Menyelamatkan Kedaulatan Rakyat
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Menyelamatkan Kedaulatan Rakyat

Sabtu, 30 Mar 2024 18:43 WIB
Endang Tirtana
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Endang Tirtana (Dokumentasi pribadi Endang Tirtana)
Foto: Endang Tirtana (Dokumentasi pribadi Endang Tirtana)
Jakarta -

Hari itu, 20 Maret 2024, tahapan Pemilu 2024 memasuki babak akhir. Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan hasil pemilihan presiden (Pilpres) dan anggota legislatif (Pileg) melalui proses rekapitulasi nasional.

Dalam hasil Pileg itu, sebanyak 8 partai politik mempertahankan kursi di Senayan karena berhasil menembus ambang batas parlemen (parliamentary threshold/PT) sebesar 4%. Sisanya, 10 partai dinyatakan gagal mengirim wakil rakyat atau tidak memperoleh kursi di tingkat DPR.

Artinya, suara yang sudah diberikan pemilih kepada partai dan calon anggota legislatif (caleg) yang tidak lolos tersebut terbuang sia-sia. Jika dijumlahkan, suara rakyat yang terbuang atau kedaulatan rakyat yang tercerabut itu mencapai 17,3 juta atau setara dengan 11,4% dari seluruh suara sah.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Angka tersebut tak kecil, mengingat tidak ada satu pun partai yang meraih suara di atas 20%. Andaikan semua partai yang tidak lolos itu bergabung, mereka menempati peringkat keempat terbesar, setelah PDIP, Golkar, dan Gerindra.

Pada saat menjelang pencoblosan, Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan yang cukup progresif dengan memerintahkan agar ketentuan PT 4% ditinjau ulang. Sayangnya, putusan tersebut tidak serta-merta berlaku pada pemilu sekarang, mengingat tahapan pemilu sedang berjalan.

ADVERTISEMENT

Antara kebebasan dan penyederhanaan politik

Lonjakan jumlah partai politik terjadi seiring ambruknya bangunan sistem politik Orde Baru. Sebelumnya hanya ada 3 kontestan yang diizinkan berlaga pada setiap pemilu sebagai buah dari kebijakan fusi partai yang diterapkan pada 1973.

Gelombang demokratisasi menjelang turunnya Presiden Soeharto membangkitkan wacana untuk pendirian partai-partai baru. Saat itu formasi politik yang ada dinilai tidak memungkinkan munculnya oposisi untuk mengontrol berjalannya pemerintahan, hingga berkembang menjadi otoritarianisme.

Pemantik awalnya, protes-protes yang disuarakan kalangan cendekiawan terhadap kecenderungan monolitiknya rezim Orba. Organisasi-organisasi tandingan bermunculan, termasuk dalam aras politik dengan upaya membangkitkan kembali partai-partai aliran dari masa 1950-an.

Hanya saja, upaya-upaya tersebut berhenti pada tataran pembentukan ormas, mengingat sulitnya formasi 3 partai itu bisa didobrak. Politisi yang kritis didukung para aktivis mendorong agar partai baru bisa dibentuk, seperti dilakukan Sri Bintang Pamungkas (PUDI) dan Budiman Sudjatmiko (PRD).

Akhirnya, begitu ruang kebebasan terbuka pasca-reformasi, terjadilah inflasi jumlah partai secara luar biasa. Tercatat sebanyak 141 partai mendaftarkan diri untuk ikut dalam Pemilu 1999, meskipun hanya 48 yang disahkan oleh pemerintah sebagai peserta pemilu.

Di antaranya tersisa separuhnya saja, yaitu sebanyak 21 partai yang berhak menempatkan wakil di DPR. Tingginya minat orang mendirikan partai kembali memunculkan gagasan untuk menyederhanakan jumlah partai, tanpa harus memberangus kebebasan politik yang baru saja diraih.

Lahirlah sejumlah metode untuk mengurangi jumlah partai, mula-mula dengan menerapkan ambang batas kepesertaan pemilu (electoral threshold/ET). Untuk dapat mengikuti Pemilu 2004, ketentuan ET adalah harus meraih 2% kursi di DPR. Hanya ada 6 partai yang mampu memenuhi syarat tersebut.

Sisanya harus bergabung dengan partai lain atau mengubah nama dan tanda gambar. Dengan ketentuan tersebut, jumlah partai peserta Pemilu 2004 berkurang hingga separuhnya menjadi 24 partai, dan 16 di antaranya mendapatkan kursi di DPR.

Tetapi kemudian jumlahnya melejit lagi menjadi 38 partai pada Pemilu 2009, setelah MK membolehkan semua partai peserta Pemilu 2004 untuk kembali berlaga tanpa harus berganti nama. Sejak saat itu ketentuan ET ditinggalkan, lalu mulailah diperkenalkan PT, yang awalnya dipatok 2,5%.

Angkanya terus dinaikkan menjadi 3,5% pada Pemilu 2014, lalu 4% mulai 2019. Di sisi lain syarat mengikuti pemilu pun diperketat, membuat pendirian partai baru semakin sulit. Jumlah peserta pemilu pada 2014-2024 menyusut menjadi 12-18 partai, dan yang lolos ke DPR hanya 8-10 partai.

Penyederhanaan dalam arti mengurangi jumlah partai memang berhasil dilakukan, tanpa perlu meniadakan kebebasan politik. Tetapi nyatanya hanya sedikit yang mampu mendirikan partai baru, terbukti jumlahnya berkurang tajam menjadi 1-4 partai sejak Pemilu 2014 silam.

Daulat rakyat yang terbuang

Konsekuensi dari penyederhanaan politik yang berfokus pada mengurangi jumlah partai adalah banyaknya suara pemilih yang terbuang sia-sia. Ketika pertama kali diterapkan PT sebesar 2,5% pada Pemilu 2009, suara yang terbuang mencapai 18,3% atau sebanyak 19.047.481 suara.

Besarnya suara terbuang tersebut berasal dari 29 partai yang gagal merebut kursi di DPR. Pada pemilu selanjutnya suara yang terbuang anjlok menjadi hanya 2,4% ketika PT dinaikkan menjadi 3,5%. Tetapi yang harus dicatat, partai yang tidak lolos ke DPR hanya ada 2 saja.

Setelah PT dinaikkan lagi menjadi 4%, suara yang terbuang naik lagi menjadi 9,7% (Pemilu 2019) dan 11,4% (Pemilu 2024). Sebanyak 7 partai gagal melenggang ke Senayan pada 2019, dan naik menjadi 10 partai pada pemilu sekarang.

Diterapkannya PT secara membabibuta itu menciptakan ironi di sejumlah daerah pemilihan. Caleg-caleg yang meraih suara besar hingga berpeluang terpilih kehilangan kesempatan karena partainya tidak lolos secara nasional dan tidak diikutsertakan dalam konversi suara menjadi kursi DPR.

Sebaliknya, caleg-caleg yang berasal dari partai dengan suara lebih kecil justru terpilih karena partainya lolos PT. Hal ini menimbulkan ketidakadilan, selain itu terpilihnya para caleg tersebut jelas tidak mencerminkan suara pemilih yang sesungguhnya karena banyaknya suara yang hangus.

Dalam kajian tentang sistem pemilu, ketidaksesuaian antara aspirasi pemilih dengan perolehan kursi tersebut menimbulkan fenomena disproporsionalitas. Padahal pemilu yang diterapkan di Indonesia menganut sistem proporsional, alih-alih sistem distrik seperti berlaku di Amerika Serikat.

Idealnya tentu saja pemilu berjalan benar-benar secara proporsional, artinya semua suara dihitung sehingga jumlah suara yang terbuang semakin kecil persentasenya. Pada dua kali pemilu pasca-reformasi, ketika belum ada penerapan PT, suara yang terbuang hanya berkisar 4%.

Mengkaji ulang efektivitas ambang batas

Gagasan soal penyederhanaan kepartaian dilatari oleh kekhawatiran bahwa banyaknya jumlah partai membuat sulitnya pengambilan keputusan di parlemen. Sejarah juga pernah mencatat sentimen negatif terhadap ketidakstabilan politik pada era Demokrasi Liberal tahun 1950-an.

Hal itu kemudian mendorong rezim Orba mengambil jalan pintas dengan memaksakan kebijakan fusi partai dan praktis tidak membolehkan berdirinya partai-partai baru. Sejak reformasi '98, kita kembali memilih model demokrasi multipartai dengan menjunjung tinggi hak-hak politik warga negara.

Tentu saja kita juga perlu memastikan bahwa sistem multipartai tidak menjadikan parlemen berjalan kurang efektif. Kajian Perludem (2024) menunjukkan hasil Pemilu 1999 justru yang paling berhasil menciptakan jumlah partai yang efektif di parlemen ketimbang pemilu-pemilu berikutnya.

Berdasarkan perhitungan indeks ENPP yang dikembangkan oleh Laakos dan Taagepera (1979), Pemilu 1999 mempunyai nilai yang paling kecil sebesar 4,7, atau paling mendekati sistem multipartai yang moderat menurut klasifikasi Siaroff (2000).

Sebagaimana diketahui, terdapat klasifikasi sistem kepartaian menurut Sartori (1976) yang membagi menjadi 4 tipe dipandang dari jumlah partai dan jarak ideologi antar-partai., yaitu sistem satu partai dominan, dua partai, pluralisme (multipartai) moderat, dan pluralisme ekstrem

Indeks ENPP meningkat sejak Pemilu 2004 dan tidak mampu turun mencapai level Pemilu 1999, sehingga parlemen yang terbentuk lebih bercorak multipartai yang ekstrem. Artinya, penerapan kebijakan ambang batas (PT) tidak efektif dalam menciptakan efektivitas kepartaian di parlemen.

Setelah berjalannya sekian kali pemilu yang demokratis pasca-reformasi, sudah saatnya kita meninjau ulang metode yang efektif terkait gagasan penyederhanaan politik. Hal ini sejalah dengan putusan MK yang meminta DPR merumuskan ulang perhitungan ambang batas yang berlaku saat ini.

Apapun alternatif yang ditawarkan, seperti memperkecil besaran dapil (district magnitude) hingga menghapus sama sekali PT dan digantikan dengan ambang batas pembentukan fraksi, harus dikaji secara mendalam oleh wakil rakyat terpilih sebelum digelarnya pemilu berikutnya pada 2029. Sebab, dalam negara demokrasi, kekuasaan tertinggi dalam suatu negara berada di tangan rakyat. Ya, kedaulatan rakyat adalah panglima.

Endang Tirtana

Pemerhati Politik

(dnu/dnu)



Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads