Meskipun telah tertuang dalam konstitusi kita, hak bertempat tinggal tersebut faktanya belum sepenuhnya didapatkan oleh setiap warga negara. Tercatat, menurut data PT Bank Tabungan Negara Tbk., sebanyak 12,7 juta keluarga Indonesia belum memiliki rumah. Sementara dari total keseluruhan, hanya 56,5% rumah tangga yang memiliki rumah layak huni sedangkan 43,5% rumah tangga di Indonesia lainnya belum memiliki rumah layak huni berdasarkan definisi Kementerian PUPR.
Berbagai macam skema beleid pun diambil oleh pemerintah sebagai respons atas isu tersebut, mulai dari KPR bersubsidi hingga skema tabungan masyarakat.
Untuk kebijakan subsidi, tentu tidak pernah menjadi masalah di negeri ini. Tetapi, skema tabungan masyarakat ternyata mengundang respons penolakan dari publik khususnya setelah Presiden Joko Widodo meneken PP No. 21 Tahun 2024 Tentang Perubahan atas PP No. 25 Tahun 2020 Tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) pada 20 Mei 2024 lalu.
Penolakan Publik
Tapera sendiri sebenarnya bukan program yang baru, melainkan transformasi dari program sebelumnya yaitu Tabungan Perumahan Pegawai Negeri Sipil (TARUM-PNS) pada 1993 melalui Kepres No. 14 Tahun 1993. Pada 2016, UU No. 4 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat disahkan dan menjadi produk kebijakan baru menggantikan Tabungan Perumahan Pegawai Negeri Sipil.
Permasalahan tersebut kemudian muncul; sejak UU No.4 Tahun 2016 disahkan, kepesertaan Tapera diperluas menjadi bukan hanya untuk golongan PNS melainkan juga pekerja baik itu swasta maupun mandiri, berikut juga pemberi kerja. Dengan kata lain, pekerja non PNS juga akan merasakan pemotongan 2,5% upah untuk pekerja swasta, dan 3% upah untuk pekerja mandiri, serta 0,5% untuk pemberi kerja.
Isu utama penolakan berbagai macam. Dari kalangan pekerja, isu utama datang dari kedua golongan, yaitu bagi pekerja Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) maupun non-MBR. Bagi pekerja MBR, tentunya pemotongan upah 3% akan semakin menekan hidup mereka di tengah kenaikan UMR yang ala kadarnya, ditambah harus ada pemotongan Tapera dan program-program jaminan sosial lainnya, akan semakin membuat kehidupan mereka semakin tertekan khususnya oleh kenaikan inflasi.
Di samping itu semua, jaminan untuk mendapatkan rumah di kemudian hari pun rasanya kecil. Pekerja MBR pun berhitung, berapa tabungan yang akan mereka punya pada masa pensiun dan bagaimana dengan kondisi harga rumah pada saat tabungan tersebut dapat dilikuidasi?
Bagi pekerja non-MBR, isu justru terfokus pada asas manfaat dari adanya program Tapera tersebut. Pemotongan gaji atau upah yang mereka setorkan setiap bulan akan menjadi apa di kemudian hari, sementara mereka baru dapat melikuidasi tabungannya saat telah memasuki usia pensiun. Meskipun nantinya muncul predikat "penabung mulia", rasanya tidak akan berdampak apa-apa bagi pekerja non-MBR dari segi manfaat program ini.
Alasan penolakan lainnya juga muncul dari pemberi kerja. Beban 0,5% tentunya akan muncul sebagai pembiayaan baru bagi usaha. Artinya, hal tersebut akan mengganggu jalannya produktivitas usaha mengingat munculnya beban tanggungan baru.
Pemotongan Tapera tersebut akhirnya dinilai memberatkan semua pihak baik itu pekerja maupun pemberi kerja. Ditambah lagi, publik saat ini sedang dilanda oleh masalah kepercayaan (trust issues) terhadap tata kelola institusi pengelolaan dana oleh pemerintah mengingat banyaknya kasus korupsi yang selama ini terjadi seperti misalnya kasus Jiwasraya dan Asabri.
Tak Peka Realita
Biaya kebutuhan pokok seringkali melonjak, begitu juga isu biaya pendidikan, namun dengan adanya program Tapera justru akan semakin membuat kelompok MBR yang menjadi sasaran utamanya semakin terhimpit. Belum lagi masalah tata kelola institusi pengelolaan dana oleh pemerintah yang selama ini belum mampu secara penuh mendapatkan kepercayaan masyarakat.
Dengan demikian, selagi pemberlakuan program Tapera ini selambat-lambatnya akan dilaksanakan pada 2027, tidak ada salahnya pemerintah mempertimbangkan berbagai macam penolakan publik tersebut sebagai bahan pertimbangan dalam membuat kebijakan untuk menuntaskan masalah backlog yang terjadi dengan lebih memahami apa yang menjadi masalah utama (main issue) dan lebih mempertimbangkan realita kehidupan masyarakat alih-alih memaksakan program yang berpotensi menurunkan daya beli masyarakat yang pada akhirnya menghambat roda perekonomian nasional.
Renaldo Gizind pekerja mandiri
(mmu/mmu)