Jakarta - Lagi-lagi kita dihadapkan dengan kerakusan elit yang melupakan nasib kawula alit. Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 2006 (PP 37/2006) menyebabkan 15 ribu anggota DPRD mandi uang. Berdasarkan PP tersebut anggota DPR akan mendapatkan berbagai tetek-bengek jenis pendapatan. Paling tidak pimpinan dan anggota DPRD akan mendapatkan penghasilan dari minimal sepuluh sumber, yaitu: uang representasi, tunjangan keluarga, tunjangan beras, uang paket, tunjangan jabatan, tunjangan panitia musyawarah, tunjangan komisi, tunjangan panitia anggaran, tunjangan badan kehormatan, tunjangan alat kelengkapan lainnya. Berdasarkan PP 37/2006 penghasilan ditambah lagi dengan tunjangan komunikasi intensif buat semua anggota DPRD dan dana operasional bagi pimpinan.Di samping penghasilan tersebut, pimpinan dan anggota DPRD dan keluarganya masih memperoleh tunjangan kesejahteraan maksimal tujuh macam, yaitu: tunjangan pemeliharaan kesehatan dan pengobatan, pimpinan mendapatkan rumah dinas dan perlengkapannya serta kendaraan dinas jabatan pimpinan DPRD, sedangkan anggota dapat memperoleh rumah dinas atau kemungkinan tunjangan perumahan, pemberian pakaian dinas, uang duka wafat/tewas, bantuan biaya pengurusan jenazah, uang jasa pengabdian.
Bertentangan dengan Tiga Undang-undangDengan sedemikian banyak pendapatan, gaji anggota DPRD memang akan naik berkali lipat. Bahkan khusus untuk tahun 2006, Pasal 14D PP 37/2006 mengatur pembayaran tunjangan komunikasi intensif bagi seluruh anggota dewan serta dana operasional dibayarkan terhitung mulai tanggal 1 Januari 2006. Itu artinya kedua jenis pembayaran tersebut berlaku mundur, karena PP 37/2006 sendiri baru diberlakukan per tanggal 14 November 2006.Dengan pemberlakuan rapelan tersebut PP 37/2006 bertentangan dengan banyak undang-undang diatasnya, seperti UU 17/2003 tentang Keuangan Negara; UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah; dan UU 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Pasal 4 UU 17/2003, Pasal 179 UU 32/2004 dan Pasal 68 UU 33/2004. Dengan demikian pemikiran untuk membebankan dana rapelan tunjangan komunikasi intensif dan dana operasional tahun 2006 ke dalam APBD 2007 jelas bertentangan dengan ketiga undang-undang di atas.Sumber kesalahan sebenarnya tidak hanya ketentuan blunder Pasal 14D PP 37/2006. Namun pada desakan dan negosiasi yang dilakukan DPRD seluruh Indonesia kepada banyak elemen, khususnya penentu kebijakan dan perumus PP 37/2006. Ada informasi bahwa draft usulan DPRD yang akhirnya menjadi PP 37/2006 tidaklah mencantumkan ketentuan rapelan, sehingga mereka juga terkaget-kaget ketika aturan demikian muncul. Penelitian media yang saya lakukan tidak mendukung klaim ketidaktahuan tersebut.Pemberitaan dari Asosiasi DPRD Kabupaten Seluruh Indonesia (ADKASI) tanggal 2 Agustus 2006, jauh sebelum PP 37 tahun 2006 diberlakukan pada 14 November 2006, telah menerangkan bahwa ADKASI mendesak agar perubahan tunjangan diberlakukan mulai tahun anggaran 2006. Bukti bahwa DPRD sendiri sebenarnya sudah berencana untuk merapel tunjangan makin kental dengan fakta yang terungkap di Propinsi Banten. Di sana pembayaran langsung dilakukan karena dana rapelan sudah dianggarkan sejak APBD Perubahan bulan Juni 2006. Suatu hal yang aneh, karena PP 37/2006 baru diberlakukan pertengahan November 2006. Berdasarkan berita per tanggal 21 November 2006, hanya berjarak satu minggu sejak PP 37/2006 diberlakukan, Wakil Ketua DPRD Banten membenarkan jika para angota DPRD telah menerima uang tunjangan komunikasi intensif 108 juta rupiah perorang.
Pelanggaran Mekanisme PembayaranTentang mekanisme pembayaran dana rapelan itu sendiri di lapangan terjadi berbagai macam cara yang berbeda. Surat Depdagri tertanggal 20 November 2006 yang mengantarkan PP 37/2006 menyarankan agar pembayaran dilakukan berdasarkan perubahan APBD 2006 ataupun dianggarkan dalam APBD 2007. Demikian pula dengan Surat Edaran ADKASI tertanggal 22 Desember 2006, disarankan agar pembayaran rapelan dianggarkan dalam APBD 2007.Tentang pembebanan pada APBD 2007, telah dijelaskan di atas, bertentangan dengan UU 17/2003, UU 32/2004 dan UU 33/2004. Sedangkan, jikapun dianggarkan di dalam APBD Perubahan 2006, hal itupun tidaklah tepat. Pasal 183 ayat (3) UU 32/2004 dan Pasal 80 ayat (1) UU 33/2004 menegaskan bahwa perubahan APBD ditetapkan paling lambat tiga bulan sebelum tahun anggaran berakhir, atau paling lambat 31 September 2006; padahal PP 37/2006 sekali lagi baru berlaku 14 November 2006. Dengan demikian semakin jelas bahwa pemberlakuan mundur pembayaran tunjangan komunikasi intensif dan dana operasional bertentangan dengan ketiga jenis peraturan perundangan tersebut.Fakta pelanggaran semakin terang benderang, khususnya yang dilakukan di Kabupaten Bintan. Per Desember 2006, hanya satu bulan sejak diberlakukan, dana rapelan sudah dibayarkan hanya dengan SK Gubernur. Suatu mekanisme yang tidak hanya menyalahi ketiga undang-undang di atas, tetapi bahkan menyalahi pula anjuran Surat Edaran Depadagri dan Surat Edaran Adkasi.
Potensi KorupsiTidak hanya salah secara peraturan perundangan, pelaksanaan di lapangan menunjukkan potensi tindak pidana korupsi yang telanjang. Kabupaten Bintan yang mencairkan dana rapelan hanya dengan SK Gubernur tentu akan dengan mudah dijerat unsur melawan hukum dan merugikan keuangan negara.Lebih jauh di semua daerah yang terekam dalam pemberitaan 100% menganggarkan tunjangan komunikasi intensif dan dana operasional yang maksimal. Sama sekali tidak ada daerah yang memperhatikan beban tugas dan kemampuan keuangan daerah, sebagaimana diatur dalam Pasal 14C PP 37/2006. Di Aceh yang merupakan daerah bencana, situs Serambi tanggal 30 Desember 2006, memberitakan Kabupaten Aceh Jaya sudah membayarkan dana rapelan maksimal sebesar 1,2 miliar untuk 20 anggota DPRD, yang kemudian 18 di antaranya "melancong" ke Jakarta dengan alasan workshop penyusunan anggaran berdasarkan PP 37.Di daerah bencana Merapi Kabupaten Sleman, Yogyakarta, yang draft APBD 2007 masih defisit 67 miliar lebih, tunjangan anggota dewan pun tetap dibayarkan maksimal. Demikian pula dengan Surabaya, meski APBD 2006-nya defisit 362,74 miliar, namun rapelan tunjangan akan tetap dibayarkan. Di daerah busung lapar semacam NTT, pembayaran rapelan maksimal telah menyedot lebih dari 6,5 miliar uang rakyat. Di banyak daerah lain, Pendapatan Asli Daerah sampai minus hanya untuk membayar biaya DPRD.
Alternatif SolusiDengan akibat buruk yang sudah mulai bermunculan, PP 37/2006 jelas merupakan blunder kebijakan pusat yang membebani keuangan daerah, bahkan lebih jauh menjarah uang rakyat. Karena itu ada tiga langkah advokasi yang dapat dilaksanakan: pertama, mendesak kepada presiden untuk mencabut PP tersebut. Kedua, melakukan upaya judicial review ke Mahkamah Agung. Ketiga, melakukan aksi advokasi di tingkat akar rumput melalui diskusi dan demonstrasi sekaligus untuk melakukan pendidikan anggaran ke tengah masyarakat.Kita berkejaran dengan waktu. Di banyak daerah PP 37/2006 sudah dikebut untuk dilaksanakan tanpa kajian mendalam, hanya dengan nafsu keserakahan menumpuk kekayaan. DPRD harus diselamatkan agar tidak terjebak lagi dalam perangkap korupsi, dan syahwat menjarah uang rakyat.
Keterangan penulis:Denny Indrayana, Doktor Hukum Tata Negara, Ketua Pusat Kajian Anti Korupsi Fakultas Hukum UGM Direktur Indonesian Court Monitoring.
Analisis Denny Indrayana dapat dipublikasikan ulang oleh media cetak maupun online, terbit setiap Senin. Hubungi sindikasi@agrakom.com untuk mendapatkan informasi mengenai layanan sindikasi berita dan kolom detik.com. (Hak cipta dilindungi undang-undang).
(Deny Indrayana/)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini