"Tanggal 2 berangkat ya ke Afghanistan," ujar pemilik suara di ujung telepon.
Saya yang hanya menjawab siap, baru bisa mencerna sedetik usai sambungan telepon dari Pemimpin Redaksi detikcom Alfito Deannova itu terputus. Afghanistan? Aman nggak ya? Sekarang dikuasai Taliban kan? Dan tanda tanya-tanda tanya lain yang menjejali isi kepala tanpa ada jawaban pasti.
Singkat cerita tanggal 2 Juni 2024 saya bersama seorang rekan dari media TV nasional membersamai Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 Republik Indonesia Jusuf Kalla (JK) melawat ke Kabul, Ibu Kota Afghanistan yang sejak Agustus 2021 dikuasai Taliban. Delapan jam di ketinggian 13 ribu kaki terasa lebih lama karena kekhawatiran yang belum terjawab di dalam kepala saya, terlebih saya meninggalkan seorang istri dan 3 anak di Tanah Air.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
JK ditemani salah satu cucunya, Emir Thaqib Wilangkoro. Ada pula kolega JK lainnya: Sudirman Said, Hamid Awaludin, dan Husain Abdullah. Sesekali saya membuka obrolan sekaligus mencoba menenangkan diri.
"Setengah jam lagi landing," kata pramugari Gulfstream G650 kepada JK dan rombongan.
Pesawat lambat laun merendah. Tampak kontur pegunungan bersalju dari jendela pesawat. Lanskap perkotaan menyusul kemudian hingga roda pesawat menyentuh landasan di Kabul International Airport. Sembari pesawat merapat ke apron, terlihat pangkalan militer milik Amerika Serikat (AS) yang sudah ditinggalkan empunya 3 tahun lalu.
The moment of truth
![]() |
Kaki saya menginjak tanah Afghanistan pertama kalinya. JK disambut pria-pria tinggi berjenggot lebat dengan penutup kepala berupa serban. Pakaian berupa setelan kemeja dan celana dilengkapi rompi yang belakangan saya tahu namanya Perahan O Tunban tampak dikenakan mereka.
Sebentar saja kami berada di ruang tunggu bandara karena setelahnya konvoi mobil yang mengantar JK dan rombongan melaju. Saya diarahkan menumpang ke salah satu SUV Land Cruiser. Berat betul pintu mobilnya, pikir saya yang sejurus kemudian paham karena kaca mobil itu sudah dimodifikasi agar antipeluru.
Dalam rangkaian konvoi itu, Paspampres Grup D yang memang bertugas mengawal Presiden dan Wakil Presiden RI terdahulu tampak menyertai. Sedangkan dari Taliban tampak pula pengawalan yang bersenjata lengkap. Makin-makinlah isi kepala saya dibuat waswas.
Rombongan tiba di salah satu hotel. Hotel? Serius? Saya tadinya berpikir akan menginap di KBRI tapi ternyata ada hotel lho atau saya saja yang dihantui asumsi akan hal-hal seram tentang Taliban?
Tapi tapi tapi... Ada yang berbeda saat kami memasuki hotel bintang lima itu. Gerbang masuk ke hotel dibikin sedemikian rupa layaknya labirin. Ada apa gerangan?
Dari obrolan sana-sini saya jadi tahu bahwa kondisi ini diklaim akan mempersulit para pelaku bom bunuh diri apabila ingin melakukan penyerangan terhadap kantor-kantor pemerintahan atau fasilitas publik lainnya. Iseng saya berselancar mencari tahu soal hotel itu yang belakangan saya tahu pernah menjadi sasaran serangan pada 2008 dan 2014.
Saya yang awalnya waswas lantas mulai memahami alasan itu meski cukup ngeri juga bila masih ada yang nekat untuk menerobos pengamanan seperti itu. Pemandangan 'gerbang labirin' yang serupa tampak di kantor-kantor pemerintahan. Bila biasanya suatu kantor pemerintahan hanya dikelilingi tembok lalu diberi akses pintu gerbang, maka berbeda dengan di Afghanistan. Biasanya di bagian depan kantor sudah ada tembok-tembok tinggi yang menutupi pintu gerbang. Mobil yang hendak masuk akan diarahkan ke sisi-sisi tembok yang lebarnya paling sekitar 2 meter saja. Setelahnya mobil masih akan melewati gerbang utama untuk kemudian masuk ke halaman kantor. Di sisi-sisi jalan masih tampak para pejuang Taliban yang menenteng senjata. Mereka cukup santai dan berbaur dengan masyarakat yang berkegiatan seperti menuju ke pasar.
![]() |
Lambat laun saya yang tadinya khawatir mulai memahami dan menjadi lebih santai dengan pemandangan seperti itu sesuai dengan apa yang disampaikan Menteri Pertahanan Afghanistan Mullah Muhammad Yaqoob.
"Insyaallah bisa menyaksikan Afghanistan sangat aman dan tidak bahaya bagi siapapun," kata Yaqoob yang juga putra sulung dari pendiri Taliban Mullah Omar.
Dalam 1-2 hari di Kabul kegiatan saya didominasi di sekitar kantor-kantor pemerintahan itu. Dalam setiap sambutan selalu ada suguhan air minum berwarna kuning terang yang ternyata adalah seduhan saffron yang merupakan salah satu rempah termahal di dunia. Selain itu ada suguhan cemilan berupa almond, pistachio, hingga kismis kering. Selalu seperti itu.
Ya memang sih selama saya berada dalam rombongan JK yang notabene diundang Pemerintah Afghanistan, semua urusan berlangsung aman bahkan istimewa dengan segala jamuannya. Namun ada satu momen ketika saya dan seorang rekan sesama media dari Jakarta ingin mencoba jalan-jalan keluar hotel. Beda perlakuankah?
Setiap kali keluar hotel bersama rombongan, saya selalu dalam konvoi sekitar 10 rangkaian mobil di mana pada barisan terdepan adalah mobil polisi setempat dan mobil yang ditumpangi para pejuang Taliban. Keluar masuk 'gerbang labirin' hotel dan perkantoran menteri pun lancar jaya.
Nah, sore itu dan rekan saya yang dari salah satu media televisi nasional di Indonesia memberanikan diri keluar hotel dengan berjalan kaki. Ternyata tak cuma gerbang. Pintu-pintu untuk keluar hotel pun layaknya labirin. Di lapis terakhir, salah seorang komandan meminta seorang pejuang Taliban yang menenteng AK-47 menemani kami keluar hotel. Dia berpesan agar tak jauh-jauh darinya.
Kami pun tak sendiri. Dua anggota Paspampres turut menemani. Rekan saya dari media TV tampak mencolok karena menenteng kamera dengan ukuran cukup besar. Kami malah menjadi pusat perhatian. Terlepas dari itu suasana di Kabul cukup semarak. Tak jauh dari hotel ada banyak orang berjualan. Mobil-mobil berseliweran. Tak jarang pula arus lalu lintas tersendat hingga macet. Klakson bersahutan. Polisi dengan pentungan pun terjun ke jalan mengaturnya.
Singkatnya setelah puas mengambil gambar dan melihat suasana luar hotel yang ternyata cukup hiruk pikuk itu kami kembali masuk hotel. Komandan yang tadi mempersilakan kami keluar melakukan pengecekan badan satu per satu. Bahkan si pejuang Taliban yang menemani kami juga dicek detail seluruh bagian tubuhnya.
"Maaf ya, soalnya sudah prosedur," kata si komandan melalui penerjemah.
Kami pun maklum.
Tak berhenti di situ. Pemeriksaan masih dilakukan pihak hotel dengan menggunakan metal detector di dalam satu ruangan yang hanya boleh berisi 2 orang yaitu si pemeriksa dari pihak hotel dan orang yang diperiksa. Pintu ruangannya saja tebal terbuat dari besi. Saya yang awalnya mengekor diminta keluar ruangan. Oalah begini amat ya.
![]() |
Tapi lagi-lagi saya memaklumi. Warga Afghanistan sudah bertahun-tahun menghadapi perang dengan segala ancamannya. Maka prosedur pemeriksaan yang ketat wajib hukumnya.
Hari berganti. Saya dan rombongan diajak makan di salah satu restoran yang katanya cukup viral di Kabul. Lokasinya berada di kawasan yang kalau saya gambarkan seperti di Mayestik, Jakarta Selatan. Suasana di kawasan ini cukup berbeda. Banyak pertokoan dengan trotoar lebar yang memanjakan para pejalan kaki. Ada satu gedung mall yang saya salah kira karena tampak seperti perkantoran.
Dalam perjalanan itu saya mendapati pemandangan yang cukup mencolok. Berderet sedan yang sudah 12 generasi di Indonesia dari pabrikan asal Jepang: Toyota Corolla. Memang ada klub mobil di sini?
"Difungsikan jadi angkot," kata salah seorang staf KBRI di Kabul saat berbincang dengan saya.
Oalah, pantesan.
Sedan Corolla di sini beragam bentuknya meski sebagian besar tampak dirawat asal-asalan. Catnya mengelupas, penyok di sana-sini, baret-baret yang mungkin malah berkesan jadi aksesoris menempel di bodi mobil.
Keempat kaca jendelanya terbuka dan diisi orang-orang yang menumpang 'angkot' Corolla. Menurut staf KBRI yang saya ajak bicara itu, selayaknya angkot, sedan 4 pintu itu akan mengangkut penumpang sampai batas kursi saja dan tanpa rute. Jadi semisal saya kebetulan menggunakan jasa 'angkot' itu sendirian lalu di tengah jalan ada orang lain yang menyetop maka bisa saja saya akan seperjalanan dengan orang itu ke tujuan masing-masing.
Namun untuk perjalanan jauh, ada bus mikro seperti Elf yang bisa menampung lebih banyak penumpang. Ke depan, katanya, Afghanistan ingin membangun jalur kereta.
Lalu lintas di Kabul yaitu menggunakan jalur kanan di mana mobil-mobil didominasi dengan setir sebelah kiri. Lucunya, saya hampir-hampir tidak pernah melihat lampu lalu lintas. Di setiap persimpangan di Afghanistan terdapat tugu-tugu yang tampaknya menggantikan fungsi lampu lalu lintas. Jadi para pengguna jalan harus tahu diri ketika bergantian menggunakan lajur.
![]() |
Kabul Layaknya Mesin Waktu
Bagi saya yang sehari-hari bekerja di Jakarta, kehidupan di Kabul terasa seperti kembali ke tahun 90-an. Gedung-gedung yang tampak lawas ditambah mobil-mobil yang juga keluaran tahun lama. Jika di Jakarta masif sekali dengan tunggangan mewah, maka jangan berharap lebih ketika berada di Kabul.
Bagaimana dengan pemotor? Sangat jarang terlihat sebenarnya tapi ada sesekali pemotor melintas tanpa mengenakan helm. Tak ada motor bertransmisi matik di sini. Para pemotor itu kebanyakan menunggangi Honda CB 100 yang klasik itu.
Warganya sendiri tampak seragam mengenakan pakaian warna pastel. Para pria mengenakan pakaian tradisional berupa setelan baju lengan panjang dengan celana dilengkapi rompi dengan warna yang kontras. Sebagian besar melengkapinya dengan serban atau peci yang bentuknya agak berbeda dengan yang di Tanah Air.
Untuk para wanitanya didominasi baju muslim, ada yang mengenakan burqa, ada yang bercadar, serta ada pula yang tampak wajahnya. Mereka memenuhi sudut-sudut kota dengan kegiatannya masing-masing. Yang cukup membedakan yaitu masih ada pejuang-pejuang Taliban yang membawa senjata.
Afghanistan sendiri sebenarnya sedang berupaya membuka diri pada dunia. Salah satu pasal yang disorot yaitu mengenai kesetaraan gender. Hal ini pula yang membawa saya mengikuti kegiatan JK yang diundang pemerintah Afghanistan. JK dalam beberapa kesempatan menemui para pejabat pemerintah Afghanistan membahas perihal ini.
"Tadi kita bicara bagaimana pendidikan untuk perempuan, bahwa itu memang nanti tahap demi tahap akan dilaksanakan. Itu yang menjadi pokok (pembahasan)," begitu kata JK saat ditemui di Kabul, Afghanistan.
"Pada dasarnya, undang-undang dasar mereka membolehkan tapi akan dilaksanakan tahap demi tahap sehingga perempuan juga akan setara. Tadi kami tawarkan dan juga beberapa negara lain, bahwa pendidikan untuk perempuan, juga memberikan beasiswa untuk para perempuan untuk bersekolah di Indonesia dan banyak universitas menawarkan itu," imbuh JK.
'Assalamualaikum Brother'
Ada satu waktu menjelang makan malam, saya mengekor JK dan rombongan ke suatu lokasi bernama Bukit Wazir Akbar Khan di bagian utara Kabul. Dari kejauhan tampak bendera tauhid raksasa yang kini dijadikan Taliban sebagai bendera negara Afghanistan terbentang. Bukit yang ditata layaknya taman yang luas itu dilengkapi dengan replika Masjid Al Aqsa yang diberi nama Mullah Muhammad Omar dan Syekh Mahmud Effendi. Mullah Omar sendiri adalah pendiri Taliban.
Tumpah ruah warga Afghanistan di bukit itu sebab pemandangan Kota Kabul terbentang 360 derajat. Sungguh cantik!
Saya yang langsung mengarahkan kamera ponsel ke sana-sini tiba-tiba disapa. "Assalamualaikum, brother. Speaking English?"
Kaget dong. Sebab warga Afghanistan dominan berbahasa Pashto atau Pashtun. Lah ini seorang pemuda membuka obrolan dengan Bahasa Inggris.
Kami sempat berbincang sejenak. Dia bertanya saya dari mana dan siapa orang yang tampak penting yang memang sedari tiba selalu dikawal dan menarik perhatian itu. Saya jelaskan yang dimaksudnya adalah JK.
Obrolan kami tak lama karena memang JK dan rombongan setelah ini diajak makan malam oleh Afghanistan Chamber of Commerce & Investment (ACCI). Si pemuda yang tak sempat saya tanya namanya itu menutup obrolan dengan satu pertanyaan: How's Afghanistan? Beautiful, isn't it?
Saya jawab memang indah negaramu.
![]() |
Meski hanya 4-5 hari di Afghanistan atau Kabul khususnya, saya sedikit banyak memahami. Analisis ngawur saya begini: pikiran waswas sebelumnya saya ibaratkan ketika saya sebagai perantau datang pertama kali ke Jakarta yang dicap lebih kejam dari Ibu Tiri atau yang sering diberitakan penuh kriminalitas. Nyatanya sedasawarsa lebih saya mengadu nasib dan sejauh ini dinamika kehidupan bisa saya jalani.
Sedangkan Afghanistan yang sebelumnya pro-Barat, kehidupan bebas tapi korup tiba-tiba diduduki Taliban yang dikenal keras menerapkan hukum-hukum syariat Islam dengan segala tradisi yang dimiliki membuat syok masyarakatnya dan mata dunia. Wajar saja jika kini mereka ingin berbenah. Setidaknya pesan itu yang saya tangkap ketika bertemu sejumlah menteri Afghanistan, salah satunya Wakil Perdana Menteri 1 Afghanistan Mullah Abdul Ghani Baradar yang berkata begini:
"Kami ingin punya hubungan yang baik dengan semua negara. Kami pernah mengundang para pengusaha AS dan mereka ke sini datang dan melihat apa yang ada di lapangan. Di delegasi itu ada perempuan dan menangis menceritakan bahwa apa yang kami dengar yaitu propaganda di luar tidak benar dengan apa yang terjadi di Afghanistan," kata Baradar.
Kesan yang saya tangkap, para menteri Afghanistan ini memiliki harapan agar negaranya tidak lagi dipersepsikan tidak aman. Mereka ingin berhubungan dengan negara lain agar dapat membuka investasi dan menghidupi warganya. Mungkin pula itu doa warga Kabul yang belum terkabul: agar dunia melihat seperti apa mereka saat ini.
Dikucilkan karena stigma Taliban yang kadung melekat atau lambat laun dunia akan terpikat?
Dhani Irawan
Wartawan detikcom. Tulisan di atas tidak terkait kebijakan redaksi.
Simak juga 'Saat Taliban Tutup Paksa Salon Kecantikan di Afghanistan':