Pendidikan itu Primer, Bukan Tersier
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Pendidikan itu Primer, Bukan Tersier

Jumat, 31 Mei 2024 16:30 WIB
Muhammad Wahyu Prasetyo Adi
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Mahasiswa demo tolak kenaikan UKT di halaman Rektorat Unsoed Purwokerto, Banyumas, Jumat (26/4/2024).
Foto: Anang Firmansyah/detikJateng
Jakarta -

Pendidikan merupakan ruang esensial yang disediakan negara bagi warganya. Secara utuh, pendidikan menjadi bagian dari tujuan bangsa yang tertuang dalam Preambule UUD 45. Pernyataan yang pada paragraf keempat berbunyi: …kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.... tidak dipandang sebagai formalitas di atas kertas dari tujuan terbentuknya negara.

Pentingnya pendidikan dalam menopang kemajuan bangsa tidak semata-mata tanpa justifikasi atau orientasi yang kuat dan tegas. Undang-undang sebagai rangkuman tertinggi bangsa wajib diaktualisasikan tanpa memandang subjek atau penggunanya (masyarakat) telah tercetak dalam beberapa Bab, Pasal hingga Nomor bagian. Tetapi saat ini, pengaktualisasian sistem pendidikan berkiblat pada RUU Sisdiknas yang mengintegrasikan tiga fragmentasi penting, yakni Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Dikti.

Pergeseran undang-undang yang telah dirangkum jelas dan tegas di RUU Sisdiknas merupakan bentuk keberpihakan negara terhadap masyarakatnya. Hal ini didasarkan bahwa perubahan zaman berdampak pada pendidikan yang dinamis, dengan demikian pengaturan teknis dan kontekstual bisa lebih cepat dilakukan dengan mempertimbangkan tiap daerah atau satuan pendidikan.

Namun, seiring berjalannya waktu, beberapa minggu ke belakang pendidikan telah menjadi polemik. Sebagai pengakses utama dalam ruang pendidikan, warga negara seakan-akan telah dirugikan dengan hadirnya otoritariat kebijakan dalam bentuk uang kuliah tunggal (UKT) yang mahal. Hal ini lantas menjadi perbincangan hangat ketika negara yang seakan-akan menormalisasikan UKT naik.

Apalagi terjustifikasi oleh salah satu pernyataan Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbud Ristek Tjitjik Sri Tjahjandarie bahwa kuliah adalah kebutuhan tersier. Tentu hal tersebut menuai pertanyaan besar bagi entitas masyarakat bahkan entitas hierarkis yang terlibat dalam struktur birokrasi pemerintahan. Apakah bentuk normalisasi menuju pendidikan yang tinggi wajib mengeluarkan biaya tinggi?

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pendidikan itu Primer

Sejatinya, negara sebagai wadah dalam mengorganisasi warga masyarakatnya wajib untuk memenuhi kebutuhan publik yang bersifat mendasar dan pokok, yang selama ini bisa kita sebut primer. Pendidikan bukan lagi kebutuhan tersier; ia kebutuhan primer yang dikemas dalam bentuk jenjang.

Polemik kehadiran afiliasi negara yang memiliki identitas perguruan tinggi negeri tidak hanya harus menyediakan pendidikan yang terjangkau, tetapi gratis untuk keseluruhan yang mengaksesnya. Namun hal itu berbanding terbalik; sekat-sekat pembiayaan sudah tervisualisasi dalam kemasan brosur hingga web resmi. Pembagian kelas atau gelombang pendaftaran menjadi komposisi ruang edukasi yang bagi mereka mampu secara materi.

ADVERTISEMENT

Belum lagi kenaikan yang terformalisasikan dalam bentuk surat edaran. Kondisi ini lantas tidak mencerminkan keseriusan negara dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Bagaimana bisa, jika akses pendidikan terkekang oleh batasan-batasan pembiayaan?

Normalisasi pembengkakan tidak mempertimbangkan bahwa kehidupan ini bagaikan roda, kadang di bawah kadang di atas. Jika perputaran tersebut menyebabkan mahasiswa tidak mampu mengakses secara luas, lantas adakah suatu penegasan bahwa pendidikan gratis itu nyata? Hal ini tentu harus menjadi pertimbangan-pertimbangan negara dalam mengaktualisasikan pendidikan secara strategis dan masif.

Meskipun saat ini negara telah menyediakan beasiswa, namun akses itu tidak selamanya penuh bisa kita nikmati bersama. Bagaimana bagi mereka yang benar-benar mengakses pendidikan dengan latar belakang kelas menengah ke bawah, namun dihadapkan pada pembiayaan atau kenaikan UKT dengan tidak terafiliasi pada program beasiswa?

Apakah kalimat "tersier" menjadi benteng normalisasi bahwa Republik ini tidak menjalankan keseriusan dalam memenuhi kebutuhan dasar warganya? Tentu ini sebuah kesalahan pemaknaan dari salah satu organ pemerintah yang menyimpulkan bahwa pendidikan itu tersier. Karena jelas bahwa negara hadir untuk mencerdaskan bangsa, dan sewajib-wajibnya negara memenuhi hal-hal yang terafiliasi untuk mencapai kecerdasan yang mutlak dan terjamin.

Muhammad Wahyu Prasetyo Adi mahasiswa Pascasarjana Universitas Brawijaya

Simak Video 'Protes UKT dan Uang Pangkal, Mahasiswa UGM Kemah di Depan Balairung':

[Gambas:Video 20detik]



(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads