Yesus yang naik ke surga tidak bisa dilepaskan dari perjalanan-perjalanan hidup Yesus sebelumnya. Yesus yang naik ke surga adalah Yesus yang pernah turun ke dunia. Tanpa pernah mengalami pengalaman turun orang tidak pernah bisa naik. Tanpa pernah gagal orang tidak pernah bisa merasakan seperti apa keberhasilan itu. Tanpa pernah mati Yesus tidak akan bangkit. Tanpa pernah menjelma menjadi manusia Ia tidak akan naik ke surga. Tanpa pernah mengalami kejatuhan orang tidak dapat merasakan bagaimana indahnya kebangkitan.
Tanpa pernah jatuh dalam dosa orang tak dapat merasakan bahagianya pengampunan. Itulah maknanya kekurangan, keadaan sulit, sakit, gagal, jatuh miskin, tidak berdaya dan lemah yang kiranya relevan dengan situasi hidup kita belakangan ini. Itulah dinamika kehidupan yang dialami semua orang.
Untuk itu permenungan mengenai kenaikan Yesus ke surga kita mulai dari kisah kelahiran Yesus ketika Dia lahir di kandang Betlehem atas warta Malaikat Gabriel kepada Bunda Maria. Istimewa karena dalam sejarah belum pernah ada nabi yang lahir di kandang. Istimewa karena belum pernah ada nabi yang langsung lahir dari jelmaan Allah. Dalam warta itu ditegaskan bahwa Maria akan mengandung dari Roh Kudus. Sekalipun terasa mencengangkan seorang perempuan yang belum menikah bisa hamil karena Roh Kudus. Yesus pun harus meninggalkan kemegahan surga untuk menjelma menjadi manusia.
Begitu juga pada usia 12 tahun Yesus sudah mulai mengajar para imam kepala dan ahli-ahli Taurat di Bait Allah. Untuk ukuran manusia mana ada anak 12 tahun bisa mengajar. Inilah hak partisipasi anak dalam diri Yesus pada usia 12 tahun sudah berani mengemukakan pendapat kepada orang lain. Itu jadi referensi dalam setiap pelatihan Konvensi Hak Anak (KHA) terutama mengkaitkan dengan soal agama. Sama seperti dialog Iskak dan Abraham pada waktu mau dikorbankan di puncak gunung.
Kemudian sepanjang kehidupan Yesus juga sangat dekat dengan orang-orang yang dianggap "sangat berdosa" ketimbang orang pada umumnya. Yesus bergaul dengan pelacur, pemungut cukai, gelandangan, orang kusta, orang sakit, orang yang kerasukan setan. Sekali lagi jalan pikir kita keliru dalam memandang Yesus. Semula tentu kita semua berharap mempunyai Tuhan yang hebat dan mempunyai mandat kekuasaan duniawi sehingga dapat mengalahkan raja-raja dunia. Namun kita kecewa ketika yang datang adalah Yesus dengan sosok kurus anak tukang kayu dan perempuan sederhana.
Ini persis ketika kita berharap mempunyai menantu anak pejabat yang ganteng, kaya, dan bersih --ke mana-mana memakai jas dan mobil bagus. Namun ketika yang didapat adalah anak orang miskin yang tidak bisa membahagiakan dan membanggakan orangtua hanya diungkit-ungkit kesalahannya. Yesus memilih dengan penampilan dan keberpihakan sederhana seperti itu agar bisa dimiliki semua orang. Bukankah hidup ini adalah pilihan?
Bagi Yesus meninggalkan para murid dengan naik ke surga ialah penegasan bahwa diri-Nya benar-benar Putra Allah. Jika sebelumnya Rasul Paulus mengatakan bahwa Yesus tidak mati dan dibangkitkan Bapa, maka sia-sialah iman kita. Begitu ketika Yesus naik ke surga menjadi bukti bahwa Dialah Anak Allah.
Benar kata Paulus, jika Yesus tidak dibangkitkan Bapa, maka aksinya lahir di kandang domba, menyembuhkan orang sakit, menghidupkan orang mati bahkan sampai kisah penyaliban-Nya hanya dianggap akting belaka. Itu mirip politisi yang berbuat baik namun ada maunya. Yesus jauh melebihi ulah politisi yang hanya cari nama dan popularitas. Bahkan kalau zaman sekarang hanya dianggap sebagai pencarian citra dan popularitas.
Namun Yesus tidak gagal. Ia menjalankan sedetik demi detik langkah demi langkah rencana Bapa-Nya. Yesus detail melaksanakan ketaatan penuh kehendak Bapa-Nya. Tidak ada yang meleset. Itulah yang membedakan rencana Allah dan rencana manusia. Jika rencana Allah meski sulit, kadang gelap, tidak pasti dan menyakitkan namun hasilnya pasti.
Apa makna kisah kenaikan Yesus ke surga dewasa ini? Satu-satunya pesan Yesus sebelum naik ke surga ialah agar kita pergi dan mewartakan Injil kepada segala makhluk. Pesan ini bagi sebagian orang sering ditafsirkan secara keliru yakni agar kita terus mencari pengikut sebanyak-banyaknya dengan cara menarik orang dan membaptisnya. Sebagian dari kita keliru bahwa kita harus pergi, mencari jemaah dan membaptis sebanyak mungkin orang.
Apakah masih relevan pada masa kini kita dari pintu ke pintu mewartakan Injil dengan menceramahi orang yang sudah beragama? Apakah masih relevan membagi benda-benda material demi menambah jumlah jemaat? Apakah masih relevan membagi-bagi sembako lantas membaptis orang dengan iming-iming materi? Mewartakan Injil semacam itu mirip cara kerja politisi yang mencari pengikut dengan bagi-bagi bantuan.
Yesus mengajak kita untuk tidak menjadi pewarta kabar sukacita secengeng dan sedangkal itu. Tidak relevan menarik orang agar beragama seperti kita. Dalam masyarakat plural seperti Indonesia sekarang ini kiranya pesan Yesus itu lebih tepat ditafsirkan bahwa kita harus memberi kesaksian tentang kebenaran kepada orang lain ketimbang mengajak orang menjadi Kristen. Kesaksian adalah mewujud dalam tindakan nyata. Sering terjadi orang berbusa-busa ngomong tentang hal-hal Injili namun perilaku dan tindakan jauh dari kebenaran.
Hidupnya jauh dari keteladanan. Dalam bahasa biblis hidupnya jauh dari Kerajaan Allah. Siapa tidak kaget, semua yang digelandang ke penjara karena kejahatan, mereka juga beragama? Ternyata ada nama baptis di depannya. Di rumahnya ada tempat berdoa juga atau memasang salib di semua sudut kamarnya. Namun perilaku mereka jauh dari Tuhan.
Perutusan itu bermakna, ketika masyarakat pada umumnya memandang bahwa korupsi, tidak jujur, menyebarkan berita bohong, melakukan kekerasan sebagai hal yang wajar bagaimana orang Kristen mencoba dengan gaya hidup yang berbeda. Begitu pun ketika orang melakukan perusakan lingkungan, membakar hutan, pembalakan liar seyogianya mengemban perutusan Tuhan orang Kristen tidak melakukan hal itu. Pada saat yang lain Yesus memperkenalkan cara hidup jemaat. Cara hidup itu ialah berkumpul, memecahkan roti, makan bersama, dan berdoa bersama. Kata kuncinya adalah berkumpul dan berbagi.
Dewasa ini ada banyak gerakan untuk berkumpul, namun sedikit yang berbagi kepada sesama. Mereka ke sana kemari untuk bersenang-senang dengan kamuflase kehidupan menggereja namun malas berbagi. Meneladani Yesus yang menggandakan lima roti dan dua ikan untuk dibagikan kepada jemaat yang hadir sumber belajarnya adalah mau berkumpul, berdoa, dan berbagi kepada sesama.
Paulus Mujiran Ketua Pelaksana Yayasan Kesejahteraan Keluarga Soegijapranata Semarang
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini