Cita Rasa Politis dalam Perubahan UU MK

Kolom

Cita Rasa Politis dalam Perubahan UU MK

Deni Setya Bagus Yuherawan, Ribut Baidi - detikNews
Senin, 10 Jun 2024 12:44 WIB
Ketua MK Suhartoyo memimpin panel I sidang sengketa Pileg 2024 di gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Senin (29/4/2024). Sidang sengketa Pileg DPD, DPR RI, DPRD Provinsi/Kota/Kabupaten dimulai hari ini sampai tanggal 10 Juni 2024.
Foto ilustrasi: Andhika Prasetia
Jakarta -
Perubahan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi (UU MK) menuai pro-kontra di kalangan akademisi, praktisi, dan organisasi masyarakat sipil. Beberapa tokoh di Tanah Air, seperti Megawati Sukarnoputri dan Mahfud MD, mengkritik perubahan UU MK yang disinyalir memiliki nuansa politis yang kental.

Memang, dalam perjalanan sejarah terkait penyusunan berbagai macam undang-undang bahkan perubahannya, tidak lepas dari kehendak politik masing-masing lembaga yang berkepentingan, baik itu dari lembaga eksekutif (pemerintah), lembaga legislatif (DPR), bahkan dari lembaga yudisial (kekuasaan kehakiman) itu sendiri. Sehingga proses output dan outcome diakui atau tidak, tentu saja sarat dengan muatan kepentingan politik dan berdampak terhadap produk hukum yang dihasilkan sebagaimana keinginan para pengusulnya.

Makna Hukum

Ilmu hukum mengajarkan paling tidak terdapat empat makna hukum, yakni: (1) filsafati (idealis), (2) positivistik (formil-legalistic), (3) sosiologis, dan (4) sosio-politikologis. Dalam pandangan filosofis, hukum merupakan perwujudan nilai keadilan dan kebenaran. Secara legalistik-formil (formil-legalistic), hukum berisikan ketentuan dalam perundang-undangan yang disusun secara logis, konsisten, dan sistematis tanpa mempersoalkan ada tidaknya keadilan dan kebenaran di dalamnya.

Secara sosiologis, hukum hanyalah salah satu subsistem dalam sistem masyarakat yang keberadaannya mempengaruhi dan dipengaruhi oleh subsistem lain, seperti faktor sosial, ekonomi, budaya dan politik. Sedangkan dalam makna sosio-politikologis, hukum merupakan pengkhususan pada makna sosiologis. Hukum hanyalah perwujudan dan hasil akhir pertarungan kepentingan dan kompromi/kesepakatan politik (resultante), di mana kepentingan politik dominan yang akan mewarnai substansi hukum.

Persepsi dan Perspektif Hukum

Perspektif tentang hukum berdampak pada persepsi dalam situasi timbal balik. Mereka (baik orang awam, akademisi, praktisi maupun politisi) pasti memiliki perspektif dan persepsi hukum yang berbeda. Bagi kelompok yang bermahzab hukum alam akan memiliki perspektif dan persepsi tentang makna hukum yang filsafati.

Aliran positvistik akan berkutat pada persepsi bahwa hukum hanyalah undang-undang, sedangkan hal-hal di luar undang-undang dianggap sebagai bukan hukum (nir-hukum). Penganut mahzab sosiologis mempersepsikan hukum selalu berkelindan dengan faktor-faktor sosial secara resiprositas. Di sisi lain, ada juga yang mempersepsikan hukum hanyalah proses pertentangan kepentingan politik dengan hasil akhir berupa bagi-bagi sumber daya politik.

Faktor Politik sebagai Penentu

Postulat sosio-politikologis tentang hukum: tiada proses hukum (undang-undang), baik pembuatan maupun pelaksanaannya yang tidak dipengaruhi kepentingan politik dominan. Proses pembuatan dan pelaksanaan undang-undang sulit membebaskan diri dari proses tarik ulur kepentingan politik. Dalam proses ini, proses melibatkan faktor 'politik praktis-etis' yang dilaksanakan secara demokratis dan 'politik praktis-pragmatis' yang sebagian besar dilaksanakan secara otoriter.

Implementasi secara faktual politik praktis-etis dan politik praktis-pragmatis adalah proses hukum selalu dipengaruhi oleh faktor politik praktis-etis dan politik praktis-pragmatis sebagai variabel pengaruh. Politik praktik-etis dimaknai sebagai penggunaan kekuasaan (power) untuk menetapkan keputusan (decision making) dalam hal pembuatan hukum (public policies) dilakukan dengan pembagian (distribution) dan penjatahan (allocation) segala sumber daya dalam negara. Sedangkan politik praktis-pragmatis bermakna penggunaan sumber daya politik sebagai upaya meraih dan mempertahankan kekuasaan sebagai sarana memperoleh keuntungan pribadi dan kelompok.

Kinerja politik praktis-etis selalu berbanding lurus dengan politik demokratis dan selalu terhubung dengan kepentingan rakyat dan kehendak rakyat. Pembuatan hukum yang berdasarkan prinsip-prinsip tersebut akan menghasilkan hukum yang demokratis dan responsif. Hukum responsif merupakan gagasan hukum (legal ideas) yang menawarkan sesuatu yang lebih daripada sekedar keadilan prosedural, tetapi mampu berfungsi sebagai fasilitator dari respon terhadap kebutuhan dan aspirasi sosial terkait masalah-masalah sosial dan hukum.

Konsep hukum responsif sebagaimana dikembangkan oleh Nonet dan Selznick membedakan tipe hukum menjadi 'hukum otonom' dan 'hukum sebagai institusi sosial' yang melayani kebutuhan sosial dengan karakteristik hukum seperti pergeseran penekanan dari aturan-aturan ke prinsip-prinsip dan tujuan dan pentingnya watak kerakyatan (populis), baik sebagai tujuan hukum maupun cara untuk mencapainya. Sedangkan ciri utama tipe hukum otonom adalah adanya penekanan kepada aturan-aturan hukum sebagai upaya utama untuk mengawasi kekuasaan resmi dan tidak resmi, adanya pengadilan yang bebas, terpisahnya hukum dari politik, dan lembaga pengadilan tidak dapat menjamin, tetapi dapat mengusahakan penegakan hukum secara adil.

Kinerja politik praktis-pragmatis selalu terhubung dengan politik kekuasaan (sering terperosok menjadi otoriter). Hukum yang dibuat selalu berisikan kepentingan politik dominan dan kehendak penguasa. Hukum yang tercipta dari politik praktis-otoriter adalah hukum represif dan cenderung dijadikan alat kekuasaan represif dari pemerintah yang berkuasa untuk tujuan mempertahan kekuasaan (status quo).

Nuansa Politis

Me-review sejarah tentang perubahan UU MK pada periode sebelumnya, di mana UU No. 24/2003 tentang MK diubah menjadi UU No. 8/2011, kemudian diubah lagi menjadi UU No. 7/2020 yang sarat dengan kepentingan politik, karena di dalamnya mengubah tentang masa jabatan ketua dan wakil ketua MK, syarat usia hakim MK, serta masa pensiun hakim MK.

Perubahan UU MK pada 2024 ini juga hampir sama terkait dengan masa jabatan hakim MK dan mekanisme recall atau penarikan hakim MK melalui konfirmasi kepada lembaga pengusul telah mengindikasikan adanya cita rasa politis dalam proses perubahannya.

Kalau kita cermati dinamika dan proses kinerja perubahan UU MK saat ini, kita dapat memberikan jawaban atas pertanyaan: apakah revisi tersebut bercorak hukum responsif atau represif sebagaimana aspek tujuan hukum, legitimasi, aturan hukum, alasan hukum dan kebijakan? Mengingat, hukum responsif berdasarkan pada kompetensi, keadilan substantif, merupakan sub-ordinasi dari dan/atau terhadap prinsip-prinsip dan kebijaksanaan, memiliki tujuan yang dapat dipertanggungjawabkan.

Sedangkan hukum represif berdasarkan ketertiban, pertahanan sosial, dan demi kepentingan negara sendiri (raison d'etat), kasar dan detail, tetapi sangat kurang mengikat terhadap pembuat undang-undang, bersifat ad hoc, cepat dan khusus, serta sangat umum dan oportunistik.

Kita patut merenungi pendapat Jimly Asshiddiqie (2017) yang menyatakan bahwa di bidang eksekutif (pemerintah), legislatif (DPR), dan yudisial (kekuasaan kehakiman) sangat jelas adanya pemisahan yang tegas antara satu dengan lainnya. Legislatif mewakili rakyat yang berdaulat untuk membentuk undang-undang. Kewenangan rakyat yang berdaulat untuk mengatur dan menetapkan kebijakan negara yang dituangkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan haruslah bersumber dan berasal dari kewenangan mengatur yang dimiliki oleh rakyat yang berdaulat.

Pihak eksekutif hanya bertindak sebagai pelaksana undang-undang. Kalaupun pihak eksekutif berwenang untuk menetapkan suatu peraturan perundang-undangan, maka kewenangan itu harus didasarkan atas pendelegasian kewenangan yang berasal dari pembentuk undang-undang (legislative delegation of the rule-making power). Dengan kata lain, legislatif adalah pembentuk undang-undang, sedangkan eksekutif merupakan pelaksana undang-undang.

Alhasil, setelah melihat dinamika dalam proses perubahan UU MK saat ini, tentu kita prihatin terhadap legislatif yang tidak menunjukkan taringnya terhadap eksekutif sebagai pelaksana undang-undang. Mandat dan amanah rakyat yang berdaulat untuk menyampaikan aspirasinya melalui DPR sebagai perwakilannya di parlemen dalam perubahan UU MK hanyalah 'harapan semata', karena perubahan UU MK tersebut penuh dengan cita rasa politis yang mengeliminasi keran aspirasi dan pelibatan rakyat untuk perbaikan MK pada masa-masa yang akan datang.

Deni Setya Bagus Yuherawan Guru Besar Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Trunojoyo Madura (UTM) dan Ribut Baidi dosen Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Islam Madura (UIM)
Simak juga 'Saat Mahfud Bicara soal Revisi UU MK, Singgung Masa Jabatan Hakim Bertambah':
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads