Efek Kobra "Amicus Curiae"

Mimbar Mahasiswa

Efek Kobra "Amicus Curiae"

M. Roni - detikNews
Senin, 22 Apr 2024 14:28 WIB
m roni
M Roni (Foto: dok. pribadi)
Jakarta -

Tren Amicus Curiae menuju pembacaan putusan sidang hasil sengketa pilpres, Senin (22/4) ini menjadi fenomena yang menarik. Hal ini menjadi perbincangan, diskusi, dan perdebatan yang seru di semua kalangan, mulai dari politisi, akademisi hingga pekerja seni. Sebelum ada tren ini, banyak dari kita yang awam akan istilah "Amicus Curiae".

Lalu, apa itu Amicus Curiae? Dalam studi hukum, Amicus Curiae atau yang kita kenal sebagai "sahabat peradilan" sebenarnya berasal dari sistem hukum Yunani Kuno, yang mana seseorang yang bukan pihak dalam suatu kasus dapat memberikan informasi atau pendapat kepada pengadilan. Sistem ini mulai diadopsi di Inggris kemudian disusul atau menyebar kepada negara-negara lain yang mengandung sistem hukum yang mirip.

Amicus Curiae di Indonesia

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dengan sistem civil law, Indonesia sebenarnya tidak ada praktik Amicus Curiae. Yang cocok menggunakan konsep ini adalah negara yang menerapkan sistem common law. Namun, dari itu semua, karena esensi dari Amicus Curiae adalah membantu peradilan dalam memutuskan perkara yang adil dan bijaksana, praktik ini diakui di dalam sistem hukum Indonesia.

Terdapat pasal yang bisa dijadikan sebagai landasan tentang praktik ini. Dalam Pasal 180 (ayat) 1 Undang Undang No. 8 tahun 1981 tentang Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), misalnya, disebutkan bahwa "Dalam hal diperlukan untuk menjernihkan duduknya persoalan yang timbul di sidang pengadilan, hakim ketua sidang dapat minta keterangan ahli dan dapat pula minta agar diajukan bahan baru oleh yang berkepentingan."

ADVERTISEMENT

Krusial dan perlu dilakukan memang, namun dalam beragam kasus di Tanah Air baru-baru ini ada yang menarik bagi saya, bukan tentang konsep Amicus Curiae-nya, melainkan banyak pihak yang berbondong-bondong mengajukan diri sebagai "sahabat peradilan".

Mulai dari Megawati Soekarnoputri yang mengajukan diri, kapasitas sebagai warga negara Indonesia melalui surat yang ditulis langsung oleh Megawati yang diajukan pada Selasa (16/4/). Disusul oleh Habib Rizieq dan Din Syamsudin. Selain itu ada Munarman, Yusuf Murtak serta Ahmad Shabri Lubiz.

Setidaknya ada 23 nama yang sudah mengajukan diri sebagai "sahabat peradilan" ke MK. Luar biasa, bukan? Peristiwa ini unik serta memunculkan banyak pertanyaan dasar seperti, "Ada kepentingan apa?" Lantas apakah semakin banyak orangnya, keputusan akan semakin baik, adil, dan bijaksana?

Efek Kobra

Efek kobra merupakan tindakan baik yang bertujuan untuk mengatasi masalah. Namun secara paradoksal tindakan tersebut justru menjadi bumerang karena menimbulkan efek sebaliknya.

Awalnya, pemerintah Inggris khawatir dengan tingginya populasi ular Kobra beracun di kota Delhi, India. Kemudian menawarkan hadiah bagi siapa saja yang menyerahkan ular kobra dalam keadaan mati. Semula strategi ini sukses, banyak warga menyerahkan ular kobra yang dibunuh untuk mendapatkan hadiah. Namun akhirnya banyak orang justru berternak Kobra untuk mendapatkan hadiah.

Berdasarkan cerita anekdot di atas, yang ditakutkan kasus sengketa pilpres juga merepresentasikan peristiwa "tren" menuju pembacaan keputusan oleh Mahkamah Konstitusi di Indonesia sekarang ini.

Meskipun Amicus Curiae adalah pihak yang "menjernihkan" dan juga aset bagi sistem hukum, namun ada beberapa hal yang perlu diperhatikan jangan sampai dengan kehadiran mereka justru menghambat proses pengadilan dan membingungkan isu-isu yang sedang dipertimbangkan.

Tidak kalah penting yang juga menjadi kekhawatiran saya yaitu Amicus Curiae dimanfaatkan pihak-pihak dengan "kepentingan" dalam mempengaruhi putusan pengadilan. Hingga akhirnya bukan lagi menghasilkan putusan yang adil dan bijaksana melainkan putusan yang mementingkan pribadi atau golongan semata.

Sejarah mencatat bahwa nanti mereka yang kaya akan memberikan gambaran informasi yang komprehensif, dan dalam perspektif yang luas itulah yang memberikan peran penting dalam putusan sengketa Pilpres 2024 ini. Mereka bukannya membantu, justru membebani sang penjaga konstitusi.

Jangan sampai istilah "niat baik tidak selamanya berujung baik" terjadi. Kita semua berharap mereka yang menjadi sahabat peradilan adalah mereka yang mampu berbicara dalam kapasitasnya, menjadi sahabat terbaik untuk menghasilkan keputusan yang terbaik bagi Indonesia dan demokrasi, bukan justru memperparah situasi. Kualitas harus di atas kuantitas.

M. Roni mahasiswa Prodi Ilmu Politik Universitas Wahid Hasyim Semarang, Direktur Alfa Institute

Simak juga Video 'MK: Tak Ada Aturan Amicus Curiae Dibacakan di Sidang Sengketa Pilpres':

[Gambas:Video 20detik]

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads