Konflik agraria di Desa Pakel, Banyuwangi telah menjadi salah satu konflik agraria terlama di Indonesia. Konflik ini disebabkan oleh pertarungan sengketa tanah antara PT Bumi Sari vs masyarakat Pakel.
PT Bumi Sari yang mendapatkan izin HGU telah merampas tanah masyarakat Pakel, dan menyebabkan reclaiming menjadi satu-satunya pilihan yang dapat dilakukan. Namun, berdasarkan pengamatan saya, upaya reclaiming yang telah dilakukan oleh masyarakat diperparah oleh tindakan absennya negara dalam mengatasi konflik ini.
Sebuah pengalaman yang berharga bagi saya karena pernah berkunjung ke Pakel dan berinteraksi langsung dengan warga. Dalam interaksi tersebut, warga mengeluhkan adanya sejumlah intimidasi serta represi yang diduga erat kaitannya dengan PT Bumi Sari.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lantas, bagaimana nasib konflik agraria di Pakel?
Absennya Negara
Telah satu abad lamanya masyarakat Pakel menjerit di bawah naungan konflik agraria yang berkepanjangan. Timbul pertanyaan di benak saya, ke mana peran negara yang seharusnya menciptakan kesejahteraan bagi warganya? Mengapa konflik agraria ini terjadi begitu panjang dan berlarut-larut?
Pada faktanya, masyarakat Pakel telah meminta belas kasihan kepada lembaga-lembaga negara untuk mendapatkan hak atas tanah mereka. Namun, hasilnya nihil. Bukannya mendapat kejelasan, masyarakat Pakel justru dituduh bagian dari PKI, diintimidasi oleh segelintir preman, dan dibungkam.
Rasa kasihan terbersit dibenak saya tatkala warga bercerita mengenai hasil pertanian mereka yang menurun akibat penebangan pohon-pohon hasil budidaya warga oleh segelintir oknum preman. Bukan hanya menebang pohon, preman-preman tersebut juga mengintimidasi warga dengan membawa senjata tajam untuk menakut-nakuti warga.
Mendengar cerita tersebut, saya menduga bahwa tindakan premanisme yang dilakukan bertujuan untuk mematikan basis perlawanan masyarakat Pakel terhadap PT Bumi Sari. Preman-preman tersebut berupaya untuk menciptakan suasana paranoid, sehingga warga menjadi ciut nyalinya untuk mengkonsolidasikan gerakan perlawanan.
Padahal, ICCPR menjelaskan dalam Pasal 9 bahwa setiap orang berhak atas kebebasan dan keamanan pribadi. Tetapi sampai sekarang, saya tidak mendapatkan kabar pemidanaan tindakan intimidatif yang dilakukan oleh preman-preman tersebut.
Sekali lagi saya bertanya dalam benak, ke mana peran negara yang seharusnya menciptakan kesejahteraan bagi warga negaranya?
Reclaiming: Sebuah Solusi
Klaim kembali atau lazimnya disebut sebagai reclaiming disebabkan oleh munculnya berbagai kelompok yang berusaha untuk mendominasi --atau lebih tepatnya merampas paksa-- sumber daya alam milik rakyat dengan berbagai cara, baik secara ekonomi maupun politik. Oleh sebab itu, reclaiming merupakan satu-satunya pilihan yang dapat dilakukan oleh masyarakat ketika negara justru absen dalam sebuah konflik agraria.
Mengamati dari kasus Pakel, saya menemukan bahwa wujud reclaiming direalisasikan dalam bentuk gerakan untuk merebut hak atas tanah masyarakat setempat yang telah dikuasai oleh PT Bumi Sari. Dalam gerakan tersebut, terkandung akumulasi ide perlawanan dan semangat sejarah yang telah terangkai dari berpuluh-puluh tahun sebelumnya.
Semangat perlawanan ini diturunkan antargenerasi. Saya melihat fenomena rumah-rumah warga setempat yang bertuliskan "Masyarakat Pakel melawan", "Pakel menuntut kejelasan negara", dan lain-lain. Bahkan, beberapa anak kecil mengenakan kaos yang melukiskan perlawanan masyarakat Pakel. Bukan hanya itu, bendera-bendera yang menuntut diselesaikannya konflik agraria Pakel banyak berkibaran di wilayah tersebut.
Sekilas terbersit di benak saya bahwa sejak masih dini, anak-anak Desa Pakel telah ditanamkan paradigma perlawanan untuk melakukan reclaiming tanah mereka yang telah dirampas paksa. Tentu basis gerakan ini bukan semata basis gerakan yang hanya sekadar meletup lalu padam, tetapi masyarakat Pakel membayangkan sebuah pergerakan yang berkelanjutan, kala orang-orang dewasa sudah tak sanggup lagi memikulnya.
Fakta lain yang saya temukan adalah ternyata pergerakan masyarakat Pakel didasarkan pada bukti kepemilikan Akta Tanah 1929. Tetapi, negara seakan enggan mengakui bukti sejarah tersebut yang menyebabkan reclaiming merupakan satu-satunya opsi perlawanan yang dilakukan warga.
Bahkan, tiga petani Pakel yang berupaya menyadarkan masyarakat tentang bukti kepemilikan sah berupa Akta 1929 justru dilaporkan atas pasal pidana, yakni tindakan yang berakibat keonaran. Menurut saya, dalam hal ini bukan hanya kebebasan berekspresi yang dilanggar negara, tetapi tampaknya negara juga enggan mengakui keberadaan masyarakat Pakel, dan seakan memaksa masyarakat Pakel untuk pasrah terhadap keadaan.
Beruntung ketiga petani Pakel tersebut telah dibebaskan pada tingkat kasasi oleh karena dicabutnya pasal berakibat keonaran lewat Putusan MK No. 78/PUU-XXI/2023. Tetapi, bebasnya tiga petani Pakel bukan jalan keluar terhadap konflik agraria yang terjadi. Menurut saya, bangunan struktur yang menindas Pakel adalah konsekuensi dari jargon pemerintah yang berfokus pada upaya pembangunan dan bukan kekuatan rakyat.
Dewasa ini, jargon tersebut telah melepas topengnya dan menunjukkan sifat asli yang berpihak pada modal asing dan mesin-mesin produksi kapital dengan mengatasnamakan kesejahteraan rakyat. Oleh sebab itu, menurut saya tindakan reclaiming yang dilakukan oleh masyarakat Pakel bukanlah tindakan melawa hukum, melainkan tindakan yang didasarkan atas kedekatan batin dengan alam yang dipenuhi nilai-nilai anti kekerasan, penegakan hukum dan demokrasi, serta tekat perjuangan yang berbasis kerakyatan. Tujuan akhir dari reclaiming ini adalah mengembalikan marwah keadilan sosial menurut masyarakat.
Satu hal yang dapat menjadi refleksi kita bersama adalah tentang implementasi Pasal 33 (3) UUD NRI 1945. Apakah implementasi pasal tersebut telah dirasakan oleh semua masyarakat? Atau, jangan-jangan negara telah menyembunyikan nilai-nilai kesejahteraan dalam suar fatamorgana dalil "pembangunan dan pemerataan".
Markus Togar Wijaya Wakil Kepala Departemen Akspro DEMA Justicia dan Peneliti Pusat Kajian Hukum & Keadilan Sosial (LSJ) Fakultas Hukum UGM