Perkembangan teknologi keuangan digital yang pesat telah mengantarkan kita pada era baru di mana cryptocurrency dan Central Bank Digital Currency (CBDC) berdampingan. Di Indonesia, meski kondisi pasar kurang baik, sepanjang Januari hingga September, berdasarkan data Indonesia Crypto & Web3 Industry Report 2023, transaksi aset kripto tetap mencatatkan angka yang signifikan, mencapai Rp 122 triliun.
Sementara itu, data dari Atlantic Council mengungkapkan bahwa ada 134 negara yang tengah mengkaji penerapan CBDC, dengan tiga di antaranya telah meluncurkan dan 36 negara, termasuk People's Bank of China (PBOC), India, dan Brazil, melakukan percobaan terbatas.
Dari sisi potensi sinergi, kedua bentuk mata uang digital ini menawarkan kelebihan yang saling melengkapi. Cryptocurrency, dengan kecepatan dan biaya transaksi lintas batas yang rendah, berpotensi besar dalam memudahkan pembayaran internasional. Di sisi lain, CBDC menawarkan platform untuk transaksi domestik yang lebih stabil dan aman, menjamin kepercayaan dan keandalan dalam sistem pembayaran lokal. Teknologi blockchain, sebagai fondasi dari cryptocurrency, juga menjanjikan peningkatan keamanan dan efisiensi untuk CBDC, menunjukkan kemungkinan kolaborasi teknologi yang menguntungkan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Oleh karena itu, koeksistensi antara cryptocurrency dan CBDC tidak lagi sekadar kemungkinan tapi telah menjadi realitas yang nyata. Keduanya, dengan keunggulan dan keterbatasannya, berpotensi untuk bersinergi dan membentuk fondasi untuk sistem keuangan yang lebih inklusif dan efisien. Integrasi dan kolaborasi antara kedua mata uang digital ini dapat membuka jalan bagi inovasi keuangan yang lebih luas, mendorong pertumbuhan ekonomi dan inklusi keuangan di era digital.
Pertanyaannya, bagaimana Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI) harus menyiapkan kebijakan agar kedua instrumen keuangan ini bisa saling melengkapi, dan tidak bersinggungan secara negatif?
Klasifikasi Cryptocurrency dan CBDC
Untuk menciptakan koeksistensi harmonis antara cryptocurrency dan CBDC, penting bagi BI dan OJK untuk menetapkan pemahaman dan klasifikasi yang jelas tentang kedua instrumen keuangan digital ini. Cryptocurrency, yang beroperasi secara independen dari bank sentral dan sering menggunakan teknologi blockchain untuk transaksi peer-to-peer, harus dibedakan dari CBDC yang merupakan mata uang digital resmi negara, diterbitkan dan diatur oleh bank sentral untuk meningkatkan efisiensi pembayaran domestik dan kebijakan moneter.
Pengembangan kerangka kerja hukum yang komprehensif akan memastikan hak dan kewajiban bagi semua pihak, melindungi kepentingan pengguna, dan menjaga stabilitas sistem keuangan dengan mengatur aspek keamanan, perlindungan konsumen, dan tata kelola data.
BI harus fokus pada pengembangan dan regulasi CBDC sebagai pembayaran digital resmi, menetapkan infrastruktur pembayaran dan integrasi dengan sistem keuangan nasional, serta mendukung kebijakan moneter dan stabilitas keuangan. Di sisi lain, OJK akan mengatur dan mengawasi cryptocurrency sebagai aset digital dan instrumen investasi, termasuk regulasi bursa cryptocurrency dan penyedia dompet digital, sambil menjamin perlindungan konsumen dan transparansi.
Koordinasi dan kolaborasi antara BI dan OJK adalah kunci, termasuk pembentukan grup kerja bersama atau komite koordinasi untuk menyelaraskan regulasi dan memastikan interoperabilitas antara CBDC dan cryptocurrency. Pendekatan ini bertujuan untuk memfasilitasi pertukaran informasi dan transaksi yang aman, mendukung inovasi sambil menjaga keamanan dan stabilitas keuangan. Keduanya juga harus berdialog dengan industri, ahli teknologi, dan masyarakat untuk memastikan kebijakan yang relevan dan mendukung inovasi, serta melaksanakan program edukasi untuk meningkatkan pemahaman masyarakat tentang CBDC dan cryptocurrency.
Dengan langkah terkoordinasi dan inklusif ini, BI dan OJK dapat membentuk ekosistem keuangan digital yang tidak hanya aman dan stabil tapi juga inovatif, memanfaatkan potensi sinergi antara cryptocurrency dan CBDC untuk sistem pembayaran masa depan yang lebih efisien dan inklusif.
Isu Interoperabilitas
Dalam upaya menyusun cetak biru interoperabilitas antara sistem pembayaran CBDC dan infrastruktur pasar cryptocurrency, OJK dan BI harus melakukan sejumlah persiapan penting. Langkah awal adalah merancang standar teknis yang mencakup pengembangan Antarmuka Pemrograman Aplikasi (API) terbuka. API ini berperan sebagai jembatan yang memfasilitasi pertukaran data dan nilai yang efisien antara CBDC dan dunia cryptocurrency, mendukung transaksi yang aman dan lancar lintas platform.
Untuk mencapai ini, diperlukan kerja sama erat antara regulator, bank sentral, penyedia layanan keuangan digital, dan ahli teknologi blockchain untuk memastikan bahwa standar yang dikembangkan bersifat inklusif dan mencakup aspek keamanan, privasi data, serta kemudahan penggunaan. Standar interoperabilitas harus dirancang untuk mendukung berbagai jenis transaksi, mulai dari pembayaran ritel hingga transfer dana besar lintas batas, serta memungkinkan integrasi dengan sistem pembayaran dan layanan keuangan tradisional.
Selain itu, pengujian komprehensif terhadap standar interoperabilitas ini sangat krusial untuk memastikan kinerjanya dalam skenario dunia nyata. Pengujian ini melibatkan simulasi transaksi antara CBDC dan aset kripto di lingkungan terkontrol untuk mengidentifikasi, dan memperbaiki potensi masalah teknis sebelum implementasi penuh. Proses ini juga akan membantu menilai dampak interoperabilitas terhadap stabilitas sistem keuanga, dan keamanan transaksi.
Terakhir, pendidikan dan sosialisasi kepada pemangku kepentingan, dan pengguna akhir menjadi aspek penting lainnya dalam persiapan ini. OJK dan BI perlu menyusun materi edukasi yang menjelaskan manfaat, risiko, dan cara kerja interoperabilitas antara CBDC dan cryptocurrency. Program edukasi ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman masyarakat, memastikan penggunaan yang bertanggung jawab dan aman dari teknologi finansial baru ini. Dengan persiapan yang matang dan pendekatan yang terkoordinasi, OJK dan BI dapat meletakkan fondasi yang kuat untuk interoperabilitas yang efisien dan aman antara CBDC dan cryptocurrency.
Regulasi yang Memfasilitasi Inovasi
Dengan pengesahan Peraturan OJK (POJK) No. 3/POJK.07/2024 tentang Penyelenggaraan Inovasi Teknologi Sektor Keuangan (ITSK) yang berlaku sejak 28 Maret 2024, Indonesia telah memperlihatkan dedikasinya yang serius dalam mengembangkan dan mengatur ekosistem aset digital. Peraturan ini mengizinkan pengujian teknologi finansial digital terbaru, termasuk aset digital, di dalam sebuah lingkungan terkontrol yang dikenal sebagai sandbox regulasi. Ini adalah langkah krusial dalam menciptakan keseimbangan antara dukungan terhadap inovasi dengan perlindungan konsumen, serta dalam mengurangi risiko terhadap kestabilan sistem keuangan dan keamanan dana publik.
Kehadiran aturan sandbox ini tidak hanya memfasilitasi eksplorasi dan pengembangan solusi finansial digital yang inovatif, tetapi juga memastikan setiap inovasi dapat dievaluasi dan dipantau secara efisien sebelum diluncurkan ke publik. Hal ini memberikan kesempatan bagi pelaku industri untuk menguji berbagai model bisnis dan teknologi baru, sembari menjamin bahwa kerangka kerja regulasi tetap relevan dan cepat menanggapi dinamika pasar.
Menyadari pentingnya CBDC dalam masa depan infrastruktur pembayaran digital negara, Proyek Garuda telah memasukkan pembangunan sandbox inovasi khusus untuk CBDC ke dalam cetak biru. Hal ini memungkinkan BI untuk menjajaki berbagai aspek teknis dan operasional dari CBDC seperti keamanan, skalabilitas, dan interoperabilitas dengan sistem pembayaran dan aset digital lainnya, dalam sebuah lingkungan yang aman dan terkendali. Sandbox inovasi ini juga krusial dalam mengidentifikasi potensi risiko dan mengevaluasi dampak dari penerapan CBDC terhadap ekonomi makro dan stabilitas sistem keuangan.
Oleh karena itu, inklusi sandbox inovasi untuk CBDC dalam Proyek Garuda oleh BI menambah kekuatan pada upaya yang telah dilakukan oleh OJK, menguatkan kerangka kerja regulasi Indonesia dalam mendukung inovasi di sektor keuangan digital, sekaligus memberikan perlindungan maksimal kepada konsumen dan sistem keuangan. Langkah ini mempercepat proses pembelajaran dan adaptasi terhadap teknologi keuangan baru, menunjukkan komitmen Indonesia untuk memimpin pengembangan sistem keuangan digital yang aman, inklusif, dan berkelanjutan.
Kesimpulannya, skenario koeksistensi antara cryptocurrency dan CBDC membuka peluang baru dalam ekosistem keuangan digital. Dengan kebijakan yang tepat dari OJK dan BI, kedua instrumen ini dapat saling melengkapi, memberikan manfaat maksimal bagi ekonomi Indonesia, sambil meminimalkan risiko. Langkah ke depan membutuhkan kerja sama erat antara semua pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, industri keuangan, dan masyarakat luas untuk mewujudkan visi keuangan digital yang inklusif dan inovatif.
Tuhu Nugraha Digital Business & Metaverse Expert, Principal Indonesia Applied Digital Economy & Regulatory Network (IADERN)
(mmu/mmu)