Jerat Kuasa Politik Legislasi
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Jerat Kuasa Politik Legislasi

Senin, 03 Jun 2024 13:38 WIB
A Fahrur Rozi
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Jerat Kuasa Politik Legislasi
A Fahrur Rozi (Foto: dok. pribadi)
Jakarta -

Sangat sulit membantah bahwa agenda revisi undang-undang belakangan membonceng agenda politik pemerintahan mendatang. Sebab tidak dipungkiri DPR kali ini sangat akomodatif dengan kepentingan pemerintah. Tampaknya DPR berusaha memberikan karpet konstitusional bagi agenda-agenda politik yang cenderung banal.

Gejala politik yang ditunjukkan dalam kerja parlemen ini sebenarnya tidak lepas dari konstruksi relasi DPR-Pemerintah. Secara konseptual, DPR-Permerintah diniscayakan dalam relasi yang kritis. Tujuannya tidak lain untuk memberikan kontrol kelembagaan di mana kekuasaan tidak berakhir pada kesewenangan.

Jika ditarik secara historis, parlemen lahir dari pengalaman pahit kesewenangan absolut seorang raja (a history of britain). Para politisi Inggris (the politicians of Britain) waktu itu mengorganisasi warga dari berbagai elemen menjadi suatu komunitas kesatuan politik. Keberadaannya berwenang memberikan persetujuan atau penolakan terhadap agenda-agenda kerajaan waktu itu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tampaknya konsepsi ini sudah mulai ditinggalkan dalam praktik politik kekinian. Dinamika konstitusional saat ini cenderung menyesuaikan dengan kebutuhan politik praktis yang ada. DPR-Pemerintah cenderung berada pada relasi kolaboratif bahkan konspiratif dalam satu frame agenda dan gerakan politik.

Matinya organ cabang kekuasaan parlemen tentu menjadi ancaman serius bagi proses organisasi kekuasaan. Parlemen tidak hanya menghilangkan fungsi kontrol pembatasan terhadap pemerintah, melainkan juga memberikan dasaran konstitusional untuk mengakomodasi kepentingan-kepentingan politik yang ada. Oleh sebabnya, kerja-kerja politik pemerintah sepintas seolah-olah konstitusional, padahal dijalankan dengan jerat kuasa legislasi yang ugal-ugalan.

ADVERTISEMENT

Hal demikian sudah terbukti dengan sejumlah utak-atik undang-undang saat ini. Misalnya revisi UU Mahkamah Konstitusi (MK), revisi UU Kementerian Negara, dan RUU Penyiaran yang semuanya menjadi usul inisiatif dari lembaga DPR. Isu soal politisasi kuasa kehakiman dalam UU MK, akomodasi koalisi politik dalam revisi UU Kementerian Negara, dan ancaman kebebasan pers dalam RUU Penyiaran sangat sulit dibantah sebagai suatu kompromi politik parlemen untuk kepentingan politik pemerintah.

Gejala Politik Mutakhir

Fenomena ini menggejala dalam sistem ketatanegaraan yang biasa disebut dengan lame duck session. Fenomena ini terjadi dalam suatu kondisi di mana kera-kerja DPR-Pemerintah dioptimalkan menjelang akhir jabatannya. Gerakan ini tentu dapat dibaca sebagai suatu pengamanan agenda strategis pemerintahan mendatang. Akibatnya, kondisi ini mendorong fungsi kontrol parlemen semakin melemah, dan fungsi legislasi menjadi ekstra optimal (Fitra Arsil, 2023).

Data menunjukkan produktivitas pembentukan undang-undang menunjukkan tren kenaikan besar-besaran pada kondisi ini. Tren serupa terbukti pada gelaran Pemilu 2014. Produktivitas undang-undang mencapai kenaikan sebesar 8% dari sebelumnya dengan pembentukan 42 undang-undang; 13 di antaranya undang-undang dengan kumulatif terbuka dan 29 yang lainnya merupakan non-kumulatif terbuka.

Pada 2019, produktivitas undang-undang juga mengalami kenaikan. DPR-Pemerintah pada masa ini berhasil memproduksi 24 undang-undang; 10 di antaranya merupakan kumulatif terbuka dan 14 lainnya adalah non-kumulatif terbuka. Hal ini juga yang terjadi dalam proses terbentuknya UU Ciptaker, UU IKN, dan UU lainnya yang hanya ditempuh dalam proses yang singkat dan padat.

Dalam konteks yang demikian, seharusnya DPR-Pemerintah lebih mengedepankan sikap menahan diri dari kerja-kerja produksi atau revisi undang-undang. Hal tersebut untuk menghindari adanya nir-legitimasi kebijakan dan pertimbangan kondisivitas proses pembentukan. Hal tersebut dapat dijelaskan dengan dua hal.

Pertama, gejala lame duck session merupakan kondisi di mana partisipasi publik mengalami penurunan. Partisipasi menjadi teralihkan terhadap dinamika pascapemilu yang banyak menyita perhatian publik. Akibatnya, sangat mungkin pembentukan dan revisi undang-undang menjadi nihil partisipasi bermakna dari publik.

Kedua, kondisi ini menjadi tidak produktif dalam pembentukan undang-undang karena cenderung didominasi oleh situasi-situasi politik yang berkembang. Anggota parlemen yang ada sebenarnya sudah harus mengakhiri jabatan, tetapi karena secara administrasi belum diangkat adanya pengganti yang baru, mereka masih menduduki jabatannya. Alhasil kebijakan yang dikeluarkan dalam rentang kondisi seperti ini akan kehilangan legitimasi. Begitu pula sangat mungkin kebijakan tersebut menjadi kehilangan nilai mengikatnya di hadapan publik.

Hal serupa yang terjadi dalam isu revisi UU MK dan revisi UU Kementerian Negara yang mengemuka belakangan. Selain bermuatan politis, revisi ini ditempuh dalam kondisi lame duck session. Akibatnya, output yang dihasilkan dari kebijakan itu sangat mungkin kehilangan legitimasi untuk sekadar diberlakukan dan ditaati.

Dalam revisi UU MK, misalnya, kejar tayang pengesahan perubahan amat terkesan sangat dipaksakan. Keputusan dan persetujuan antara DPR-Pemerintah terjadi dalam posisi yang tertutup dan kondisi di mana DPR masih menjalani masa reses. Alih-alih memperkaya partisipasi publik terhadap penormaan pasal-pasal krusial, DPR menempuh jalan senyap dengan menabrak ketentuan formil yang berlaku.

Begitu pula hal sama terjadi dalam revisi UU Kementerian Negara yang secara mendadak menjadi Prolegnas Prioritas mengesampingkan RUU yang mendesak untuk segera diberlakukan, seperti RUU Perampasan Aset. Revisi ini hanya mendalihkan adanya inventarisir poin-poin penyesuaian sejumlah pasal UU yang mendapat anotasi dari putusan MK Nomor 79/PUU-IX/2011 yang sudah berumur 13 tahun lamanya.

Dengan demikian, publik dengan nyata telah dihadapkan pada legislasi dan birokrasi yang ugal-ugalan. Hukum dibentuk dan diberlakukan untuk menjustifikasi suatu agenda politik seolah-olah benar. Hukum tidak lagi menjadi pedoman yang mengindikasikan benar-salahnya suatu tindakan, melainkan bertransformasi dalam kerja-kerja dan kompromi politik musiman.

Dalam konteks ini, setidaknya DPR-Pemerintah harus menahan diri dari tiga hal; menahan diri untuk tidak saling mempengaruhi antarorgan kekuasaan, menahan diri untuk tidak melakukan kompromi politik, dan menahan diri untuk tidak mengambil langkah-langkah politis dan praktis dalam merumuskan suatu kebijakan, termasuk di dalamnya revisi undang-undang.

A Fahrur Rozi pengamat politik dan hukum ketatanegaraan

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads