Lagi dan lagi, UU ITE memakan korban. Kali ini, yang menjadi korbannya adalah aktivis lingkungan Karimunjawa, Daniel Frits Maurits Tangkilisan. Ia divonis bersalah oleh Pengadilan Negeri Jepara, Jawa Tengah, karena melanggar Pasal 45A ayat (2) UU ITE. UU ITE memang kerap kali menjadi "andalan" untuk membungkam dengan dalih ketertiban.
UU ITE bak pisau bermata dua, yang seolah memberi keamanan dengan mengatur dunia maya, tetapi pada saat yang sama bisa menjadi senjata bagi penguasa untuk menekan suara-suara kritis dari aktivis yang berjuang demi keadilan lingkungan. Kasus Daniel ini menjadi bukti nyata betapa rentannya para aktivisβtermasuk aktivis lingkunganβdikriminalisasi menggunakan "senjata" UU ITE ini.
Padahal, Daniel mengkritisi adanya tambak udang di Karimunjawa yang berimplikasi pada pencemaran limbah. Namun, mirisnya ia malah dikriminalisasi. Kriminalisasi terhadap Daniel ini membuktikan bahwa negara lebih takut dengan sebuah komentar ketimbang ancaman kerusakan lingkungan, yang secara nyata melanggar hak asasi manusia (HAM), yakni hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Peringkat Rendah
Berdasarkan laporan dari Environmental Performance Index 2022 (EPI), Indonesia mendapat peringkat rendah dengan skor 28,2 dari 100. Posisinya berada di peringkat ke-164 dari 180 negara yang disurvei dan ke-22 dari 25 negara di Asia Pasifik serta ke-8 dari 10 negara ASEAN.
Penilaian EPI terhadap Indonesia mencakup tiga pilar besar: kesehatan lingkungan, iklim, dan daya hidup ekosistem. Indonesia mendapat skor rendah untuk semua indikator, menunjukkan prioritas pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi daripada pelestarian lingkungan.
Negara-negara dengan skor tinggi dalam EPI dikenal memiliki komitmen jangka panjang dalam melestarikan keanekaragaman hayati, menjaga sumber daya alam, dan mengurangi emisi gas rumah kaca. Melihat realitas yang ada, maka hadir aktivis lingkungan yang senantiasa peduli terhadap pelestarian lingkungan. Menjadi sebuah ironi ketika mereka justru dibungkam dan dikriminalisasi, seperti yang dialami oleh Daniel.
Keberadaan aktivis lingkungan adalah alarm bagi pemerintah dan industri bahwa ada yang tidak beres dengan pengelolaan lingkungan hidup. Kritik mereka adalah bentuk kontrol sosial dan upaya untuk mendorong perbaikan. Maka, alih-alih dibungkam dan dikriminalisasi, aktivis lingkungan mestinya dirangkul dan difasilitasi untuk mencari solusi bersama. Pemerintah dan industri mesti menyadari bahwa kerusakan lingkungan hidup bukan cuma masalah aktivis, tetapi masalah kita semua.
Lemahnya Komitmen
Lemahnya komitmen Indonesia terhadap anti-SLAPP semakin terlihat jelas dalam kasus Daniel ini. Dakwaan terhadapnya merupakan contoh nyata bagaimana kritik terhadap kerusakan lingkungan dibungkam dengan dalih hukum. Kasus Daniel menunjukkan bahwa UU ITE masih sering disalahgunakan untuk menjerat aktivis dan masyarakat yang kritis terhadap pemerintah dan kebijakannya. Hal ini tentu saja bertentangan dengan prinsip demokrasi dan HAM.
Pelbagai organisasi, seperti SAFEnet, ICEL, dan ICJR telah menyuarakan kritik mereka terhadap kriminalisasi Daniel. Mereka menegaskan bahwa tindakan Daniel merupakan bentuk kebebasan berpendapat yang dilindungi oleh hukum. Kasus Daniel juga menunjukkan lemahnya komitmen Indonesia terhadap anti-SLAPP.
SLAPP adalah singkatan dari Strategic Lawsuit Against Public Participation, yang secara sederhana merupakan upaya untuk membungkam kritik dengan menggunakan dalih hukum. Indonesia telah memiliki beberapa peraturan yang mengatur tentang anti-SLAPP, seperti Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2023.
Tetapi, peraturan tersebut belum sepenuhnya efektif dalam melindungi aktivis dan masyarakat dari kriminalisasi. Kasus Daniel ini menjadi momentum penting bagi Indonesia untuk memperkuat komitmennya terhadap anti-SLAPP. Pemerintah dan DPR mesti segera merevisi UU ITE dan memperkuat peraturan tentang anti-SLAPP.
Pahlawan Lingkungan
Aktivis lingkungan bukanlah penjahat. Mereka adalah pahlawan lingkungan yang berjuang untuk menjaga kelestarian alam dan kehidupan masyarakat pada masa depan. Mereka layak dihargai dan dilindungi, bukan diintimidasi dan dipenjara dengan dalih-dalih yang merugikan, seperti yang terjadi dalam kasus Daniel.
Perlindungan terhadap hak untuk berpendapat, berorganisasi, dan beraksi secara damai mesti menjadi prioritas bagi negara, bukan penindasan dan kriminalisasi terhadap mereka yang hanya berjuang untuk kebaikan bersama. UU ITE perlu direvisi agar tidak menimbulkan ketakutan dan keraguan di kalangan aktivis dan masyarakat pada umumnya.
Negara mesti memastikan bahwa ruang demokrasi di dunia maya dan nyata tetap terbuka bagi semua yang ingin berpartisipasi dalam perubahan positif tanpa takut akan ancaman hukum yang tidak adil. Sekali lagi, para aktivis lingkungan bukanlah penjahat. Mereka adalah pejuang yang berani menyuarakan kebenaran dan memperjuangkan kelestarian alam.
Kritik mereka terhadap kerusakan lingkungan adalah bentuk kontrol sosial dan upaya untuk mendorong perbaikan. Pada saat pemerintah dan industri lalai dalam menjaga lingkungan, aktivislah yang menjadi alarm dan penjaga 'gawang' terakhir. Membungkam aktivis lingkungan dengan UU ITE adalah tindakan yang kontraproduktif. Hal ini bukan cuma melemahkan demokrasi, tetapi juga menghambat upaya pelestarian lingkungan.
Kriminalisasi terhadap aktivis hanya akan memperparah kerusakan lingkungan dan mengantarkan bangsa ini pada bencana ekologis. Kita berhak kritis!
Raihan Muhammad Direktur Eksekutif Amnesty UNNES