Apa yang kita bayangkan ketika kehancuran lingkungan terjadi, ekosistem bumi yang terancam, krisis iklim di depan mata? Peradaban bangsa berubah, pendekatan negara dalam memandang aspek pembangunan menjadi ekstraktif. Tantangan yang sedang kita hadapi di tengah geliat negara sedang mempersiapkan Indonesia Emas 2045.
Pada konteks ini geliat pembangunan yang ditopang kapitalisme tanpa aturan telah merusak ekosistem bumi, sehingga kerusakan ini menimbulkan serangkaian masalah multidimensi. Minimnya ruang partisipasi publik, menghilangkan hak kesetaraan bagi sesama dan ancaman bagi keberlanjutan ekologis.
Pada konteks ini geliat pembangunan yang ditopang kapitalisme tanpa aturan telah merusak ekosistem bumi, sehingga kerusakan ini menimbulkan serangkaian masalah multidimensi. Minimnya ruang partisipasi publik, menghilangkan hak kesetaraan bagi sesama dan ancaman bagi keberlanjutan ekologis.
Shiva & Mies (2005) mengkritisi konsep yang dipakai oleh beberapa negara dunia ketiga. Kecenderungan negara dunia ketiga seperti seperti Indonesia memakai pendekatan yang mengeksploitasi alam dengan dalih pembangunan dan mengejar ketertinggalan ekonomi. Sistem kapitalisme yang telah menjangkit di berbagai negara berkembang memaksa pendekatan ini digunakan.
Atas nama pembangunan eksploitasi dibenarkan, atas nama kemajuan kerusakan ekosistem lingkungan bisa diganti dengan nominal dan mengubah suatu peradaban bangsa. Benturan itu kerap terjadi pada realitas manusia; di samping kita membutuhkan kemajuan baik dalam tingkat pembangunan yang bisa menunjang pertumbuhan suatu negara, di sisi yang lain sistem ekonomi kapitalisme yang serampangan mencerabut nilai-nilai budaya di suatu bangsa.
Kekuatan kapital yang mendorong kekuasaan agar mencederai eksistensi alam sebagai satu entitas yang harus terjaga, memaksa kekuatan kapital merusak. Menurut Harvey, transformasi spasial ini menyebabkan proses kapital. Akumulasi merupakan pendorong pertumbuhan di bawah kendali moda produksi kapital (Harvey, 2001).
Kebutuhan untuk terus mengeksploitasi menyuburkan kapitalisme terus mengakumulasi dan mengekspansi. Semakin intensifnya pendekatan ini dilakukan mengancam ruang dan sumber daya alam semakin tergerus, potensi ini akan berimplikasi menjadi krisis berkepanjangan. Pengorbanan besar tentu harus ditempuh di tengah geliatnya kekuatan modal yang terus masuk ke negara berkembang seperti Indonesia.
Ada kepentingan lain yang saling terbentur. Geliat kekuatan modal akan saling menarik dengan kepentingan kelestarian lingkungan. Konsekuensi ini menjadi pertaruhan yang mesti ditempuh oleh kekuasaan, pemilik modal dan mereka yang secara konsisten para perjuangan lingkungan.
Dusta Kapitalisme Hijau
Menurut Candraningrum, secara harafiah antroposen dapat diartikan sebagai zaman manusia. Istilah ini berkembang sebagai zaman geologis baru yang umumnya berlangsung hingga 1950-an. Ditandai dengan transisi dalam urgensi manusia sebagai respons manusia. Istilah transisi antroposen mengenai tentang apa yang manusia lakukan secara kolektif untuk membentuk kembali hubungan manusia yang paling mendasar yang telah menjadi sangat tidak berfungsi (Candraningrum, 2023).
Sumber kekacauan ekosistem di muka bumi ini bermula dari paradigma yang mengatakan bahwa manusia sebagai pusat dari satu peradaban. Antroposentris memandang tidak ada makhluk di muka bumi yang lebih tinggi selain manusia itu sendiri. Sehingga, alam kehilangan kendali atas kedaulatannya untuk bertumbuh pada ekosistem yang utuh.
Hari ini Indonesia dan berbagai negara berkembang lainnya, mengalami pergeseran pembangunan yang menitikberatkan kepada kerusakan alam. Pembangunan yang tidak ditopang oleh keimanan yang memandang alam sebagai satu keutuhan yang harus tumbuh dan terjaga. Berhadapan dengan kondisi krisis yang berdampak pada jangka panjang. Urgensi ini seharusnya menjadi kekhawatiran bersama, dihadapkan pada krisis multidimensi. Sudah seharusnya pemerintah melakukan mitigasi dalam menghadapi krisis di masa depan.
Sayangnya, narasi demi ekosistem yang berkelanjutan tidak ditopang dengan tata kelola pemerintah yang baik. Berbicara urgensi, minimnya alokasi dana demi menjaga kerusakan lingkungan. Tercatat APBN 2024 yang dikhususkan untuk alokasi lingkungan berkisar di angka Rp 14 triliiun. Anggaran sebesar itu tidak akan sebanding jika kita lihat secara saksama kerusakan alam yang terjadi di mana-mana. Itu pun jika ditelusuri lebih dalam, anggaran untuk mitigasi krisis iklim hanya Rp 600 miliar.
Bauran energi baru terbarukan (EBT) dalam ketersediaan energi nasional masih di kisaran 12%. Bisa dipastikan target bauran EBT sebesar 23% pada tahun depan tidak akan tercapai. Ironisnya, target bauran EBT itu malah diturunkan di kisaran 17% - 19%. Bahkan, pajak karbon untuk mengurangi emisi pemanasan global yang harusnya berlaku mulai 2022 justru diundur pada 2025 (Iskandar, 2024).
Ancaman di masa depan tidak bisa dinafikan begitu saja. Geliat pembangunan yang merusak, tengah kita hadapi dalam kenyataan yang cukup pahit. Kehilangan ekosistem bumi yang cukup memprihatinkan bagi keberlangsungan generasi mendatang.
Sebagai narasi dari keimanan ekologis sudah seharusnya pendekatan pembangunan tidak hanya ditopang oleh kekuatan modal yang nafsu merusak. Tetapi, ada daya tawar yang diberikan demi menjaga kedaulatan lingkungan dari sifat serakah manusia.
Kemunculan modal besar dikemas dengan dusta kepitalisme hijau. Di mana negara berdalih bahwa investasi sangat dibutuhkan bagi negara berkembang demi membuka keran ekonomi yang dapat menunjang suatu bangsa.
Jika ditelaah secara saksama kapitalisme hijau akan mengakibatkan manusia menjadi semakin konsumtif. Alam dipaksa berproduksi di tengah kebutuhan konsumsi umat manusia. Siklus ini akan terus dikelola oleh kebijakan negara yang berbasis kepada kapitalisme hijau. Dengan dalil bahwa kerusakan yang terjadi bisa dihadapi dengan keuntungan yang dihasilkan.
Narasi Iman Ekologis
Konsep utama dari pembangunan memberikan ruang partisipasi, kesetaraan, dan keberlanjutan. Ketiga hal ini bagian integral yang menjadi fondasi dalam menjamin pembangunan yang adil bagi suatu bangsa. Keberlanjutan ekologis gagasan besar yang harus diimpikan oleh setiap makhluk hidup yang berada di muka bumi ini. Menjadi tanggung jawab bersama dalam menumbuhkan kesadaran membangun ekosistem keberlanjutan.
Alam tidak hanya dimaknai dalam sudut pandang pertumbuhan ekonomi. Sehingga, tidak ada kesan timpang demi memuaskan hasrat merusak. Dalam analisisnya Vandana Shiva (2023) alam ditundukkan ke bawah pasar dijadikan sebagai penyuplai bahan baku industrial dan lahan penampung limbah polusi. Korporasi sebagai institusi dominan dibentuk oleh patriarki kapitalis yang menyuburkan ketimpangan ekologi dan warisan dualisme Cartesian yang membenturkan alam versus manusia.
Oleh karena itu, langkah konkret dibutuhkan dalam menatap masa depan bumi. Hal ini bisa dimulai dengan perubahan paradigma pembangunan yang selaras dan seimbang dengan ekologi. Negara tidak hanya memprioritaskan pertumbuhan ekonomi, hal paling fundamental ialah memberi ruang partisipasi, kesetaraan, dan keberlanjutan.
Ikhtiar ini harus menjadi narasi keberlanjutan yang secara intensif diupayakan baik itu melalui kebijakan yang pro terhadap keberlanjutan lingkungan maupun menumbuhkan agenda publik melalui narasi yang mendukung keberlanjutan pembangunan yang berwawasan lingkungan.
Langkah ini menjadi semacam agenda besar yang mengedepankan peran pertumbuhan dan pembangunan yang berwawasan lingkungan dengan dikemas narasi iman dan ekologis. Sebuah ikhtiar yang harus terus dilakukan di tengah geliat kapitalisme di berbagai negara.
Hamzah Jamaludin dosen Ilmu Pemerintahan STISIP Widyapuri Mandiri Sukabumi
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini