Rendahnya Penurunan Stunting
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Rendahnya Penurunan Stunting

Rabu, 08 Mei 2024 11:15 WIB
Prof. Dr. ALI KHOMSAN
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
ali khomsan
Prof. Dr. Ali Khomsan (Foto: dok. pribadi)
Jakarta -

Survei Kesehatan Indonesia 2023 yang mengungkap penurunan prevalensi stunting (anak pendek) telah diumumkan secara resmi pada 25 April 2024. Hasilnya tidak menggembirakan karena stunting hanya turun 0,1 persen, dari 21,6% (2022) menjadi 21,5 persen (2023). Kini pemerintah sedang ancang-ancang untuk merevisi target stunting 2024 yang semula direncanakan 14 persen. Angka stunting yang mungkin lebih realistis yang bisa dicapai tahun ini adalah 18 – 19 persen.

Perlu dilakukan analisis mendalam tentang penyebab rendahnya penurunan stunting. Setiap tahun pemerintah menganggarkan dana puluhan triliun rupiah (tahun 2022 sekitar Rp 45 triliun) untuk membiayai program-program stunting. Oleh sebab itu wajar bila anggaran yang sangat besar ini harus diarahkan untuk lebih fokus mencegah dan menangani anak-anak stunting.

Indonesia sudah menaruh perhatian besar pada persoalan stunting sejak awal pemerintahan era Presiden Jokowi. Pemerintah menyadari bahwa persoalan stunting akan lebih cepat diatasi jika bantuan pangan diikuti dengan perbaikan pola hidup dan kondisi lingkungan tempat tinggal. Presiden Jokowi menegaskan, stunting bukan hanya masalah makanan, tapi juga berkaitan dengan kesehatan lingkungan dan ketersediaan air bersih. Jadi semuanya harus bekerja dan harus terintegerasi.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Program stunting di Indonesia diwujudkan dengan intervensi spesifik dan sensitif. Kedua intervensi ini harus dipadukan agar penanganan masalah stunting sifatnya berkelanjutan. Contoh intervensi spesifik yang dilakukan Kementerian Kesehatan adalah pemantauan tumbuh kembang balita di posyandu, imunisasi, pemberian vitamin A dan Program Makanan Tambahan (PMT) baik untuk anak maupun ibu hamil.

Sementara Kementerian/Lembaga lain non kesehatan melakukan intervensi sensitif seperti perbaikan kesehatan lingkungan, bantuan jamban sehat, program pengentasan kemiskinan oleh Kementerian Sosial melalui distribusi Bantuan Pangan Nontunai, Program Keluarga Harapan (PKH), serta pemberdayaan perempuan. Kementerian Pertanian menyelenggarakan Program KRPL (Kawasan Rumah Pangan Lestari).

ADVERTISEMENT

Setiap rumah tangga yang memiliki anak stunting harus mendapatkan bantuan lintas sektor, sehingga rumah tangga tersebut mendapatkan manfaat mulai dari program kesehatan, sosial, pertanian, hingga lingkungan. Konvergensi program stunting pada level rumah tangga berpeluang besar untuk menurunkan angka prevalensi stunting. Sayangnya, kita mungkin sekadar berpuas diri dengan konvergensi program stunting level wilayah. Jadi, bila program-program yang disebutkan tadi sudah ada di level wilayah (kecamatan atau desa), maka dianggap konvergensi telah dilakukan.

Memutus rantai stunting pada prinsipnya dapat dilakukan dengan tiga hal, yaitu pemberian subsidi pangan, perbaikan sanitasi, dan yang lebih utama meningkatkan kesejahteraan alias mengentaskan kemiskinan. Kehidupan masyarakat yang masih akrab dengan persoalan kemiskinan menyebabkan sulitnya kita mengeliminasi problem gizi seperti stunting.

Langkah krusial yang harus segera dilakukan dalam penanggulangan stunting adalah intervensi bantuan makanan langsung baik berupa pangan sumber kalori maupun protein atau sumber gizi lainnya. Bantuan makanan ini jangan dicampuradukkan dengan bantuan sembako untuk keluarga, tetapi benar-benar dimaksudkan untuk dikonsumsi anak stunting. Untuk itu disarankan bantuan pangan hewani untuk anak stunting berupa telur atau susu.

Silakan lakukan studi banding program gizi di negara maju (AS), di sana posyandunya yang disebut Supplemental Food Program for Women, Infants, and Children (WIC) identik dengan voucer bantuan pangan untuk balita, ibu hamil, ibu menyusui dari keluarga miskin. Di Amerika setiap balita dari keluarga miskin berhak mendapat bantuan pangan seperti susu, telur, sayuran, peanut butter, orange juice, dan sereal senilai setara kurang lebih Rp 1.000.000 setiap bulan. Sementara di Indonesia, posyandunya identik dengan program penimbangan balita dengan pemberian makanan tambahan seadanya (sebutir telur sebulan). Ini yang menyebabkan problem gizi di negara kita tidak pernah tuntas diatasi.

Presiden telah menekankan pentingnya food-based approach untuk intervensi pencegahan dan penanganan stunting. Kritik Presiden cukup keras bahwa anggaran stunting jangan terlalu banyak digunakan untuk perjalanan dinas, tetapi hendaknya dialokasikan untuk pengadaan bantuan pangan anak stunting. Sesungguhnya anak balita stunting masih dapat mengejar ketertinggalan pertumbuhan tinggi badannya asalkan mendapat asupan gizi yang cukup.

Posyandu menjadi salah satu pintu masuk untuk mencegah dan mengatasi stunting. Jumlah posyandu pada 2022 tercatat 213.670 unit, tetapi diperkirakan hanya 40 persen yang melaksanakan fungsinya dengan baik. Selain itu cakupan posyandu juga masih rendah yaitu 50 persen untuk anak balita dan 20 persen untuk ibu hamil. Secara keseluruhan kader posyandu terlatih berjumlah 30 persen dan sisanya adalah kader dengan kualitas seadanya.

Selama ini kader posyandu dianggap tenaga sukarela karena posyandu adalah gerakan dari masyarakat dan untuk masyarakat. Padahal, kader adalah manusia yang juga memerlukan penghargaan finansial karena partisipasinya dalam perbaikan gizi masyarakat. Oleh karena itu, revitalisasi posyandu harus didukung peningkatan dana untuk insentif kader dan pemberian makanan tambahan anak balita yang berkualitas.

Prevalensi stunting yang masih relatif tinggi menunjukkan bahwa selama ini posyandu nyaris tak berdaya untuk mengatasi problem gizi. Revitalisasi posyandu hanya ramai dibicarakan namun sepi dalam tindakan. Penguatan posyandu yang akan berdampak positip pada perbaikan gizi masyarakat harus segera dilakukan. Program gizi yang berkualitas dan berkesinambungan sangat diperlukan di negara ini. Persoalan gizi akan stagnan dan tidak kunjung teratasi dengan baik apabila posyandu dibiarkan berjalan seadanya.

Stunting membawa akibat pada munculnya gangguan kognitif anak. Menurut analisis Bank Dunia (2018,) 55 persen anak Indonesia functionally illiterate alias tidak mengerti apa yang dibaca. Sumber daya manusia (SDM) Indonesia benar-benar dipertaruhkan bila negara tidak mampu mengatasi stunting.

Ali Khomsan Guru Besar Departemen Gizi Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) IPB

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads