Ketika Politik Memutus Silaturahmi
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Ketika Politik Memutus Silaturahmi

Sabtu, 20 Apr 2024 10:55 WIB
Sudrajat
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Sudrajat, wartawan detikcom
Sudrajat (Dok. 20detik)
Jakarta -

Ketika jutaan orang rela menempuh perjalanan ratusan kilometer. Bermacet-macetan demi menjalin silaturahim dengan orang tua atau pihak yang dituakan, kerabat, tetangga, dan handai taulan nun jauh di sana, tidak demikian halnya dengan segelintir politisi di tanah air.

Bagi segelintir orang yang merasa dirinya berjiwa demokrat, negarawan, dan menjunjung nilai-nilai Pancasila silaturahmi antar tokoh tidak bisa serta merta terjadi. Harus menempuh jalan berliku, melewati tingkatan tertentu. Sekalipun itu di momen lebaran, Idul Fitri yang sakral.

Padahal Sukarno, Bapak Bangsa yang kerap diagungkan dan menjadi panutan utama, justru pernah menggelar silaturahmi demi mengikis berbagai persoalan politik di antara para tokoh masyarakat. Waktu yang digunakan adalah momen Idul Fitri. Lokasinya di Istana Negara pada 1948. Penggagas utamanya adalah tokoh Nahdlatul Ulama yang kharismatik, KH Wahab Chasbullah.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Alkisah, memasuki tahun ketiga kemerdekaan, kondisi politik tanah air masih gonjang-ganjing. Para elitenya berseteru. Sebagai Presiden, Bung Karno lantas menemui Kiai Wahab Chasbullah dan Wahid Hasyim di Jombang, Jawa Timur. Dia meminta nasihat bagaimana sebaiknya agar para elite yang berseteru bisa duduk satu meja, satu wadah untuk kembali saling memaafkan. Masing-masing melepaskan topeng, jubah kebesaran dan berbagai sekat kepentingan selain kemanusiaan, bangsa, dan negara.

Menurut budayawan Emha Ainun Nadjib (Cak Nun), dalam buku 'Islam itu rahmatan lil alamin bukan untuk kamu sendiri' terbitan Noura Books, 2019, dari momen silaturahmi itulah pertama kali muncul istilah halalbihalalal. "Halalbihalal itu lahirnya dari Jombang. Ceritanya Bung Karno silaturahim dengan Kiai Wahab dan Kiai Wahid Hasyim di Jombang. Dari obrolan mereka itulah muncul kata halalbihalal dan minal aidin wal faizin dari Perang Badar," tulis Cak Nun.

ADVERTISEMENT

Karena kala itu dalam suasana Ramadan, Kiai Wahab menyarankan agar Bung Karno menggelar silaturahim di momen Hari Raya Idul Fitri atau Lebaran. Sudah menjadi kelaziman para elit merasa diri dan kelompoknya yang paling benar. Sebaliknya, pihak lain yang salah. Padahal hal semacam itu dosa, haram. "Supaya mereka tidak punya dosa (haram), maka harus dihalalkan," kata Kiai Wahab.

Bagaimana caranya? Ya, mereka harus duduk dalam satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan atau halal bihalal.

Tentu saja, itu kasusnya bila sebatas berbeda pandangan politik, saling kritik atau saling hujat dengan mengatasnamakan rakyat atau kelompoknya. Sementara bila isunya sudah menjadi perkara politik atau kasus hokum ya tidak otomatis gugur hanya dengan saling berjabat tangan.

Apalagi bila isunya sudah masuk ruang pengadilan, masing-masing pihak yang berseteru dapat tetap saling beradu argumentasi dengan dukungan berbagai bukti. Biar majelis hakim yang kemudian memutuskan.

Bila itu yang terjadi saat ini, tentu sangat elok bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Bahwa nilai-nilai religius, nilai-nilai Pancasila benar-benar diaplikasikan dalam kehidupan nyata. Bukan cuma menjadi retorika. Sayangnya yang terjadi justru sebaliknya. Ada elite yang justru lebih suka menjunjung tinggi prasangka seraya mendegradasi niat baik pihak lain. Niat untuk silaturahmi dituding sebagai gimik dan pencitraan.

Di masa Ramadan pun, yang nilai-nilai utamanya adalah menahan diri, bersikap sabar, dan menonjolkan empati terhadap siapapun, dia dan kelompoknya justru asyik dan penuh semangat mengorek apa yang mungkin dianggapnya sebagai borok politik pihak lain. Bahkan sampai melontarkan fitnah (hoax) bahwa pejabat yang akan dilantik menjelang Idul Fitri adalah masih kerabat dekat lingkar kekuasaan.

Elite lainnya menulis di media daring bahwa Idul Fitri seharusnya menjadi momen bagi pihak lain untuk introspeksi, mengurai, mengakui, dan memperbaiki kesalahan. Seolah kelompoknya yang paling steril dari kesalahan. Seolah kekalahan kelompoknya dalam perebutan kekuasaan bukan karena ada andil keangkuhan, kelemahan, atau kebodohan di kelompok internalnya.

Sungguh sebuah tontonan yang sangat tidak mendidik. Boleh jadi Bung Karno masygul. Dia kecewa karena penerusnya ternyata tidak mampu meneladani nilai-nilai kemanusiaan yang diperjuangkannya. Bahwa politik telah menjadi pemutus silaturahmi. Saya teringat kembali penggalan lagu 'Sumbang' yang dirilis Iwan Fals pada 1983. Syair yang menemukan aktualitasnya:

Apakah selamanya politik itu kejam?/Apakah selamanya dia datang tuk menghantam?/Ataukah itu yang memang sudah digariskan?

Sudrajat
Wartawan detikcom

Simak juga Video: Kaesang Usul Sistem Pemilu Tertutup, Singgung Masifnya Politik Uang

[Gambas:Video 20detik]




(jbr/jbr)



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads