Caturdharma dalam Kubah Harapan
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Caturdharma dalam Kubah Harapan

Selasa, 28 Mei 2024 11:52 WIB
Iwan Yahya
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Iwan Yahya (Dok Pribadi)
Foto: Iwan Yahya (Dok Pribadi)
Jakarta -

Rindu itu bagai hening kepak harap yang mekarkan kelopak sunyi di cakrawala. Tak sabar menanti fajar untuk bersua benderang surya. Herman Melville, seorang penyair dan novelis kelahiran New York menyebutkan bahwa keheningan adalah penyucian umum alam semesta. Sejalan dengan itu, perspektif superposisi dalam teori penjalaran gelombang melahirkan pemaknaan social physics bahwa puncak gempita adalah sunyi.

Rindu semacam itu serasa membuncah belakangan ini. Gempita asa akan hidup sejahtera melalui akses pendidikan tinggi seolah tercekat di ruang gelisah. Anak bangsa dari kalangan tak mampu seperti berdiri di depan tebing tinggi uang kuliah tunggal (UKT) yang tak terpanjatkan oleh daya mereka. Universitas yang mereka nilai sebagai kubah harapan seolah tak memiliki ruang untuk menampung hasrat mereka di hamparan persemaian mimpi. Seperti melihat benderang di ujung lorong namun lumpur kemiskinan terlampau pekat mencengkeram.

Nafas dan kiprah kampus kita selalu gempita dalam berita. Menjadi buah bibir karena beragam sebab. Dalam setahun belakangan perhatian publik disentak aneka kasus dan isu. Dari liku-liku joki skripsi, perilaku academic misconduct di kalangan guru besar, banyak lagi, dan belakangan riuh persoalan UKT. Kebijakan sejumlah universitas negeri yang melakukan koreksi nilai biaya studi menjadi seperti satire perpisahaan pengubur impian. Pandangan dan hening nalar sehat kita seolah diuji.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Telah hilang kemana suar keberpihakan universitas kepada kaum papa? Dimana keteladanan dharma dan apa yang sedang terjadi?

Dharma Keempat Kubah Harapan

ADVERTISEMENT

Apa pun yang sedang terjadi, faktanya bahwa UKT sejumlah universitas negeri laksana hawa panas yang menghanguskan benih asa kaum tak mampu. Wajar jika lalu membersitkan tanya.

Dalam cara seperti apa pihak universitas telah melakukan kajian dan cost structure analysis (CSA) layanan pendidikan di institusi mereka? Mengapa menjadi semahal itu? Maka akan menjadi sangat bijaksana jika pihak universitas menyajikan pesan lugas terbuka. Bukan hanya sebatas CSA tetapi bila perlu memampangkan imbangan keunggulan dan keutamaan impak kompetitif institusi mereka. Bahwa lonjakan UKT sejatinya merupakan investasi dan penukar sangat sepadan dengan persembahan faedah dalam persembahan dharma universitas.

Publik berhak untuk dibuat mengerti perimbangan yang disajikan universitas. Sebut saja misalnya tentang eksosistem akademik maju, dinamis dan produktif yang merupakan budaya dan atmosfir akademik mereka. Publik dapat menelusurinya dari portofolio pencapaian berinovasi dan kebanggaan berkarya. Maujud pula sebagai penciri karakteristik kualitas keilmuan, budaya berpikir serta keterampilan sandingan alumni yang memang teruji. Semuanya serba memiliki ukuran, bukan klaim sepihak karena serba dapat ditelusuri secara terbuka. Dengan begitu respek publik tetap terpelihara.

Ikhtiar berkemajuan itu tentu beragam bentuknya. Kita dapat mengambil inspirasi misalnya dari aliansi Harvard dan MIT ketika mereka membangun Broad Institute. Itu dilakukan semata demi menghadirkan impak kompetitif unggul. Lompatan berpikir dan berinovasi untuk menjadi jawara dalam tebaran faedah. Impak kompetitif Broad Institute akhirnya benar-benar melampaui Tsinghua maupun Shanghai Jiao Tong yang memiliki portofolio akademik terbesar di dunia.

Terbangunnya simpul himpunan manfaat besar semacam itu mustahil digapai dengan biaya murah. Tentu saja para manager universitas boleh menyuguhkan faktor dan parameter lain disertai jejak fakta tertelusur. Dengan begitu ruang nalar publik terbebas dari prasangka karena dapat memindai renda logika di balik layar UKT dan apa pun ragam dana publik.

Itu pun tidak menjamin bahwa publik dapat serta merta menerima lonjakan biaya kuliah sebagai kewajaran. Bahkan pada keadaan model aliansi Harvard dan MIT itu telah benar-benar terbangun di universitas kita. Publik tetap akan memunculkan pertanyaan menggelitik lanjutan. Jika memang benar bahwa lompatan inovasi telah sehebat itu, bukankah semestinya pengelolaan pendapatan dari bisnis berbasis inovasi dapat dimanfaatkan universitas sebagai sumber pembiayaan pengimbang bahkan untuk menyediakan beasiswa tanpa harus melipatgandakan nilai UKT? Sesuatu yang sangat masuk akal.

Pertanyaan lanjutan semacam itu elok dijadikan pemantik penegasan peran universitas sebagai sebuah kubah harapan. Bahwa memang benar universitas itu adalah madrasah besar yang dicirikan oleh kemampuan menghadirkan perasaa bahagia tercerahkan yang lalu menjadi undakan untuk hidup yang lebih mensejahterakan.

Perubahan zaman dan teknologi yang sedemikian pesat termasuk perkembangan kecerdasan buatan bijak dijadikan pertimbangan untuk memperkuat visi tentang masa depan. Menjadi lebih terbuka dengan budaya akademik yang selaras dengan kompatibilitas tinggi terhadap dinamika perubahan tanpa henti. Bahkan bila perlu mendisrupsi kebiasaan dan paradigma lama berkait pilar peran seperti disebutkan dalam tridharma.

Disadari atau pun tidak, universitas dan para professor memanggul tanggung jawab pembentukan karakter akademik bahagia sekali gus sebagai pilar utama pengungkit kesejahteraan negara. Itu layak dijadikan pijakan untuk mendisrupsi cara pandang
lama. Perubahan jaman dan kemajuan teknologi menuntut universitas untuk melakukan migrasi cara pandang dan sistem inovasi.

Peran mengungkit pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan negara yang selama ini termaktub sebagai bagian dharma pengabdian masyarakat saatnya didefinisikan secara terpisah. Migrasi dari tridharma menjadi caturdharma dengan penegasan dharma kesejahteraan bangsa sebagai kanal memperkuat peran kampus dalam memunculkan legasi kesejahteraan patut disegerakan.

Migrasi berpikir semacam itu diperlukan karena meskti frase kesejahteraan tersirat dalam tridharma, implementasinya belum benar-benar dapat diejawantahkan. Itu terbaca misalnya dari nilai pendapatan ITB, UI, UGM, UNS dan semua universitas berstatus PTNBH. Pendapatan universitas terkemuka tersebut kurang dari empat triliun per tahun meski semuanya berlimpah kecerdasan, pengetahuan, inovasi dan jejaring kerja yang tidak dapat disebut kurang. Mengapa demikian?

Tentu banyak faktornya. Tidak ada jaminan bahwa setiap professor memiliki kecukupan wawasan kewirausahaan bagaimana mengusung inovasi ke pasar komersial. Tidak setiap professor dan peneliti terbiasa dengan perspektif industri berkait business model canvas. Pada titik inilah keselarasan pandangan bersama perlu diperkuat. Bahwa mengubah inovasi menjadi pendapatan memerlukan ruang dan batasan aturan yang perlu dikukuhkan sebagai dharma terpisah. Kanal dharma ke empat yakni kesejahteraan negara patut didefinisikan secara eksplisit dan terbuka. Itu diperlukan karena semua universitas patut tumbuh sebagai penghasil inovasi bernilai bisnis tinggi.

Dalam skala yang lebih sederhana dari model berdirinya Broad Institute, universitas kita dapat mengikutinya dalam wujud sinergi positif dengan industri nasional dan technopark (TP). Memperbanyak industrial satellite lab di dalam kampus lalu TP berperan sebagai clearing house dalam hilirisasi inovasi demi perolehan pendapatan sekali gus melentingkan kekuatan ekonomi masyarakat. Tumbuh dan bahagia bersama.

Ragam berbeda dapat berupa aliansi universitas dengan pemerintah daerah. Program Beasiswa NTB yang sukses menghantarkan talenta berbakat ke berbagai perguruan tinggi domestik maupun manca negara merupakan role model yang sangat baik. Artinya, perguruan tinggi perlu memperkuat tautan kemitraan yang bermuara kepada keterbukaan akses bagi masyarakat dan secara resiprokal menjadi pintu melabuhkan inovasi universitas sebagai dharma untuk peningkatan kesejahteraan publik di suatu daerah.

Terbukanya simpul-simpul pembiayaan kreatif berbasis inovasi merupakan kunci. Kaidah key and lock mengajarkan bahwa setiap kunci memerlukan pasangan yang tepat untuk dapat difungsikan. Begitupun pergeseran keadaan pasti memerlukan migrasi cara pandang dan tindakan berbeda. Maka gempita universitas semestinya berpuncak pada hening yang melajukan impian setiap anak bangsa. Bahwa pendidikan tinggi bukan merupakan kebutuhan tersier dan apalagi kemewahan.

Bahwa institusi pendidikan tinggi merupakan kubah harapan yang mampu mengusung dharma dalam rasa hormat memajukan peradaban dan melabuhkan faedah bagi semua kalangan. Seperti penggalan kata Melville, menjadi jalan penyucian diri sebagai suar harapan. Mari, bangkitkan bangsa dengan kecerdasan bahagia. Wallahualam.

Iwan Yahya. Dosen dan peneliti The Iwany Acoustics Research Group (iARG) Program Studi Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sebelas Maret Surakarta.

(rdp/rdp)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads