Mematangkan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana

Mimbar Mahasiswa

Mematangkan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana

Nyimas Safira Septiana - detikNews
Senin, 20 Mei 2024 16:15 WIB
nyimas
Nyimas Safira Septiana (Foto: dok. pribadi)
Jakarta -

Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset Tindak Pidana (PATP) menarik perhatian karena upaya untuk meningkatkan efektivitas penegakan hukum dan mengembalikan kerugian negara dari tindak pidana seperti korupsi, penipuan, dan penggelapan. United Nations Convention against Corruption (UNCAC) yang diperkenalkan oleh PBB pada 2005 menganggap pengembalian aset sebagai salah satu elemen paling penting, termasuk di dalamnya pelacakan, pembekuan, penyitaan, perampasan, dan pengembalian aset negara.

Indonesia menandatangani UNCAC pada 18 Desember 2003 dan meratifikasinya pada 19 September 2006 melalui UU No. 7 Tahun 2006, sejalan dengan komitmennya untuk melawan korupsi.

Dalam detik-detik akhir kepemimpinannya, Presiden Jokowi, mendorong DPR untuk mengutamakan pembahasan RUU PATP pada 2023, namun keengganan DPR dalam mengesahkannya menunjukkan ketidakkonsistenan dalam mendukung UNCAC. Ini mengakibatkan stagnasi dalam penerapan RUU tersebut, meskipun RUU tersebut telah disusun sejak 2012 oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Hingga saat ini, pembahasan RUU PATP masih terhambat, mencerminkan tantangan dalam menerapkan UNCAC secara lokal.

Tiga Langkah

ADVERTISEMENT

Mekanisme perampasan aset dalam hukum Indonesia melibatkan tiga langkah. Pertama, melalui proses hukum pidana yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. Mereka harus melalui pengadilan dan mendapatkan keputusan final untuk menyita barang bukti atau aset yang terkait.

Kedua, jika tidak ada bukti yang cukup atau tersangka sudah meninggal, namun ada kerugian yang jelas bagi negara, Jaksa Pengacara Negara bisa mengajukan gugatan perdata. Ketiga, ada juga mekanisme administratif melalui cukai, pajak, dan kepabeanan.

Namun, sayangnya ketiga mekanisme ini masih kurang efektif karena aparat penegak hukum harus membuktikan kerugian negara terlebih dahulu. Hal ini memberi kesempatan bagi tersangka untuk menyembunyikan atau menyamarkan aset mereka agar tidak terlibat dalam proses hukum.

Oleh karena itu, RUU Perampasan Aset diharapkan dapat mengatur aturan baru yang membalikkan beban pembuktian, sehingga tersangka yang harus membuktikan bahwa asetnya diperoleh secara sah, bukan lagi tugas aparat penegak hukum.

Pasal Penting

Dalam RUU Perampasan Aset, ada pasal penting yang bikin heboh, yaitu Pasal 5 ayat (2) poin a. Di sini dijelaskan bahwa aset bisa dirampas kalau nilainya tidak seimbang dengan penghasilan atau sumber kekayaan yang dimiliki tersangka. Artinya, kalau tersangka tidak bisa membuktikan duitnya halal, bisa langsung dirampas.

Lalu, di Pasal 6 ayat (1) diatur bahwa aset yang bisa dirampas minimal nilainya seratus juta rupiah atau terkait dengan ancaman hukuman penjara empat tahun atau lebih. Jadi, kalau ada aset yang nilainya besar atau terkait dengan kasus serius, langsung bisa diselidiki dan dirampas oleh penyidik atau penuntut umum.

Regulasi yang penting dalam Pasal 7 ayat (1) RUU Perampasan Aset membahas tentang prosedur perampasan aset bagi tersangka yang telah meninggal dunia, melarikan diri, mengalami sakit parah, atau bahkan menghilang tanpa jejak. Meskipun dalam kondisi-kondisi tersebut, RUU ini memberikan kewenangan untuk melakukan perampasan aset.

Hal ini bertujuan untuk menciptakan kepastian hukum yang kuat, sehingga tidak ada celah bagi tersangka untuk menghindari tanggung jawab hukumnya. Dengan demikian, RUU ini menghadirkan instrumen yang efektif dalam memastikan bahwa pelaku tindak pidana tidak dapat mengelak dari konsekuensi hukumnya, meskipun dalam kondisi yang sulit seperti meninggal dunia, melarikan diri, sakit parah, atau menghilang.

Langkah-langkah perampasan aset ini juga turut mendukung upaya pemerintah dalam memberantas berbagai bentuk kejahatan yang merugikan negara maupun masyarakat secara keseluruhan.

Memiliki Risiko

Di satu sisi, RUU PATP dapat membantu meningkatkan efektivitas penegakan hukum dengan memungkinkan pemerintah untuk mengembalikan kerugian negara lebih cepat dan lebih efektif. Dengan demikian, RUU PATP dapat menjadi salah satu alat yang efektif dalam menghambat tindak pidana dan mencegah korupsi.

Selain itu, RUU PATP juga dapat membantu meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pemerintahan dengan memungkinkan pemerintah untuk mengawasi dan mengontrol aset yang dimiliki oleh pejabat publik.

Namun, pada sisi lain, RUU PATP juga dapat memiliki beberapa risiko dan kelemahan. Salah satu risiko yang paling signifikan adalah risiko pelanggaran hak asasi manusia dan kekurangan proses hukum yang adil. Jika RUU PATP tidak diterapkan dengan benar, maka dapat terjadi pelanggaran hak asasi manusia dan kekurangan proses hukum yang adil.

Selain itu, RUU PATP juga dapat memiliki kelemahan dalam mengatur mekanisme pengelolaan aset yang disita, sehingga dapat terjadi kecurangan dan korupsi dalam pengelolaan aset tersebut.

Penerapan dan Pengawasan

RUU PATP memiliki potensi besar sebagai alat yang efektif dalam meningkatkan penegakan hukum dan mengembalikan kerugian negara akibat tindak pidana. Namun, untuk mencapai tujuan ini, diperlukan penerapan yang tepat dan pengawasan yang ketat guna mencegah pelanggaran hak asasi manusia serta kekurangan dalam proses hukum yang adil.

Pertama-tama, penting untuk memperhatikan bahwa RUU ini harus diterapkan dengan memperhatikan prinsip-prinsip hak asasi manusia agar tidak menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan atau penindasan yang tidak adil terhadap tersangka. Selain itu, pengawasan yang ketat juga diperlukan untuk mencegah penyalahgunaan RUU ini sebagai alat politik atau untuk kepentingan pribadi.

Selanjutnya, perlu diakui bahwa RUU PATP memiliki kelemahan terutama dalam mengatur mekanisme pengelolaan aset yang disita. Untuk mengatasi potensi kecurangan dan korupsi dalam pengelolaan aset yang disita, diperlukan sistem pengawasan dan akuntabilitas yang kuat. Hal ini termasuk transparansi dalam proses pengelolaan aset, pemberlakuan audit yang teratur, serta pembentukan lembaga pengawas independen yang bertanggung jawab atas pengelolaan aset tersebut.

Dengan langkah-langkah ini, diharapkan RUU PATP dapat berfungsi secara optimal sebagai instrumen untuk mengembalikan aset yang dirampas kepada negara dan mencegah penyalahgunaan kekuasaan serta korupsi dalam prosesnya.

Nyimas Safira Septiana mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjajaran

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads