banyak putusan. Misalkan Putusan MK Nomor 16/PUU-V/2007, Putusan MK Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008, Putusan MK Nomor 3/PUU-VII/2009, Putusan MK Nomor 02/PUU-XI/2013 dan masih banyak lainnya. Berdasarkan putusan-putusan itu, dapat diperoleh pengertian kebijakan hukum terbuka sebagai suatu kebebasan bagi pembentuk suatu UU untuk membuat kebijakan hukum.

Kebijakan hukum terbuka sering diikuti dengan judicial activism (aktivisme yudisial). Sebuah teori tindakan hakim atau pengadilan untuk melakukan kontrol atau mempengaruhi institusi politik dan administrasi dalam membuat keputusan dan kebijakan. Wujud tindakan ini biasanya berbentuk putusan positive legislature atau pembuatan hukum oleh hakim melalui putusan pengadilan.

Pada sisi yang lain, dikenal teori judicial restraints (pembatasan yudisial) yang dalam praktiknya berbentuk putusan negative legislature. Dalam teori ini, pengadilan menahan diri untuk tidak membuat putusan yang bersifat mengintervensi kewenangan legislatif dan eksekutif dalam membentuk hukum. Sayangnya tidak ada penjelasan yang terang mengenai batasan open legal policy menurut konstitusi sehingga penerapan positive legislature dan negative legislature sering mengalami kekacauan.

Karena itu, kebijakan hukum terbuka rentan ditunggangi oleh kepentingan pragmatis. Untuk mencegahnya, perlu dimengerti bahwa penggunaan judicial activism secara objektif merupakan langkah untuk menghindari kekosongan hukum yang terlalu lama karena menunggu proses pembentukan hukum di lembaga legislatif.

Pasal 6 Peraturan MA Nomor 1 tahun tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil memberikan dua pilihan bentuk putusan MA. Pertama, bagi permohonan yang dikabulkan maka amar putusan MA menyatakan sebuah peraturan tidak sah dan memerintahkan kepada instansi bersangkutan untuk segera mencabutnya. Kedua, bagi permohonan yang tidak dikabulkan maka amar putusan MA menyatakan menolak permohonan. Itu berarti MA mengatur dirinya sebagai negative legislature.

Dalam perkara uji materiil kali ini MA menyimpanginya dengan membuat putusan bersifat positive legislature karena amar putusan MA membuat pengaturan baru mengenai titik awal penghitungan batas usia calon kepala daerah. KPU menghitung batas usia calon kepala daerah sejak tahap pendaftaran, kemudian diubah oleh MA menjadi sejak dilantik sebagai kepala daerah.

Kecurigaan

Banyak orang mencurigai MA sedang melayani kepentingan politik kelompok tertentu dalam putusan ini. Kelompok politik yang memiliki calon kepala daerah tetapi belum memenuhi syarat usia jika penghitungan usia minimal dilakukan sejak masa pendaftaran. Kecurigaan itu harus dimaklumi sebab MA membuat aturan main sendiri dalam putusannya dengan argumentasi yang bertentangan dengan pendapat hukumnya di putusan perkara sebelumnya.

Pada 2019, MA pernah melakukan uji materiil terhadap Pasal 4 ayat (1) huruf d Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2017. Objek yang diatur dalam pasal itu adalah sama dengan objek yang diatur dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d PKPU Nomor 9 tahun 2020 yaitu tentang syarat usia calon kepala daerah. Dalam amar putusannya Nomor 81 P/HUM/2019, MA menyatakan menolak permohonan uji materiil yang dimohonkan.

MA beralasan bahwa maksud dan tujuan penerbitan pengaturan syarat usia calon kepala daerah adalah untuk memberikan kepastian hukum atau sebagai pedoman mengenai sejak kapan penghitungan syarat usia bagi calon kepala daerah yang akan mengikuti kontestasi pemilihan kepala daerah. Pengaturan tersebut telah sesuai dengan asas pembentukan peraturan perundang-undangan, khususnya asas kepastian hukum. Selain itu, pemberlakuan syarat usia calon kepala daerah justru dianggap oleh MA sebagai perwujudan perlindungan hak setiap warga negara untuk dipilih dalam pemilihan kepala daerah.

Pendapat itu kini berubah menjelang tahapan pendaftaran calon kepala daerah yang akan dibuka Agustus 2024 mendatang. Tiba-tiba MA menyatakan bahwa pengaturan KPU tentang penghitungan titik awal usia calon kepala daerah yang dapat diubah-ubah adalah melanggar prinsip kepastian hukum dan rasa keadilan. MA menyatakan aturan itu tidak sah dan membuat pengaturan baru: berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk Calon Gubernur dan Wakil Gubernur dan 25 (dua puluh lima) tahun untuk Calon Bupati dan Wakil Bupati atau Calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota terhitung sejak pelantikan pasangan Calon terpilih.

Indonesia sebagai sebuah negara nomokrasi yang menjunjung tinggi kedaulatan hukum memiliki kewajiban untuk menghormati dan menjalankan putusan MA sekalipun risikonya dapat membunuh demokrasi. Dalam situasi yang dilematis seperti ini, penelitian Sebastiaan Pompe yang akurat tentang MA menjadi penting untuk kembali diingat. Pompe sejak lama telah melihat adanya infiltrasi kepentingan politik di tubuh MA.

Dari waktu ke waktu, hakim MA memiliki kecenderungan lebih sadar politik, lebih memahami arti penting status. Sayangnya, kesadaran itu justru diikuti dengan makin merosotnya standar profesional hakim. Poin-poin penelitian Pompe sudah sejak lama diacu dan dijadikan bahan perbaikan bagi MA. Mungkin sudah tiba saat sejarah kembali akan mengujinya.

Zuhad Aji Firmantoro dosen Fakultas Hukum Universitas Al Azhar Indonesia, salah satu pendiri Center of Economic and Law Studies (Celios)

(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads