Penambahan Kementerian dan Narsisme Politik
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Penambahan Kementerian dan Narsisme Politik

Senin, 20 Mei 2024 14:00 WIB
Taufiqullah
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Ilustrasi Kabinet Prabowo-Gibran
Ilustrasi: Edi Wahtono
Jakarta -

Pasca-putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas gugatan sengketa Pilpres 2024, mencuatlah rumor wacana penambahan jumlah kementerian menjadi empat puluh pos. Wacana ini membuat atmosfer politik Tanah Air semakin berkabut dan berdampak besar terhadap kesehatan psikologi politik masyarakat yang baru saja merayakan pesta demokrasi. Alih-alih untuk mengoptimalkan pembangunan IKN dan merealisasikan program makan gratis, kabinet Prabowo-Gibran justru semakin membuncitkan anggaran negara.

Pemberantasan korupsi, pemerataan akses pendidikan dan kesehatan yang paling dielu-elukan oleh masyarakat tampaknya masih sebatas harapan usang yang sulit untuk tercapai. Dalam masa periode kedua pemerintahan Jokowi, terdapat beberapa tindakan korupsi yang terjadi di kementerian. Kini, para elite malah melakukan politik dagang sapi untuk berbagi-bagi kekuasaan tanpa terlebih dahulu melakukan rekonsiliasi politik di kalangan masyarakat.

Kompromi Elite

Banternya isu wacana penambahan kementerian dalam kabinet Prabowo-Gibran setidaknya mempunyai dua maksud. Pertama, sebagai upaya memperluas koalisi di dalam pemerintahan. Langkah ini sebagai cara untuk membatasi oposisi. Bertambahnya lembaga kementerian akan menggemboskan gejala oposisi yang akan membantu terhadap efisiensi dan efektivitas kinerja kabinet selanjutnya.

Kedua, sebagai praktik bagi-bagi kekuasaan (politik dagang sapi) dalam kabinet pemerintahan. Pasangan Prabowo-Gibran memperoleh dukungan paling banyak dari berbagai pihak. Gibran, yang disandingkan dengan Prabowo kemudian didukung oleh Presiden Jokowi mempunyai konsekuensi politik yang begitu runyam bagi Prabowo sendiri. Presiden Jokowi masih mempunyai peran penting dalam pembentukan kabinet selanjutnya yang akan menjadi teror politik terhadap legitimasi politik Prabowo.

Selain itu, parpol pengusung Prabowo-Gibran juga saling pamer peran dan kinerjanya yang begitu ofensif dan masif dalam memenangkan pertarungan Pilpres 2024. Maka kemudian, rasa-rasanya tidak mungkin parpol pendukung akan ikhlas sepenuh hati jika hanya diberikan satu atau dua jatah menteri. Apalagi, Golkar sebagai parpol pendukung yang memberikan Gibran karpet kuning, meminta jatah kursi lebih dari lima menteri.

Sementara, Partai Gerindra yang menempati posisi ketiga dalam perolehan suara terbanyak dalam Pileg 2024 tidak hanya membutuhkan dukungan koalisi di parlemen, tetapi juga membutuhkan legitimasi kekuasaan yang lebih untuk Prabowo. Sehingga, Gerindra harus memiliki porsi menteri terbanyak dalam kabinet pemerintahan. Oleh karenanya, wacana penambahan lembaga kementerian adalah solusi terbaik untuk menghindari politik sakit hati di kalangan elite.

Dibatasi UU

Wacana penambahan lembaga kementerian adalah sikap politis bagi kroni-kroni Prabowo-Gibran untuk memperkuat koalisi di pemerintahan. Bagi mereka, masifnya koalisi di dalam pemerintahan sangatlah dibutuhkan untuk membangun Indonesia yang lebih maju. Wacana demikian menggambarkan sikap politik yang kekanak-kanakan, sangat jelas hanya untuk kepentingan elite penguasa.

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, Pasal 14 menyebutkan bahwa untuk kepentingan sinkronisasi dan koordinasi urusan kementerian, presiden dapat membentuk Kementerian Koordinasi. Dan, Pasal 15 menegaskan bahwa jumlah batas maksimal kementerian paling banyak ialah tiga puluh empat. Artinya, presiden saat ini tidak bisa lagi untuk menambahkan lembaga kementerian karena jumlahnya sudah mencapai batas maksimal, yakni 34 lembaga kementerian.

Dalam kacamata hukum, wacana tersebut menabrak undang-undang. Jika penambahan kementerian berhasil direalisasikan tanpa merevisi aturan hukum yang berlaku, maka Prabowo akan tersandung dalam kepemimpinan autokrasi. Tetapi, politik Tanah Air begitu runcing dan selalu mampu membidik dengan tajam kapan pun saja untuk kepentingan kekuasaan. Bukan tidak mungkin, suatu saat nanti akan terjadi revisi UU untuk menambah jumlah kementerian.

Dalam arena politik, terdapat tiga cara untuk mempertahankan kekuasaan, yakni membangun politik dinasti, membatasi kebebasan berdemokrasi, dan menghilangkan atau merevisi suatu aturan perundang-undangan yang dianggap dapat merugikan kekuasaan. Ketiga ini bahkan sudah menjadi siasat jitu politik di era kepemimpinan Presiden Jokowi mutakhir ini. Fenomena politik dinasti, simpang siur UU ITE dan obral habis-habisan pasal dalam undang-undang telah menyandera dinamika demokrasi Indonesia.

Penambahan kementerian sangatlah tidak penting bagi pembangunan Indonesia. Selain pemborosan anggaran negara, wacana tersebut akan menimbulkan ancaman inflasi seperti negara tetangga, Thailand, Myanmar, dan Laos lantaran hantaman krisis utang dan penurunan mata uang. Sebagaimana sindiran Margaret Thatcher, mantan Perdana Menteri Britania Raya (1979-1990), masalah dalam negara-negara kesejahteraan sosial modern adalah kecenderungannya menghabiskan uang orang lain (berutang).

Prabowo-Gibran adalah pasangan yang paling ideal. Kepemimpinan Prabowo yang berjiwa kesatria dan Gibran yang berjiwa milenial adalah komposisi pemimpin sempurna untuk membangun Indonesia yang lebih maju. Tidak elok kiranya jika pada saat awal kepemimpinannya merealisasikan penambahan lembaga kementerian di tengah melejitnya biaya pembangunan IKN dan kebutuhan lainnya. Jangan sampai oknum di sekeliling Prabowo berdansa dan menjadikan 'kementerian baru' sebagai kursi empuk untuk tempat bersila para penguasa.

Taufiqullah Hasbul peneliti di Akademi Hukum dan Politik (AHP)

(mmu/mmu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads