Seperti kata Imam at-Thurthusyi (w. 520 H.) dalam Sirajul Muluk, seorang pemimpin di manapun harus melayani, bukan dilayani. Jika berbisnis, haruslah merugi (khasir) janganlah untung (rabih). Pelayanan bukan semata tanggung jawab profesionalitas, melainkan juga ibadah yang diatur oleh syariat. Memberikan pelayanan prima bernilai ibadah yang berpahala besar di sisi Allah.
Terkait pelayanan dalam ibadah ini terdapat sebuah kaidah fikih 'ma la yatimmul wajibu illa bihi fa huwa wajib'. Perkara yang menjadi syarat kesempurnaan ibadah wajib adalah wajib pula hukumnya. Seperti pelayanan yang prima dan optimal, tak bisa terpisahkan dari syarat terlaksananya ibadah haji. Tidak berlebihan untuk mengatakan, tanpa pelayanan prima, pelaksanaan ibadah haji akan terganggu bahkan tidak sempurna.
Ibadah haji adalah ibadah fisik sekaligus ibadah mal (hartawi). Wahbah Az-Zuhaili (1997) dalam Al-Fiqhu Al-Islami menjelaskan, ibadah haji tidak akan maksimal tanpa kekuatan fisik dan kekuatan finansial. Kesempurnaan haji diukur dari kekuatan fisik dan harta jemaah. Oleh karenanya, memastikan manajemen pelayanan akomodiasi dan konsumsi adalah bagian dari memastikan fisik jemaah dalam kondisi prima (hlm. 17).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun di lapangan, kenyataannya penulis mendapatkan begitu banyak laporan dari seorang pembimbing haji, yang membawahi ratusan jamaah, misalnya aduan dari salah satu KBIH Surabaya, beliau dan rombongan tinggal di Misfallah. Dengan sangat berat hati, ia menyampaikan keluh kesah jemaah, yang dipaksa menerima kenyataan air kran hotel sering mati dengan waktu yang lama sehingga aktifitas terganggu, termasuk untuk melakukan kegiatan ibadah mahdlah, seperti wudlu, mandi dan shalat berjamaah, serta umroh sunnah terhambat.
Fenomena sering matinya listrik, kran macet, kloset mampet, lift rusak, keterlambatan katering, dan teknis-teknis lain selalu terjadi dari tahun ke tahun. Fenomena yang berulang semacam ini perlu dievaluasi, dan mendapatkan perhatian khusus, terlebih dalam kapasitas sebagai pelayan atau petugas penyelenggara, sebagai pemangku amanah, sekaligus mukhatab yang mendapat kewajiban syar'i dari agama.
Pemerintah sebenarnya sudah membuat Posko Aduan, bahkan dengan alamat elektronik yang jelas. Namun, selain sosialisasinya mungkin tidak maksimal, sehingga jemaah tidak memanfaatkannya dengan optimal, juga keterbatasan sistem aduan berbasis WhatsApp, e-mail dan barcode yang responnya cenderung pasif. Jadi ada kemungkinan aduan yang masuk tidak mendapatkan respon yang sigap. Jamaah mungkin membutuhkan aplikasi digital aduan model Gojek dan Gofood yang bisa dipantau progresnya setiap saat.
Kurang kesigapan terhadap kualitas prima layanan, bukan semata-mata merugikan jemaah, tetapi lebih fatal lagi sebagai bentuk ingkar menerima amanah. Karena agama mewajibkan pelayanan prima, sebagai syarat memaksimalkan dan mengoptimalkan pelaksanaan ibadah wajib (haji). Tanggung jawab semacam ini selain berdimensi humanis juga religius-ilahiah. Mengabaikan tanggung jawab pelayanan sama dengan mengabaikan kemanusiaan dan agama.
Kembali pada pandangan Wahbah Zuhaili (w. 2015), sarjana muslim dari Syuriah, ibadah haji adalah ibadah fisik. Oleh karenanya, pelayanan juga harus mempertimbangkan kebugaran fisik jemaah, melalui menu katering yang seimbang antara karbohidrat dan protein, baik protein nabati maupun hewati. Menu makanan yang terlalu didominasi karbohidrat dan kekurangan protein berdampak pada lemahnya fisik jemaah haji.
Berdasarkan kaidah fikih yang sama, memastikan layanan akomodasi (katering) harus juga memenuhi keseimbangan antara karbohidrat dan protein bukan semata-mata tanggung jawab profesionalitas dan kemanusiaan, melainkan juga berdimensi syar'i. Dengan kata lain, menyajikan menu yang berpotensi melemahkan fisik jemaah adalah tindakan yang menyalahi aturan sekaligus perintah agama.
Sampai di sini, penulis berharap, ada dua perkara yang perlu mendapatkan perhatian serius. Pertama, manajemen tenaga petugas yang dikelola dengan lebih baik. Pada kenyataannya, jumlah tenaga petugas haji sangat berlimpah, menurut data petugas haji tahun 2024 ada sebanyak 4,421 orang. Jika dilihat dari total jemaah haji Indonesia tahun 2024 sebanyak 241,000 maka berarti 1 petugas membawahi sekitar 54 sampai 56 jemaah.
Jumlah yang cukup berlimpah ini, jika dikelola dengan baik, mampu mengatasi keluhan-keluhan teknis seputar kran air macet dan lain-lain. Namun, pengelolaan untuk itu memang butuh visi yang lebih efektif-efisien, misalnya memastikan jemaah bisa melaporkan semua kendala yang dihadapi secara langsung dan real time, dan petugas bisa merespon secara on time.
Dengan kemajuan pesat teknologi informasi dan komunikasi di jaman seperti sekarang, membuat layanan real time dan respon on time adalah pekerjaan sederhana. Seandainya pemerintah sudah memikirkannya sejak awal. Karenanya, di masa-masa mendatang, perlu sekali adanya semacam skema tertentu, atau bahkan semacam aplikasi sigap darurat, untuk memastikan keluhan-keluhan jemaah ditanggapi dengan cepat dan efektif.
Pada pelaksanaan ibadah haji 2023, kasus listrik mati adalah salah satu temuan tim pengawas. Solusi untuk mengatasinya datang dari tim Pemondokan dan Penempatan, bahkan dengan tegas memberikan surat teguran kepada pihak hotel, meminta fasilitas tambahan seperti minuman dan snack. Namun, mengapa tahun ini terulang kembali dan belum ada mekanisme yang lebih baik dari tahun sebelumnya? Tentu saja jemaah menjadi korban dari pelayanan yang tidak maksimal.
Hemat penulis, tidak cukup mekanisme konvensional yang manual. Untuk mencapai pelayanan prima, mekanisme perlu ditingkatkan menjadi lebih digital, didukung sumber daya manusia yang sigap darurat. Manusia tidak boleh mengabaikan anugerah yang ditawarkan oleh perkembangan zaman, sains dan teknologi. Kalau tidak, manusia sendiri yang menanggung efek buruknya. Itu terbukti, ketika listrik hotel mati, tidak ada langkah antisipasi yang jelas, dan amal ibadah umroh sunnah pun tidak terlaksana.
Hal tersebut sudah diwanti-wanti oleh Imam ath-Thurthusyi, bahwa pemimpin harus melayani. Tidaklah sulit pemerintah membentuk tim operasional digital yang berbasis di ibukota Jakarta, bertugas mining data, mendistribusikan perintah, dan dijalankan oleh para petugas haji di tanah suci yang jumlahnya berlimpah. Namun, apabila komitmen untuk melayani ini memang belum pernah terpatri di hati, maka kesalahan-kesalahan yang sama di tahun-tahun sebelumnya kembali terulang tahun ini.[]
*Pengasuh Pesantren Kreatif Baitul Kilmah Yogyakarta dan Anggota Tim Pengawas (DPR RI) Penyelenggara Haji 2024.
(zap/zap)