Beli Rumah: Kredit atau Menabung?
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Beli Rumah: Kredit atau Menabung?

Jumat, 07 Jun 2024 10:30 WIB
Achmad Mochtarom
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
KPR-Tapera
Ilustrasi: dok. KPR-Tapera
Jakarta -

Rumah merupakan bagian kebutuhan dasar setiap warga. Banyak sudah program terkait kepemilikan rumah, seperti sejuta rumah, kredit murah, rumah gratis, rumah bersubsidi, rumah sewa beli, hingga rumah DP nol persen. Penyelenggaranya pun cukup variatif dari industri perbankan, properti, perumnas, BUMN karya, pemda, pemberi kerja, penyelenggara jasa keuangan non bank, hingga BPJS.

Berbagai upaya tersebut sepertinya belum mengatasi masalah kepemilikan rumah terutama bagi warga atau pekerja berpenghasilan rendah sehingga masih banyak warga yang belum memiliki rumah. Lalu, apa akar masalahnya? Harga rumah yang cenderung naik, sulitnya mencari pekerjaan atau berusaha, PHK, penghasilan warga yang belum layak sehingga daya beli tak terjangkau.

Sementara itu penyelenggara kepemilikan rumah mempunyai kendala keterbatasan dana, salah satunya BP Tapera, yang semula Bapertarum PNS (didirikan berdasarkan PP 14 tahun 1993). Salah satu masalah tabungan perumahan bagi PNS ini adalah hasil tabungan dan pengembangannya hingga akhir pension baru bisa digunakan untuk renovasi rumah, bukan membeli rumah. Demikian juga dengan Tabungan BPJS hingga akhir pension hasilnya belum bisa digunakan membeli rumah. Artinya, membeli rumah dengan cara menabung nyaris tidak mampu mengimbangi harga rumah.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sejak terbitnya PP 25 tahun 2020, sepertinya pemerintah berusaha mengumpulkan dana kepemilikan rumah dengan cara memperluas kepesertaan, selain pegawai negeri kini mencakup pekerja bahkan seluruh warga wajib ikut Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Akhir-akhir ini kewajiban tersebut mendapat penolakan dari pekerja maupun pengusaha.

Penolakan program Tapera bagi seluruh warga termasuk pekerja dan pengusaha cukup beralasan. Pertama, pekerja dan pengusaha mempunyai trauma mengenai pengumpulan dan pengelolaan dana publik karena pernah terjadinya penyimpangan luar biasa seperti dana haji, dana zakat, asuransi sosial atau jaminan sosial nasional. Padahal lembaga-lembaga pengelola dana publik tersebut dikenal super ketat regulasi dan pengawasannya.

ADVERTISEMENT

Kedua, kebutuhan rumah tinggal menjadi penting bagi pekerja apalagi yang sudah berkeluarga. Kebutuhan tempat tinggal merupakan kebutuhan langsung pakai seperti halnya pakaian, tidak bisa ditunda. Bisa direalisasikan segera baik dengan cara beli atau sewa. Berbeda dengan rumah yang tujuannya untuk investasi, dapat dilakukan dengan cara menabung dan direalisasikan kapan saja.

Ketiga, kenaikan upah pekerja rata-rata per tahun tak lebih dari 10%, sebaliknya kenaikan harga kebutuhan bahan pokok bisa lebih 10%. Upah regional tertinggi di kisaran Rp 5 jutaan belum dipotong pajak, jaminan kesehatan, Jamsostek, dan iuran sosial lainnya. Sisanya, dipergunakan untuk keperluan hidup keluarga seperti makan, pendidikan, dan sewa rumah. Sangatlah kecil jumlah pekerja yang bisa menabung. Yang terjadi justru menambah utang, gali lubang tutup lubang, mencari tambahan lain, masih bagus jika tidak melakukan fraud atau kriminal di perusahaan.

Keempat, kenaikan harga rumah per tahun 10-20% tergantung perkembangan akses dan fasilitas yang mempengaruhi harga tanah. Ketimpangan kenaikan harga rumah dan upah pekerja jadi salah sebab pekerja dengan upah UMR semakin tidak menjangkau. Program rumah susun, rumah murah, rumah bersubsidi, rumah DP nol persen merupakan cara yang perlu ditingkatkan agar harga rumah dapat dijangkau pekerja terutama lapisan ekonomi bawah.

Menaikkan UMR sebanding dengan kenaikan harga rumah sesuatu yang tak relevan. Menabung untuk membeli rumah kurang realistis karena hasil tabungan puluhan tahun tak sebanding dengan harga rumah, sementara itu rumah dibutuhkan sekarang juga bukan untuk pasca pensiun. Saat ini, kepemilikan rumah oleh pekerja kebanyakan dilakukan dengan cara kredit (KPR) atau sewa beli.

Pihak yang sangat mungkin membantu kepemilikan rumah pekerja adalah lembaga-lembaga yang menampung dan mengelola asuransi dan dana pensiun seperti BPJS Ketenagakerjaan, Taspen, dan Asabri. Lembaga tersebut dapat bekerja sama dengan perbankan dan perumnas atau pengusaha properti lainnya.

Jadi apabila Tapera tak diperlukan, warga dapat mengajukan judicial review di Mahkamah Konstitusi.

Achmad Mochtarom Direktur Pusat Studi Hukum dan Bisnis (PSHB) Indonesia

(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads