Tantangan Moral Ekonomi Petani
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Tantangan Moral Ekonomi Petani

Kamis, 30 Mei 2024 13:15 WIB
Angga Hermanda
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Ilustrasi Sensus Pertanian
Foto: dok. BPS
Jakarta -

Pertanian merupakan tulang punggung kehidupan manusia sejak awal peradaban dicatatkan. Pertanian di seluruh dunia saat ini harus diakui terus ditopang oleh petani kecil dan keluarga petani. Keluarga petani telah menjadi pilar penting dalam menjaga pangan dan melestarikan kebudayaan serta tradisi pertanian. Namun dalam setengah abad terakhir, pertanian skala kecil ini menghadapi tantangan besar dari ekspansi kapitalisme yang menguasai sektor pertanian secara besar-besaran.

Kapitalisme pertanian bisa dikatakan sebagai suatu sistem di mana pangan dan produk pertanian diperoleh melalui mekanisme pasar dan dioperasikan untuk memperoleh keuntungan (profit). Pergeseran itu mempengaruhi moral ekonomi bagi petani.

Moral ekonomi petani merujuk pada seperangkat nilai-nilai, norma, dan prinsip yang mendasari perilaku ekonomi petani kecil. Konsep ini diperkenalkan oleh antropolog James C. Scott dalam bukunya The Moral Economy of the Peasant. Scott berpendapat bahwa petani kecil tidak hanya mengejar keuntungan ekonomi semata, tetapi juga memprioritaskan keamanan pangan, kemandirian, keteraturan, dan kedaulatan dalam kehidupan bersama.

Bagi petani kecil, tanah bukan hanya sekadar alat produksi dan sumber penghasilan, tetapi juga warisan leluhur dan jaminan kelangsungan hidup bagi keluarga dan masyarakat, serta kelestarian alam. Petani menghargai kerja keras, gotong royong, dan pembagian hasil yang adil dalam komunitas. Petani kecil cenderung menghindari risiko berlebihan dan lebih memilih strategi bertahan hidup yang aman daripada mengejar maksimalisasi keuntungan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Karena itu sesungguhnya moral ekonomi petani lebih mengedepankan keluarga dan kawasan perdesaan. Teori ekonomi keluarga petani dikembangkan oleh ekonom perdesaan seperti Alexander Chayanov untuk memahami dinamika ekonomi dan pengambilan keputusan dalam rumah tangga petani. Teori Chayanov menempatkan rumah tangga petani sebagai unit analisis utama, bukan individu atau perusahaan seperti dalam ekonomi kapitalisme.

Rumah tangga petani berupaya memaksimalkan utilitas dengan menyeimbangkan kebutuhan konsumsi dan waktu kerja. Tujuan utamanya memenuhi kebutuhan hidup keluarga, bukan mencari keuntungan maksimal. Keputusan ekonomi seperti alokasi tenaga kerja, produksi, dan konsumsi didasarkan pada rasionalitas keluarga, bukan logika pasar yang murni.

Selain itu, teori tersebut menunjukkan bahwa rumah tangga petani sering terlibat dalam aktivitas ekonomi ganda dalam pertanian, seperti pertanian subsisten, pekerjaan pertanian di luar ladang, dan usaha mikro-kecil. Strategi ini membantu keluarga petani mengelola risiko dan menjaga keamanan pangan, serta penghasilan tanpa mendegradasi moral ekonomi.

ADVERTISEMENT

Kesulitan Bersaing

Beberapa dekade terakhir ini, pertanian skala kecil menghadapi serbuan atau ekspansi kapitalisme dalam sektor pertanian, terkhusus di perdesaan. Perusahaan-perusahaan agribisnis besar telah mendominasi pasar dan rantai pasokan pangan global. Mereka menerapkan prinsip-prinsip kapitalisme seperti spesialisasi, skala besar, dan maksimalisasi keuntungan.

Pertanian industri skala besar ini menggunakan teknologi modern seperti mekanisasi pertanian yang tak ramah lingkungan, pupuk kimia, pestisida, dan bibit hibrida, bahkan hasil rekayasa genetika untuk meningkatkan produktivitas. Namun, praktik ini seringkali mengorbankan keberlanjutan lingkungan dan kesuburan tanah dalam jangka panjang. Petani kecil sering kesulitan bersaing dengan skala ekonomi dan kekuatan modal perusahaan besar.

Selain itu, kapitalisme pertanian telah mempromosikan monokultur tanaman dan secara perlahan namun pasti memudarkan keanekaragaman hayati. Sistem ini juga mendorong penggunaan tanah pertanian secara intensif dan eksploitasi kekayaan alam secara berlebihan.

Ekspansi kapitalisme dalam pertanian telah memberikan dampak sosial dan lingkungan yang signifikan. Petani kecil sering terpaksa meninggalkan tanah pertanian karena tidak mampu bersaing dengan perusahaan besar. Hal ini menyebabkan krisis kepemilikan, penguasaan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah pertanian dan urbanisasi yang masif. Hal ini paling sering ditandai melalui perampasan tanah yang menyulut konflik agraria.

Di sisi lain, pertanian industri skala besar juga telah berkontribusi pada degradasi lingkungan, seperti pencemaran air dan udara, erosi tanah, dan kehilangan keanekaragaman hayati. Penggunaan pupuk kimia dan pestisida secara berlebihan juga telah menimbulkan masalah kesehatan bagi petani dan rakyat banyak sebagai konsumen. Dalih kapitalisme pertanian yaitu ketahanan pangan.

Ketahanan pangan bersumber dari teori Thomas Robert Malthus yang dalam tulisannya berjudul An Essay on the Principles of Population yang menyebutkan bahwa populasi penduduk terus tumbuh dengan rasio geometrik, sementara produksi pangan tumbuh mengikuti deret aritmatik. Teori ini dilengkapi dengan Washington Consensus yang memiliki prinsip bahwa pangan adalah urusan individu, bukan lagi menjadi urusan negara untuk mengelolanya. Sehingga ciri ketahanan pangan yaitu deregulasi, liberalisasi, dan privatisasi.

Oleh karena itu, negara harus menyerahkan seluruh urusan pangan kepada pasar dan korporasi. Secara praktik ketahanan pangan digulirkan melalui instrumen pertanian berbasis agribisnis. Sistem agribisnis ini berpedoman pada revolusi hijau yang menempatkan pertanian sebagai industri padat modal dan sangat berorientasi bisnis. Petani tidak lagi diperkenankan memiliki bahkan menguasai tanah, menangkar benih, membuat pupuk, dan meracik obat-obatan pertanian secara mandiri.

Situasi diperburuk oleh muara dari ketahanan pangan, yakni penerapan liberalisasi lewat pasar bebas yang tidak adil. Dis inilah titik pergeseran pertanian dari yang semula sebagai budaya (agriculture) menjadi sepenuhnya bisnis (agribusiness).

Agribisnis atau pertanian bisnis secara langsung ataupun tak langsung membuat moral ekonomi petani terus tereduksi. Menurut B. Kerblay dalam Shanin (1971), salah satu dalil dasar ekonomi petani Alexander Chayanov adalah meruntuhkan batu bata yang tak terpisahkan dari kapitalisme atau ekonomi modern yang timpang saat ini.

Batu bata yang dimaksud yakni harga, kapital/modal, upah, bunga, dan sewa. Jika satu saja di antara lima batu bata jatuh, maka seluruh bangunan akan runtuh. Kelima batu bata itu yang mendasari industri korporasi menggilas perekonomian perdesaan. Situasi saat ini petani dan orang-orang yang bekerja di perdesaan terkungkung dan tak bisa mengelak dari kelima batu bata. Alhasil penghilangan petani atau depeasantization terus terjadi.

Asumsi demikian tercermin dari hasil Sensus Pertanian 2023 Tahap 1 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS). Di mana unit usaha pertanian perorangan (UTP) turun 7,45 persen dari 31,71 juta unit dalam Sensus Pertanian 2013, menjadi hanya 29,34 juta pada Sensus Pertanian 2023.

Pembaruan Sosial

Sebagai upaya mengatasi tantangan ini, diperlukan pendekatan holistik yang menggabungkan prinsip-prinsip pertanian berkelanjutan dengan penghargaan terhadap moral ekonomi petani dan penguatan ekonomi keluarga petani. Laju depeasantization bisa diatasi melalui suatu pembaruan sosial. Jun Borras merinci pembaruan sosial dengan 5R, yakni redistribution (redistribusi), recognition (pengakuan), restitution (pemulihan), regeneration (regenerasi), dan resistance (perlawanan/daya tahan).

Pembaruan sosial ini menempatkan reforma agraria atau redistribusi tanah kepada petani ke jalan pelestarian alam, dengan tujuan keadilan agraria sekaligus keadilan iklim. Pembaruan sosial 5R menjadi jembatan mewujudkan kedaulatan pangan, yang merupakan konsep tanding dari ketahanan pangan yang diusung kapitalisme. Pihak yang mampu melakukan itu bukanlah korporasi atau perusahaan trans-nasional yang berlindung dalam sistem ketahanan pangan, melainkan keluarga petani yang sudah beribu tahun hidup berdampingan dengan alam di perdesaan.

Berdasarkan itu, setidaknya terdapat enam langkah yang harus diperbaiki negara melalui pemerintah. Pertama, dukungan pertanian skala kecil yang dijalankan keluarga petani melalui reforma agraria. Kedua, diversifikasi pertanian dengan mempromosikan praktik-praktik seperti pertanian agroekologis atau pertanian alami yang mengedepankan kearifan lokal di setiap daerah.

Ketiga, pemerintah mengakui, menghormati, dan memenuhi hak asasi petani seperti menjamin hak atas tanah, air, benih, permodalan, distribusi, dan pasar yang terjangkau dan adil bagi keluarga petani. Keempat, mengembangkan rantai pasokan pangan lokal dan regional yang lebih adil dan berkelanjutan, termasuk ekonomi kolektif melalui koperasi pertanian. Langkah ini juga dapat menumbuhkembangkan industri perdesaan yang dikelola secara bersama. Demikian juga mendorong kerja sama antarpemerintah yang menganulir perdagangan bebas atau pemetaan komoditas dari korporasi trans-nasional yang telah berlangsung lama.

Kelima, mendorong perbaikan dan perubahan kebijakan yang mendukung transisi menuju sistem pangan yang lebih berkelanjutan, dari ketahanan pangan ke kedaulatan pangan. Adapun titik tekan melalui subsidi untuk pertanian agroekologis dan penerapan regulasi yang mengontrol praktik pertanian industri yang merugikan. Keenam, meningkatkan kesadaran rakyat banyak sebagai konsumen tentang pentingnya mendukung pertanian yang dihasilkan keluarga petani dan mendorong pola konsumsi yang bertanggung jawab.

Tantangan terhadap moral ekonomi petani memang besar, tetapi perlu disadari bahwa petani kecil dan keluarga petani merupakan pilar penting, bahkan disebut sebagai soko guru dalam menjamin kebutuhan pangan dan keberlanjutan lingkungan. Moral ekonomi petani menjadi pembuka jalan menuju masa depan pertanian yang lebih adil, lestari, dan menguntungkan bagi semua pihak.

Angga Hermanda Ketua Bidang Reforma Agraria dan Kedaulatan Pangan, Komite Eksekutif Pusat Partai Buruh

(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads