Lalu saya bertanya, apa yang orangtua lakukan ketika anak tidak melaksanakan keinginan tersebut? Mereka menjawab, ada yang diguyur dengan air, dibangunkan dengan suara keras, diseret dari tempat tidur, hingga mengomel sambil terus membangunkan anak. Kemudian saya meminta orangtua menulis lagi keinginan pada anak ketika anak mereka sudah berusia 20 tahun. Orangtua pun menulis: anak yang saleh, rajin, sukses, hormat kepada orangtua, sayangi teman.
Pertanyaan saya lanjutkan, andai orangtua ketika membangunkan anak mempergunakan cara-cara seperti itu apakah akan diperoleh anak seperti yang mereka inginkan? Mereka menjawab: tidak.
Hari ini banyak orangtua direpotkan dengan bagaimana menjadikan anak disiplin namun tanpa melakukan kekerasan. Kekerasan terjadi karena keinginan orangtua untuk mencapai keinginan jangka pendek seperti bangun pagi berbenturan dengan keinginan orangtua menggapai keinginan jangka panjang. Oran tua sering beranggapan jika anak tidak dibiasakan bangun pagi, mandi, sarapan, dan berangkat ke sekolah, maka anak akan cenderung bandel dan tidak penurut.
Anak-anak pun akan gagal mencapai cita-citanya. Maka segala cara dilakukan orangtua setiap pagi untuk menegakkan aturan kepada anak. Dan, anak harus mentaati aturan yang dibuat orangtua. Di saat yang sama orangtua ingin anaknya kelak menjadi anak yang saleh, penurut, disiplin, dan berhasil dalam belajar. Menurut para orangtua, mereka sepakat jika anak setiap hari menghadapi omelan bahkan tindakan kasar dari orangtua, maka anak akan berkembang menjadi anak yang bandel dan tidak menurut. Orangtua sebenarnya menyadari tindakan mereka tidak menjadikan anak semakin baik.
Ada banyak alasan mengapa orangtua lebih suka mempergunakan kekerasan dalam mendidik anak. Pertama, sebagian besar orangtua dididik dengan cara-cara serupa pada masa lalunya dan dianggap berhasil. Banyak dari antara kita baik sebagai guru maupun orangtua dengan bangga mengatakan bisa menjadi seperti ini karena cara-cara keras yang ditanamkan guru dan oran tua mereka pada masa lalu. Dalam anggapannya, kekerasan mampu membentuk karakter mereka sehingga tahan banting dalam menghadapi setiap persoalan.
Kedua, banyak orangtua tidak mempunyai cukup pengetahuan/pengalaman mendisiplinkan anak selain dengan kekerasan. Bagi orangtua, satu-satunya menjadikan anak penurut ialah dengan ungkapan fisik, psikis, dan verbal yang bernuansa kekerasan. Anak-anak tidak belajar membaca reaksi marah orangtua ketika keinginan terhadap anak tidak terpenuhi.
Ketiga, tidak banyak orangtua memiliki kesempatan hadir dalam kelas keorangtuaan atau yang dalam bahasa sekarang dikenal dengan kelas pengasuhan atau kelas parenting. Model pengasuhan yang mereka lakukan berasal dari yang mereka lihat dan alami dari orangtua atau kakek dan nenek mereka. Tak banyak pengetahuan dan keterampilan yang berkembang sekalipun jaman terus berkembang.
Disiplin Positif
Saya ingin berbagi salah satu kiat yang saya kembangkan di kelas pengasuhan anak, yakni konsep disiplin positif. Disiplin positif adalah pendekatan yang memfokuskan pada tingkah laku positif anak. Pendekatan disiplin positif mengajak orangtua menyadari dan meyakini bahwa tidak ada anak yang nakal, yang ada adalah tingkah baik dan tingkah laku buruk.
Disiplin positif adalah proses untuk pengembangan diri dan pembentukan karakter dengan cara yang efektif dan menetap. Metode ini fokus pada kekuatan positif anak. Tujuannya menghasilkan anak yang bertanggung jawab mengelola perilaku mereka sendiri dan tidak bergantung pada orangtua mengatur perilaku mereka. Dalam mengembangkan disiplin positif anak akan belajar konsekuensi alami yang dikerjakan anak.
Ketika anak malas bangun pagi, melaksanakan salat, mandi, dan berangkat ke sekolah, anak tahu risikonya terlambat masuk sekolah. Ketika terlambat, anak tidak diizinkan masuk kelas, harus menghadap kepala sekolah, dimarahi, buru-buru di jalan yang bisa menyebabkan kecelakaan, lupa membawa pekerjaan rumah atau tidak konsentrasi selama pelajaran. Anak akan belajar konsekuensi dari perilakunya yang salah. Orangtua lebih mudah menetapkan aturan-aturan yang disepakati bersama dengan anak tanpa harus melakukan kekerasan.
Konsekuensi alami adalah akibat yang akan diperoleh anak sebagai hasil dari perilakunya yang salah tanpa orangtua melakukan apapun terhadap anak. Selain konsekuensi alami anak juga belajar konsekuensi logis dari tindakan yang salah. Ketika anak sering terlambat sekolah, nilainya akan jelek karena tidak fokus selama pelajaran. Sedangkan konsekuensi logis adalah konsekuensi yang disepakati oleh orangtua dan anak sebagai akibat yang diterima anak atas perilakunya yang salah.
Disiplin positif mengajari anak untuk bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukan. Pendidikan karakter lebih mudah dengan menerapkan disiplin positif. Mereka juga tahu konsekwensi atas tindakan tersebut. Dalam kehidupan kita belakangan ini, terutama di era instan, banyak orang tidak paham konsekuensi tindakan dan akibatnya bagi orang lain. Media sosial menjadi pelampiasan kemarahan, sumpah serapah bahwa yang kita lakukan dapat mempengaruhi/merugikan orang lain. Akibatnya persekusi pun dituai. Banyak sumpah serapah keluar tanpa ada yang bertanggung jawab.
Racun di media sosial menyebabkan orang kehilangan empati kepada sesama. Disiplin positif mengajari anak bertindak sekaligus bertanggung jawab. Kita sepakat kebiasaan baik dalam berbangsa dan bernegara akarnya dari keluarga. Cara orangtua menginternalisasi nilai-nilai kehidupan kepada anak anak berbuah keluar. Buah yang terpancar adalah nilai-nilai yang pernah ditanam.
Cara ini barangkali dapat menjadi solusi di tengah masih maraknya kekerasan maupun konten media sosial yang kian kurang bertanggung jawab. Persekusi dan bully di media sosial atau dalam hidup nyata tidak perlu terjadi manakala memahami cara melakukan pendisiplinan tanpa melakukan kekerasan.
Paulus Mujiran pendidik, Ketua Pelaksana Yayasan Kesejahteraan Keluarga Soegijapranata, pegiat parenting keluarga, tinggal di Semarang
(mmu/mmu)