Jika menghendaki perubahan besar, ubahlah paradigma ~ Stephen Covey
Melalui sebuah though experiment sederhana, kita akan segera mengerti, hampir semua orang setuju bahwa ide aktif berkegiatan fisik, termasuk olahraga, sangatlah penting untuk menjaga kesehatan. Namun, faktanya sangat sedikit orang yang mau, apalagi mampu melakukannya secara serius. Orang cenderung malas menjalaninya. Data Badan Pusat Statistik (BPS) melalui Survei Sosial Ekonomi Nasional (2018) mempertegas kondisi ini.
Hanya 2,59% dari penduduk Indonesia usia di atas 5 tahun yang secara konsisten berolahraga lebih dari 120 menit per minggu. Sangat memprihatinkan. Selama bulan Ramadan, tantangan untuk berkegiatan fisik tampak lebih berat dan semakin terasa berlipat. Makanya tidak mengherankan, banyak yang justru naik berat badannya, bahkan setelah sebulan penuh berpuasa. Musababnya jelas, surplus kalori karena kurang bergerak dengan alasan klasik sedang menjalani puasa, plus santap sahur dan berbuka puasa secara berlebihan.
Ilmiah dan Alamiah
Sebuah riset ilmiah menarik dilakukan di postdoctoral Laboratorium Perilaku Otak oleh Matthieu Boisgontier (2018), peneliti University of British Columbia. Boisgontier memulai penelitian dengan pertanyaan utama: "Kita tahu berolahraga itu sehat, namun mengapa kita sulit melakukannya?" Dia menyebut hal ini sebagai exercise paradox atau paradoks olahraga.
Penelitian keren ini bertajuk Avoiding Sedentary Behaviors Requires more Cortical Resources than Avoiding Physical Activity: An Electroencephalography (EEG) Study, dan published di Jurnal Neuropsychologia. Semua terkait tentang saraf kita. Pilihan untuk berolahraga, menurut riset tersebut, adalah sebuah pertentangan antara naluri paling dasar otak dan keinginan terus-menerus untuk perbaikan diri. Apakah seseorang berhasil ke gym atau tidak, sangat tergantung pada hasil dari dua bagian otak yang sedang berperang tersebut.
Keadaan malas berolahraga adalah keadaan yang alamiah. Meskipun kebanyakan orang mengerti bahwa olahraga itu baik untuk kesehatan, tetapi sesungguhnya mereka sangat kurang menyadarinya, sehingga tidak membuat olahraga menjadi lebih mudah dilakukan. Penelitian juga menyebutkan bahwa diri kita seolah sudah diprogram untuk tertarik pada perilaku sedentari.
Pencitraan otak atau brain imaging dalam penelitian Boisgontier juga menjelaskan mengapa secara alamiah berolahraga tampak begitu sulit. Ia mengidentifikasi perbedaan penting dalam seberapa keras otak kita harus bekerja ketika berpikir tentang melakukan olahraga ketimbang saat malas bergerak. Dalam kehidupan sehari-hari, paradoks olahraga ini diilustrasikan ketika orang yang memiliki niat untuk aktif secara fisik dan berolahraga, tetapi faktanya malah menggunakan eskalator atau lift daripada menaiki tangga.
Prinsip 13-3-1
Prinsip 13-3-1 menjelaskan tentang bagaimana memahami sebuah paradigma untuk menjadi sehat dengan menjalankan aktivitas fisik. Paradigma sangat mempengaruhi perilaku seseorang dan bisa menentukan keputusan serta tindakan yang diambil seseorang dalam kehidupan sehari-hari. Paradigma yang positif akan membantu meletakkan hasil kesimpulan riset di atas secara tepat.
Memahami dasar-dasar paradoks olahraga tidak berarti menyerah pada kecenderungan alamiah kita. Kecenderungan kita untuk bermalas-malasan pada awalnya merupakan naluri purba manusia yang dimaksudkan untuk sekadar menghemat energi belaka, dalam rangka bertahan hidup. Hal tersebut jelas bukan untuk menimbun kalori seperti yang dilakukan orang kebanyakan pada saat ini. Sehingga sangatlah hebat dan mengesankan bahwa ada dan bahkan banyak orang yang telah berhasil melawan dan akhirnya memenangkan pertarungan batin antara olahraga dan tidak.
Alur pemikiran "prinsip 13-3-1" akan membantu kita mendapatkan paradigma yang tepat untuk melawan dan mengalahkan naluri purba manusia berupa paradoks olahraga. Prinsip ini menjelaskan cara berpikir, bahwa dari sekian banyak alasan untuk tidak berolahraga, pada akhirnya hanya ada satu alasan saja yang masuk akal dan bisa diterima. Selebihnya hanyalah berupa alasan-alasan yang dibuat-buat belaka.
Secara lebih detail, di dalam prinsip 13-3-1 terdapat setidaknya 13 alasan, atau bisa jadi lebih banyak lagi alasan, mengapa banyak orang terkena sindrom exercise paradox. Misalnya, sibuk dan tidak punya waktu, tidak terlalu suka berolahraga, tidak punya sepatu atau baju olahraga, tidak terlihat menarik saat olahraga, tidak suka berlari, sedang sakit. Semuanya alasan ini termasuk dalam kategori pembenaran (justification). Selanjutnya alasan berupa keluhan (complaint) seperti terlalu lelah jika berolahraga, menganggap olahraga itu berat, tidak punya motivasi, ingin fitness namun alat-alatnya mahal, dan repot mengurus anak. Lalu, dua alasan terakhir yang cenderung menyalahkan (blame) misalnya cuaca kurang mendukung dan banyak tugas kantor.
Dari penjelasan di atas, tampak bahwa sejatinya hanya ada tiga alasan saja mengapa orang enggan berolahraga, yakni alasan berupa pembenaran, keluhan, dan menyalahkan. Kemudian, jika tiga alasan tersebut "diperas" lagi, maka tinggal satu alasan saja yang benar-benar rasional dan valid, yaitu perkara "prioritas". Sangat relevan dengan sebuah adagium populer "no body is too busy, it's just matter of priorities". Fakta menariknya, banyak yang supersibuk tetapi tetap saja rajin dan terus berolahraga, bahkan pada bulan puasa sekalipun. Ini artinya olahraga sudah menjadi prioritas mereka.
Belajar dari diktum The Eisenhower Decision Matrix, bila sesuatu, termasuk olahraga, sudah menjadi prioritas, maka ia menjadi hal yang penting (important) juga mendesak (urgent) sehingga akan dilakukan (do) karena ada konsekuensi. Dengan demikian, olahraga tidak akan ditunda (delayed), atau hanya dijadwalkan ulang (rescheduled), dan tidak akan mungkin dihilangkan (deleted) dari agenda sehari-hari.
Terdapat sebuah ungkapan masyhur yang terkait dengan ciri kehidupan yaitu bergerak atau pergerakan, baik secara fisik maupun metaforis: "Life is movement, keep moving." Teruslah bergerak, berolahraga, agar Anda tetap hidup (sehat) dengan tetap menyandang ciri kehidupan.
Bila kita mampu melawan rasa malas kita, semestinya juga bisa menyingkirkan exercise paradox, sehingga insya Allah derajat kita meningkat. Dengan demikian, setelah periode puasa Ramadan, kita akan lahir kembali sebagai insan yang lebih baik, lebih sehat, dan tentunya lebih bertakwa --sebuah derajat dan pencapaian tertinggi dari seluruh rangkaian ibadah Ramadan. Selamat berpuasa dengan sehat dan penuh makna.
Sunardi Siswodiharjo penulis buku 'Narasi Nutrisi dan Kesehatan di Zaman Pasca-Kebenaran', tinggal di Malang
Simak Video 'Mengejar Kesucian di Bulan Ramadhan dengan Kesadaran Lingkungan':
(mmu/mmu)