Ruang selebrasi digital Indonesia ramai akan euforia hasil Pemilihan Umum 2024 yang dimenangkan oleh pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Keramaian tersebut bersifat komodifikatif dan cenderung masih membawa sentimen trikotomi para pendukung pasangan calon Presiden dan wakil presiden antara 01, 02 dan 03.
Visi Indonesia emas dan harapan adanya transformasi pelayanan publik Indonesia tidak menjadi resonansi pasca Pemilu 2024, padahal semestinya masyarakat sebagai terwakil memiliki harapan (political will) kepada para wakilnya baik yang di eksekutif ataupun legislatif jika mengacu pada konsep keterwakilan politik. Salah satu political will yang harus realisasikan adalah penyelesaian permasalahan kegagalan transformasi pelayanan publik yang masih menjadi persoalan penting yang harus segera dituntaskan oleh pemerintah ke depan.
Hal tersebut mesti menjadi prioritas karena hubungan masyarakat dan pemerintah akan dijembatani dengan sistem pelayanan publik. Rendahnya mutu produk pelayanan publik (service quality) di Indonesia, terutama di daerah, disebabkan oleh buruknya kinerja birokrasi sebagai dapur layanan (manufacturing quality) yang juga akan mempengaruhi produk barang/jasa yang dilayani (delivery mechanism).
Ragam permasalahan dalam tubuh birokrasi terlihat pada sejumlah segi fundamentalnya, seperti kerangka kebijakan dan kapasitas pelaksanaan berkenaan kualitas SDM aparatur yang rendah, struktur birokrasi yang kompleks, koordinasi antar fungsi/struktur yang tidak efektif, dan infrastruktur kerja yang cenderung kaku (rigid). Pembenahan pelayanan birokrasi yang memiliki tendensi kaku bisa disiasati dengan transformasi dukungan terhadap pelayanan digital (e-government).
Transformasi digital dan perubahan sosial-ekonomi yang bersifat eksponensial terjadi di berbagai belahan dunia, juga kita di Indonesia secara nasional hingga daerah dan desa. Namun permasalahannya adalah akses dan fitur digital yang tersedia tidak berjalan maksimal akibat ketidakmatangan infrastruktur pelayanan secara baik.
Kendati demikian, Wakil Presiden Maruf Amin juga menyampaikan pada saat peluncuran laporan tahunan Ombudsman RI bahwa kualitas pelayanan publik yang rendah di Indonesia. Parameter yang bisa digunakan dalam keberhasilan layanan publik salah satunya adalah aduan masyarakat. Dengan demikian kerja keras infrastruktur pelayanan publik harus ditingkatkan.
Laporan Ombudsman
Laporan Ombudsman RI sebagai lembaga sampiran negara (state auxiliary agency) yang mengawasi dimensi pelayanan publik memang mengatakan bahwa pada 2023 ada kepatuhan Kementerian/Lembaga terhadap standar pelayanan publik dan juga indeks efektifitas naik. Namun yang menjadi sorotan adalah laporan masyarakat menunjukkan bahwa kualitas pelayanan publik di daerah masih sangat rendah.
Aduan Masyarakat yang diterima Ombudsman perwakilan daerah jumlahnya sepuluh kali lipat lebih banyak dari laporan yang diterima oleh Ombudsman pusat, padahal laporan Masyarakat adalah salah satu parameter keberhasilan penyelenggaraan pelayanan publik.
Sepanjang 2023 Ombudsman RI menangani 26.461 keluhan pelayanan publik. Angka tersebut terdiri dari laporan masyarakat sejumlah 7.792, konsultasi non-laporan berjumlah 15.348, respons cepat Ombudsman (RCO) sebanyak 948, sementara investigasi atas prakarsa 118 dan adanya surat tembusan sejumlah 2.655 kasus. Di samping itu jumlah laporan yang dapat diselesaikan Ombudsman RI sepanjang 2023 sejumlah 7.909 laporan. Dari jumlah tersebut kantor pusat menyelesaikan sebanyak 1.200 laporan, dan kantor perwakilan menyelesaikan 6.709 laporan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Permasalahan maladministrasi turut menghantui pelaksanaan laporan ketidakmaksimalan pelayanan publik di Indonesia. Ombudsman juga menemukan maladministrasi sebesar 40,38%. Tiga dugaan maladministrasi terbesar terdapat pada kasus tidak memberikan pelayanan, penundaan berlarut, dan penyimpangan prosedur. Tentu ini sangat menunjukkan kakunya sistem pelayanan publik.
Ketika intensitas laporan pelayanan sudah banyak saja sudah menunjukkan anomali pelayanan, ditambah dengan praktik maladministrasi, ini menunjukan bahwa betapa penuh rigiditas pelayanan publik di Indonesia. Dengan demikian tranformasi pelayanan publik secara eksponensial harus diterapkan.
Paradigma Baru
Skema pelayanan publik oleh pemerintah kepada masyarakat merupakan hal yang vital dalam konsep birokrasi yang efektif. Dalam skema hubungan itu, standar mutu suatu pelayanan publik sekurangnya diukur dari adanya dua indikator yang generik yakni meliputi kualitas substansi yang mengandung jaminan terhadap hak dan kebutuhan masyarakat dan juga mengacu pada kualitas proses yang mengandung penghormatan atas prinsip kewargaan demokratik dan penyelenggaraan pemerintahan yang baik.
Di sini, arah ideal reformasi pelayanan publik yaitu gabungan kualitas substansi (yang merupakan paradigma sektor publik berbasis penghormatan hak dasar warga, sebagaimana yang menjadi semangat inti paradigma New Public Service).
New Public Service merupakan koreksi atas rigiditas legalistik yang terkandung dalam paradigma Old Public Administration (OPA) maupun atas orientasi efisiensi ekonomi dalam New Public Management (NPM), kemudian NPS meletakkan sektor publik di atas fondasi demokrasi. Asas dasarnya adalah democratic-citizenship yang memberikan semacam penegasan ulang bahwasanya esensi dan proses pelayanan publik merupakan perwujudan hak rakyat dan tanggung jawab negara dalam pemenuhannya.
Perubahan ini juga menyangkut cara melihat masyarakat dalam proses pemerintahan, makna kepentingan publik, dan bagaimana kepentingan tersebut diselenggarakan oleh negara. Kebijakan publik hingga aksi-aksi layanan publik tidak lagi terus mengandalkan cara kerja lama dengan kultur pelayanan yang ortodoks atau menempatkan pemerintah sebagai ndoro atau penguasa. Semua itu akan segera kedaluwarsa, tidak saja menjadi inefisien tetapi juga niscaya tergerus-kalah dalam lanskap persaingan serba cepat, ringkas, dan juga memiliki tendensi dingin.
Birokrasi yang agile dan adaptif semestinya memiliki visi melampaui zamannya (thinking ahead), secara terus-menerus (thinking again), dan dalam horizon berpikir luas lintas batas (thinking across), pengambilan keputusan berbasis bukti (evidence-based) yang terangkum, dikelola, dan disajikan dalam tatakan mahadata terintegrasi (integrated big-data), dan sebagainya menjadi bahasa sehari-hari dalam tata kelola sektor publik.
Politik pelayanan publik Indonesia yang birokratik, dengan aparaturnya yang belum sepenuhnya bebas dari warisan kultur kekuasaan (power culture) menuju service culture sehingga pelayanan publik tak dilihat dalam semangat memfasilitasi tetapi mengendalikan perilaku warga. Birokratisasi layanan publik tersebut kemudian bertaut dengan standarisasi berupa penyeragaman mutu layanan yang justru menafikan keragaman sosial dan variasi lokal yang ada. Di sisi lain mesin birokrasi masih belum mengubah persepsi dirinya menjadi sebuah instrumen pemberdayaan dan memfasilitasi kesejahteraan rakyat, tetapi untuk menjalankan kepentingan kekuasaan (negara bureaucratic-polity).
Deden Abdul Kohar Yusuf Gautama analis politik
(mmu/mmu)