Perjalanan ke Dalam Diri

Pustaka

Perjalanan ke Dalam Diri

Margaretha Lina Prabawanti - detikNews
Sabtu, 20 Apr 2024 11:10 WIB
Buku Kita dan Mereka karya Agustinus Wibowo
Foto: Courtesy of Mizan
Jakarta -

Judul Buku: Kita dan Mereka; Penulis: Agustinus Wibowo; Penerbit: Mizan Pustaka, 2024; Tebal: 672 halaman

Sejarah manusia tidak pernah tentang kebenaran dan moral. Siapa yang benar belum tentu menjadi pemenang, tetapi siapa yang menjadi pemenang bisa menulis ulang sejarah untuk menjadi benar dan bermoral. Saya meyakini bahwa kalimat yang ditulis Agustinus Wibowo dalam buku terbarunya Kita dan Mereka itu bukan sekadar argumen, melainkan hasil penggaliannya akan fakta sejarah yang terus berulang.

Mitos-mitos kebangsaan yang berwujud narasi atau cerita tentang asal mula, sejarah, dan identitas sebuah bangsa ternyata tak selamanya benar, tetapi sengaja diciptakan untuk membuat rakyat terikat sebagai saudara sebangsa. Dengan kepercayaan bersama, orang-orang dalam negara itu akan berhenti berperang satu sama lain dan mulai bekerja sama untuk mewujudkan cita-cita bersama demi kepentingan bangsa. Pemaknaan identitas bagi sebuah bangsa memiliki pengaruh yang sangat besar, bukan?

Seperti halnya identitas sebuah bangsa yang sesungguhnya merupakan konstruksi sosial modern, demikian pula semua peradaban, semua budaya, semua negara, semua individu, masing-masing memiliki kontribusi unik mereka dalam membangun narasi yang kaya tentang kehidupan dunia. Namun semuanya adalah konstruksi artifisial, bukan realitas mutlak. Maka identitas pun sesungguhnya hanya ilusi yang bergantung pada kita atau mereka yang memaknai realitasnya.

Identitas yang ekstrem dapat menjadi sumber bencana. Orang yang menggenggam identitas agama terlalu ekstrem dapat menjadi fanatik, militan, dan radikal, bahkan tidak segan melakukan tindakan teror demi keyakinan agamanya. Demikian pula identitas kebangsaan yang ekstrem bisa menghasilkan kaum rasis atau nasionalis garis keras yang bahkan dapat memicu perang antarbangsa dengan senjata pemusnah massal yang mengerikan. Sedangkan identitas ideologi yang ekstrem menghasilkan kaum fasis yang tak segan melakukan pembantaian terhadap sesama manusia demi sebuah utopia.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Permusuhan, perang, kebencian dan semua konflik antarmanusia memang sering hanya berakar dari perbedaan identitas belaka. Pada permukaannya, konflik identitas terlihat sebagai pertarungan antara benar atau salah. Di benak kita, kita selalu menjadi pihak yang benar, sedangkan mereka yang berbeda dengan kita sudah pasti salah.

Namun pada kenyataannya, manusia tidak bisa dibagi secara sederhana menjadi dua kubu yang mutlak benar atau mutlak salah. Manusia adalah makhluk kompleks dengan beragam karakteristik, dan telah bercampur aduk antara sifat baik dan buruk. Tak ada yang benar-benar sempurna. Lantas, dengan demikian, bukankah konflik identitas hanya akan menjadi sebentuk kesia-siaan belaka?

Pemahaman yang terdistorsi mengenai diri kita sebagai pusat dengan manifestasi kebaikan dan menganggap liyan sebagai titisan kejahatan dengan segala keburukannya memang telah lama menjadi pola pikir alamiah, bahkan menjadi bagian dari sejarah peradaban manusia selama berabad-abad. Sebenarnya hal inilah yang menjadi akar terjadinya konflik antar manusia.

ADVERTISEMENT

Perihal identitas itu sendiri yang tak lebih dari produk imajinasi kita, berasal dari ilusi-ilusi yang kemudian mengakar dalam pikiran manusia. Kegagalan kita dalam memahami diri sendiri telah membuat kita memandang liyan dengan curiga, takut bahkan benci hanya karena mereka berbeda dengan kita.

Bukan Cerita Perjalanan

Agustinus Wibowo dalam buku ini membahas tuntas makna identitas melalui kajian antropologi yang runut dan lengkap, memaksa kita membuka sekat-sekat yang mempersempit pemahaman kita akan identitas dan membuat relasi kita dengan liyan acap diwarnai konflik. Menurut penulisnya, buku kelima setelah Selimut Debu, Garis Batas, Titik Nol, dan Jalan Panjang untuk Pulang ini bukan cerita perjalanan. Bila buku-buku sebelumnya mengisahkan perjalanan fisiknya ke berbagai negara di dunia, maka Kita dan Mereka adalah hasil perenungan panjangnya setelah melakukan perjalanan fisik itu.

Agustinus kemudian menambahkan perjalanan ke dalam diri untuk menjawab semua pertanyaan yang meresahkannya itu, serta menyelami samudera literasi berupa lebih dari tiga ratus buku untuk membantu pemahamannya. Sebagai sebuah buku, Kita dan Mereka telah mengalami perjalanan yang panjang. Penulisannya sendiri memakan waktu tak kurang dari enam tahun, dimulai sejak 2017 ketika Agustinus menulis serial artikel Kita dan Mereka dalam blog pribadinya.

Dengan pengalaman personal sebagai penjelajah dan petualang sekaligus pencerita ulung, Agustinus berhasil membuat buku ini menjadi bacaan yang sarat dengan fakta sejarah, namun tetap menggelitik dan mengusik dengan pertanyaan-pertanyaan besarnya. Berangkat dari keresahan tentang identitasnya sendiri, sebagai warga Indonesia keturunan Tionghoa yang pernah mengalami diskriminasi rasial di masa lalu, Agustinus membawa kita pada perjalanan menyusuri lorong waktu ke negeri-negeri di seberang batas, hanya untuk kembali kepada perjalanan ke dalam diri dan menyadari bahwa diri kita ini hanya ilusi, dan tiada satu bagian pun dari diri kita ini adalah abadi.

Akar Konflik

Buku ini membawa kita mempertanyakan kembali banyak hal fundamental yang sebelumnya telanjur kita anggap sebagai kebenaran mutlak. Identitas suatu bangsa, agama hingga identitas setiap individu yang berbeda-beda yang telah memercikkan berbagai konflik antarmanusia sebenarnya tak lebih dari imajinasi yang selalu bisa direkonstruksi kembali.

Meskipun garis batas antar identitas itu begitu tipis, bahkan terkadang hanya imajiner belaka, namun perbedaan identitas yang memisahkan kita dan mereka sekaligus juga menjadi akar konflik yang kian lama kian berkobar. Sepanjang 13 bab dalam buku ini, Agustinus membawa kita untuk menyelami mengapa masalah identitas ini teramat penting hingga membuat manusia saling membenci satu sama lain bahkan tak segan mengorbankan nyawa hanya demi mempertahankan identitasnya.

Dalam setiap halaman yang disajikannya dengan cermat, Agustinus bukan hanya merefleksikan kisah perjalanannya sendiri untuk memahami siapa dirinya, tetapi juga menjadi cerminan bagi pembacanya dalam memahami identitas mereka. Perbedaan identitas di dunia ini tak mungkin dihindari. Kita boleh bangga dengan identitas kita, tanpa merendahkan identitas mereka yang berbeda dengan kita. Untuk memahami keruwetan masalah dunia, kita perlu memahami keruwetan masalah diri sendiri terlebih dahulu. Apa pun konflik di dunia manusia, akarnya adalah konflik di dalam diri.

Kita dan Mereka bukan jenis buku hiburan dan memang tidak dimaksudkan menjadi bacaan ringan di saat senggang. Setelah menamatkan 672 halamannya, kita akan memahami kompleksitas identitas kita di dunia. Alih alih terhibur, kita justru menjadi semakin resah dan dipenuhi pertanyaan: mengapa masih banyak konflik di dunia yang terjadi hanya karena perbedaan identitas?

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads