Memerdekakan Kampus dari Kekerasan Seksual
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Mimbar Mahasiswa

Memerdekakan Kampus dari Kekerasan Seksual

Senin, 13 Mei 2024 16:00 WIB
Aura Zafirah
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Ilustrasi kasus kekerasan seksual di kampus.
Ilustrasi: Edi Wahyono/detikX
Jakarta -

Beberapa waktu lalu, kita mendengar kabar tentang pengunduran diri Satuan Tugas Penanganan dan Pencegahan Kekerasan Seksual Universitas Indonesia (Satgas PPKS) Universitas Indonesia (UI. Kabar tersebut cukup mengejutkan di tengah harapan terwujudnya kampus yang bebas dari kekerasan seksual.

Pembentukan Satgas PPKS merupakan langkah konkret pimpinan UI dalam menunjukkan keberpihakan atas kebutuhan hadirnya satgas tersebut di level universitas. Tidak banyak kampus yang memandang hal itu sebagai kebutuhan mendesak. Bahkan, sebagian besar kampus masih berkutat pada pendefinisian bentuk dan kategori kekerasan seksual, tanpa menempatkan urgensi penanganan dan pencegahan sebagai prioritas.

Jalan Buntu

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Perguruan Tinggi (PT) sudah sepatutnya menjadi ruang yang aman dan nyaman bagi seluruh sivitasnya. Namun, sampai saat ini kondisi tersebut belum sepenuhnya terwujud terutama karena masih banyaknya kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus. Data Kemendikbudristek, Juli 2023 menyebutkan, setidaknya terdapat 65 kasus kekerasan seksual di PT.

Bisa jadi, kasusnya lebih banyak lagi dari data yang tercatat, mengingat kasus tersebut sering dianggap tabu dan memalukan bagi korban, sehingga seringkali tidak diungkap.

ADVERTISEMENT

Sebenarnya Menteri Pendidikan dan Kebudayaan telah mengeluarkan Permendikbud No.30/2021 tentang Penanganan dan Pencegahan Kasus Kekerasan Seksual di Lingkungan PT. Peraturan itu seyogianya menjadi landasan setiap PT untuk memberikan akses dan pelayanan bagi seluruh sivitasnya dalam menangani dan mencegah kasus kekerasan seksual termasuk salah satunya melalui pembentukan Satgas PPKS.

Menurut Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim, Satgas PPKS diharapkan berperan sebagai garda terdepan perwujudan kampus yang merdeka dari kekerasan. Namun, alih-alih menjadi salah satu solusi, kehadirannya justru dapat menjadi tembok besar yang menghadang tahap pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan kampus. Karena, tidak mudah bagi Satgas PPKS untuk menjalankan tugas dan fungsinya, baik dalam hal pencegahan apalagi penanganan tanpa dukungan dari berbagai pihak.

Penanganan dan pencegahan kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus seharusnya dapat ditangani secara inklusif dan responsif. Kenyataan, harus diakui respons dari pimpinan kampus terkesan lambat, kurangnya fasilitas yang memadai dalam menjalankan pelayanan, dan masih rendahnya komitmen dari seluruh unsur sivitas di kampus.

Berbagai fenomena tersebut tampaknya menjadi belenggu bagi gerak maju perguruan tinggi dalam menciptakan keamanan dan kenyamanan di lingkungan kampus. Padahal kondisi ini merupakan salah satu hak asasi manusia yang seharusnya dijamin oleh pihak kampus dan seluruh sivitas.

Karena itu, pihak kampus sudah sepatutnya tidak menutup mata dan diam membisu ketika dihadapkan dengan isu-isu kekerasan seksual. Apalagi tak jarang dalam sejumlah kasus, pihak kampus terkesan menutupi kasus yang ada, termasuk menegasikan laporan korban dengan dalih menjaga nama baik kampus. Sungguh sebuah ironi!

Urgensi Satgas PPKS: Kewajiban atau Kebutuhan?

Dilihat dari urgensinya, keengganan sejumlah kampus untuk membentuk Satgas PPKS seperti yang diamanatkan dalam Permendikbud, seyogianya dipandang sebagai sebuah pelanggaran/ketidakpatuhan yang berimplikasi pada teguran/hukuman. Kelalaian pihak kampus dalam merespon tuntutan pembentukan Satgas PPKS dapat dicap sebagai 'kampus tanpa moralitas'.

Sebagai salah satu institusi pendidikan, kampus berperan menjadi motor penggerak dalam pencegahan kekerasan seksual, bukan hanya sebagai "pemadam kebakaran" ketika ada kasus yang mencuat. Oleh karena itu kehadiran Satgas PPKS di lingkungan kampus seharusnya dimaknai secara substansi, bukan hanya sekadar menggugurkan kewajiban. Namun juga perlu dipahami bahwa Satgas PPKS bukan panacea (obat mujarab) dalam memerdekakan kampus dari kekerasan seksual.

Selain itu, hal lain yang perlu diperhatikan bahwa berbeda dengan tindakan kriminal, penanganan kasus kekerasan seksual membutuhkan individu yang memiliki pemahaman dan pengetahuan yang memadai tentang kekerasan seksual, baik dari aspek hukum, edukasi, maupun nilai keadilan/kesetaraan dan keberpihakan terhadap korban. Oleh karena itu, kehadiran Satgas PPKS tanpa didukung oleh para individu dengan kriteria tersebut ibarat "tentara tak bersenjata di medan perang."

Hal yang juga tak kalah pentingnya adalah memastikan keterlibatan perwakilan unsur sivitas dalam Satgas PPKS untuk mengakomodasi beragam perspektif dalam penanganan kasus, terutama perspektif mahasiswa yang seringkali menjadi lapisan paling bawah dalam struktur relasi di kampus.

Peran Mahasiswa

Di sisi lain, mahasiswa sebenarnya bisa berperan mendampingi Satgas PPKS dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Mahasiswa sebagai aktor perubahan (agent of change) memiliki modalitas melalui jejaring dan komunitas serta media sosial baik formal maupun informal yang dapat berperan khususnya dalam upaya pencegahan kekerasan seksual seperti melalui sosialisasi, edukasi norma anti kekerasan seksual, serta advokasi.

Selain aspek pencegahan, mahasiswa juga dapat berkontribusi dalam mengawal proses penanganan kasus terutama yang melibatkan mahasiswa, untuk menjamin hak-hak dan kewajiban pihak yang terkait, khususnya korban, terpenuhi secara adil. Namun demikian, peran mahasiswa tersebut sepatutnya dikoordinasikan dengan elemen terkait di kampus untuk menyelaraskan langkah dan kebijakan sehingga tidak terjadi hal yang kontraproduktif.

Pada intinya, siapapun itu memiliki tanggung jawab untuk mewujudkan kampus yang aman dan nyaman. "Gerak Bersama" menjadi kunci untuk memerdekakan kampus dari belenggu kekerasan seksual. "Kampus bermoral, kampus tanpa toleransi kekerasan seksual"

Aura Zafirah mahasiswa FKG UI

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads