Indonesia tengah dikejutkan oleh kasus korupsi dengan kerugian lingkungan mencapai Rp 271,06 triliun di sektor pertambangan timah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Penghitungan kerugian lingkungan tersebut dilakukan oleh Bambang Hero Saharjo, seorang ahli lingkungan Institut Pertanian Bogor (IPB). Dasar penghitungan ini yaitu Peraturan Menteri Lingkungan Hidup (Permen LH) Nomor 7 Tahun 2014 yang mengatur penghitungan kerugian dari aspek lingkungan oleh ahli yang ditunjuk oleh pejabat lingkungan hidup pusat atau daerah.
Faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya kerugian lingkungan antara lain durasi waktu pencemaran, volume polutan, dan status lahan yang rusak. Menurut perhitungan tersebut, total kerugian lingkungan dalam kasus tersebut terbagi atas kerugian kawasan hutan dan non-kawasan hutan. Kerugian dalam kawasan hutan mencakup kerugian dari segi ekologi, ekonomi lingkungan, dan biaya pemulihan, sedangkan kerugian non-kawasan hutan mencakup kerugian ekologis, ekonomi lingkungan, dan biaya pemulihan. Masyarakat perlu mengetahui secara detail kerusakan lingkungan yang terjadi dan seberapa besar dampak negatif yang ditimbulkan oleh aktivitas pertambangan tersebut.
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung memiliki sumber daya alam yang beragam serta melimpah. Sektor pertambangan timah menjadi salah satu pilar utama dalam struktur ekonomi masyarakat. Pertambangan timah dianggap mampu memberikan kesejahteraan yang memadai dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Secara positif, pertambangan timah dapat mengurangi tingkat pengangguran dengan terciptanya lapangan pekerjaan baru. Pertambangan timah juga memberikan kontribusi signifikan terhadap pendapatan daerah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dokumen informasi kinerja pengelolaan lingkungan hidup daerah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung pada 2022 menyebutkan bahwa Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) merupakan indikator penting dalam pengelolaan lingkungan hidup. IKLH berisi informasi yang berharga dalam pengambilan kebijakan terkait perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Peningkatan IKLH Provinsi Kepulauan Bangka Belitung menjadi salah satu tujuan dalam misi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi tersebut. Pada 2021, IKLH Provinsi Kepulauan Bangka Belitung secara umum mencapai 72,05. Nilai ini merupakan penurunan sebesar 1,45 poin dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Meskipun demikian, IKLH Bangka Belitung masih berada dalam predikat baik sesuai dengan kategori perhitungan yang ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Namun, terdapat beberapa penurunan pada indikator-indikator kualitas lingkungan lainnya.
Indeks Kualitas Air (IKA) mengalami penurunan signifikan menjadi 58,37, di bawah target yang ditetapkan oleh KLHK. Indeks Kualitas Udara (IKU) juga mengalami penurunan, meskipun masih berada di atas target yang ditetapkan oleh KLHK. Meskipun terjadi peningkatan pada Indeks Kualitas Lahan (IKLH) menjadi 40,1 dari tahun sebelumnya, kualitasnya masih diklasifikasikan sebagai kurang. Sementara itu, Indeks Kualitas Air Laut (IKAL) mengalami peningkatan yang signifikan dari tahun sebelumnya.
Penurunan kualitas lingkungan hidup Kepulauan Bangka Belitung salah satunya disebabkan oleh tambang timah yang merupakan sektor utama bagi perekonomian di wilayah tersebut. Ketika indikator-indikator kualitas lingkungan seperti IKA, IKU, dan IKLH mengalami penurunan, hal ini dapat menunjukkan adanya gangguan atau degradasi lingkungan. Penurunan kualitas lingkungan hidup seringkali merupakan indikator dari adanya kerusakan lingkungan.
Kerusakan lingkungan diartikan sebagai proses penurunan kualitas lingkungan yang mencakup penurunan kualitas sumber daya tanah, air, dan udara, serta hilangnya keragaman spesies baik flora dan fauna bersamaan dengan kerusakan ekosistem. Dampak pertama akibat tambang timah yaitu adanya eksploitasi tambang yang menyebabkan penggundulan hutan. Saat eksploitasi tambang, berbagai dampak lingkungan dapat terjadi.
Penggundulan hutan adalah salah satu dampak yang signifikan. Kegiatan eksploitasi tambang sering kali memerlukan penggundulan hutan untuk memberikan akses ke lokasi tambang dan memperluas area penambangan. Hal ini dapat menyebabkan hilangnya habitat bagi berbagai spesies tumbuhan dan hewan, serta mengurangi keragaman hayati bahkan kepunahan lokal.
Selain itu, pencemaran udara juga menjadi masalah serius, karena proses penambangan dan pengolahan mineral menghasilkan debu dan gas beracun yang mencemari udara. Pencemaran air juga terjadi karena limbah tambang, termasuk limbah cair dari proses penambangan dan pengolahan mineral yang mengakibatkan pencemaran air dengan logam berat dan bahan kimia beracun. Selain itu, eksploitasi tambang juga mengubah topografi dan lanskap alami suatu daerah secara drastis, yang pada akhirnya dapat menyebabkan kerusakan permanen pada lingkungan, termasuk erosi tanah yang parah dan perubahan pola aliran sungai.
Penelitian Haryati dan Agus (2019) dalam Jurnal Sumberdaya Lahan menginformasikan bahwa kegiatan penambangan timah di wilayah kepulauan Bangka Belitung umumnya dilakukan di area yang memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP), dengan sebagian besar lokasi berada di Pulau Bangka dan Pulau Belitung. Berdasarkan data dari PT Timah pada 2016, luas izin usaha pertambangan (IUP) untuk penambangan timah di darat dan di laut masing-masing adalah 236.390,33 ha dan 183.837,03 ha.
Selain itu, laporan dari Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP) tahun 2016 menyebutkan bahwa di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung terdapat 124.838 ha lahan bekas penambangan timah, yang terdiri dari 79.163 ha di Pulau Bangka dan 45.675 ha di Pulau Belitung. Luasnya lahan bekas tambang tersebut mengindikasikan bahwa adanya degradasi lahan yang berdampak negatif bagi lingkungan diantaranya kerusakan bentang lahan, kerusakan sifat fisik, tercampurnya lapisan olah tanah dan tanah bawah, rendahnya kandungan bahan organik dan paparan lapisan tanah yang mengandung limbah berbahaya.
Tanah bekas tambang timah sebagian besar terdiri dari pasir tailing yang terbentuk dari mineral pasir granit yang sulit untuk terdegradasi dan hanya sedikit bahan mineral yang mudah lapuk. Contohnya, lahan pasir tailing timah di Bangka Barat memiliki komposisi mineral sukar lapuk yang terdiri dari berbagai jenis mineral seperti opak, zirkon, kuarsa keruh, kuarsa bening, konkresi besi, dan limonit. Berdasarkan komposisi ini, lahan bekas tambang di Bangka Barat memiliki kandungan hara yang sangat rendah yang menyebabkan tanah menjadi tidak subur.
Tanah yang tidak subur sulit mendukung pertumbuhan tanaman. Akibatnya, regenerasi hutan di lahan bekas tambang timah menjadi terhambat, tanaman tidak dapat tumbuh dengan baik dan hanya sedikit jenis tanaman yang dapat bertahan hidup. Kondisi ini menunjukkan penurunan keanekaragaman hayati di hutan karena banyak spesies tanaman tidak dapat bertahan hidup. Selain itu, tanaman yang tumbuh di lahan dengan kandungan unsur hara rendah mudah diserang hama dan penyakit.
Kondisi tanah yang tidak subur juga dapat mengubah struktur ekosistem hutan. Tanaman yang biasanya mendominasi hutan mungkin tidak mampu tumbuh di lahan bekas tambang timah, sementara spesies tanaman yang tidak diinginkan atau gulma dimungkinkan lebih dominan. Hal ini dapat mengubah komposisi jenis tanaman, mengganggu rantai makanan dan interaksi ekologi, serta mengurangi kualitas habitat untuk flora dan fauna.
Pertambangan timah juga dapat mengakibatkan kerusakan vegetasi dan tanah. Tambang timah menyebabkan terbentuknya lahan terbuka yang rentan terhadap erosi. Lahan terbuka dapat mengakibatkan air yang mengalir menjadi keruh yang kemudian mengalir ke sungai dan laut. Material yang terbawa oleh aliran air dapat tercemar dan menurunkan kualitas air, menyebabkan kematian biota dan ikan di ekosistem perairan.
Dampak lainnya adalah ketidakstabilan struktur tanah yang meningkatkan risiko longsor. Terbentuknya kubangan besar dapat menyebabkan banjir di sekitar wilayah pertambangan. Dengan demikian, kegiatan pertambangan yang tidak terkendali dapat menyebabkan kerusakan lingkungan yang serius serta pencemaran dan penurunan kualitas air sungai, danau, dan laut yang berdampak buruk bagi ekosistem perairan dan kehidupan manusia secara keseluruhan.
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung memiliki luas daratan sebesar 16.424,06 kilometer persegi, yang merupakan 21,10% dari total luas wilayahnya, sementara luas perairannya mencapai 65.301 kilometer persegi, atau sekitar 79,90% dari total luas wilayahnya. Garis pantai provinsi ini memiliki panjang sekitar 2.189,55 kilometer, melebihi panjang garis pantai di Hawai yang hanya sekitar 1.210 kilometer. Terdapat 950 pulau kecil di provinsi ini. Kondisi ini menunjukkan bahwa Provinsi Kepulauan Bangka Belitung memiliki potensi sumber daya laut yang sangat besar.
Sektor pariwisata terus berkembang karena keindahan pantainya yang khas dengan pasir dan batuan granit besar. Di samping itu, keberadaan kandungan bijih timah di perairan laut Kepulauan Bangka Belitung menjadi pusat perhatian tersendiri. Kegiatan penambangan di laut telah dilakukan oleh perusahaan tambang serta masyarakat umum.
Awalnya, pertambangan timah lebih sering dilakukan di daratan. Namun, seiring waktu sumber daya timah di daratan menipis sehingga fokus pertambangan mulai beralih ke laut. Dampak negatif yang terjadi yaitu pencemaran air laut serta kerusakan ekosistem laut seperti terumbu karang dan fauna laut lainnya. Sebagai contoh, dalam laporan Status Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Bangka Belitung (2016) disebutkan di beberapa daerah di Kabupaten Bangka, terumbu karang yang mengalami kerusakan mencapai 57,06%.
Kerusakan terumbu karang tersebut disebabkan oleh penutupan pori-pori terumbu karang oleh lumpur limbah penambangan. Akibatnya terjadilah kerusakan pada ekosistem terumbu karang. Pencemaran air laut serta penyebaran penyakit di kalangan masyarakat di daerah pesisir juga merupakan dampak serius dari aktivitas tambang timah di laut ini.
Dari keseluruhan pembahasan mengenai dampak kerusakan lingkungan akibat tambang timah, dapat disimpulkan bahwa aktivitas pertambangan telah memberikan kontribusi signifikan terhadap penurunan kualitas lingkungan hidup di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Dugaan korupsi yang terungkap menunjukkan bahwa kerugian lingkungan mencapai angka yang sangat besar, mencapai Rp 271,06 triliun.
Faktor-faktor seperti Kerusakan hutan, pencemaran udara dan air, ketidakstabilan struktur tanah, serta kerusakan ekosistem laut merupakan dampak nyata yang telah terjadi akibat eksploitasi tambang timah. Meskipun pertambangan timah memiliki peran penting dalam struktur ekonomi daerah namun tidak dapat dipungkiri bahwa dampak negatifnya terhadap lingkungan dan kesehatan manusia sangat besar.
Oleh karena itu, perlindungan lingkungan dan keberlanjutan sumber daya alam harus menjadi perhatian utama dalam kebijakan pengelolaan pertambangan di masa depan, untuk memastikan bahwa aktivitas ekonomi dapat berlangsung tanpa mengorbankan keseimbangan ekologi.
Septarini Dian Anitasari dosen Program Studi Biologi FST Universitas PGRI Argopuro Jember, mahasiswa Program Doktor Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada
(mmu/mmu)