Penanganan untuk Gempa Bawean
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Penanganan untuk Gempa Bawean

Kamis, 28 Mar 2024 16:00 WIB
Ahmad Faiz Muhammad Noer
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Warga melintas di dekat Masjid Jamik Al Muhajirin yang sebangian bangunannya roboh akibat gempa di Dusun Balikbakgunung, Sangkapura, Pulau Bawean, Gresik, Jawa Timur, Minggu (24/3/2024). Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Gresik mencatat sebanyak 4.085 rumah, 138 rumah ibadah, 68 sekolah, dan 12 perkantoran di Kecamatan Sangkapura dan Tambak mengalami kerusakan akibat gempa bumi yang berpusat di Kabupaten Tuban, Jawa Timur. ANTARA FOTO/Rizal Hanafi/Spt.
Foto: Rizal Hanafi/Antara
Jakarta -

Bawean. Sebuah pulau kecil bagian dari Kabupaten Gresik. Ia terpisahkan jauh oleh lautan. Jaraknya sekitar 135 kilometer dari daratan Gresik. Berada di tengah Laut Jawa. Terdiri dari dua kecamatan. Yakni, Sangkapura dan Tambak. Total ada 30 desa.

Ketika gempa Tuban terjadi, jarak dengan Bawean hanya 35 kilometer. Padahal getaran tidak saja dirasakan di Gresik, Surabaya, dan Tuban. Tapi telah sampai di Jogja, bahkan Kalimantan. Sehingga bisa dibayangkan bagaimana keparahan kejadian dari gempa bermagnitudo 6,5 tersebut di Bawean.

Kejadian gempa ini tentu menjadi hal baru bagi Pemkab Gresik. Setahun yang lalu, Maret 2023, Bawean dilanda banjir dan longsor akibat intensitas hujan tinggi. Namun relatif terlokalisasi di lima desa. Tidak ada korban jiwa. Beberapa rumah, sekolah, dan jembatan rusak hingga ambruk. Secara umum bencana hidrometeorologi di Gresik terpetakan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Namun bencana di Bawean kali ini tentu berbeda. Sangat berbeda. Ia adalah gempa tektonik yang tak terprediksi sebelumnya. Lokasinya tak terlokalisasi seperti bencana longsor dan banjir sebelumnya. Kali ini ancamannya merata. Getarannya dirasakan tiap orang di seluruh jengkal tanah Pulau Bawean.

Sementara, jarak pulau dengan daratan terpaut lautan. Waktu yang ditempuh tidak sebentar. Paling cepat empat jam untuk kapal penumpang. Butuh sembilan jam untuk kapal barang. Kapal pun relatif terbatas. Belum potensi gangguan cuaca. Ada keterbatasan konektivitas untuk memobilisasi bala bantuan BPBD dan perangkat pemerintah daerah terkait lain yang didatangkan dari daratan Gresik.

ADVERTISEMENT

Untuk itu, berkaca dari kejadian bencana gempa ini, ada beberapa catatan untuk menjadi perhatian. Bagaimana pun, khususnya Pemerintah Kabupaten Gresik, telah berupaya dan bekerja sangat keras. Maka, catatan ini penting sebagai bahan refleksi untuk penanggulangan bencana ke depannya.

Pertama, dari sisi kultural. Ketika terdapat kondisi keterbatasan konektivitas dan jangkauan jejaring perangkat daerah, upaya penanggulangan bencana bersumber daya masyarakat menjadi semakin relevan. Kapasitas masyarakat terhadap bencana harus lebih terbangun dan diperkuat. Khususnya untuk kesiapsiagaan (preparedness) maupun situasi tanggap darurat (response).

Ketika fase yang sedang dihadapi adalah situasi terdapat potensi terjadi bencana, ada dua pendekatan yang bisa dilakukan. Yakni, mitigasi dan kesiapsiagaan. Manajemen kesiapsiagaan menjadi faktor yang sangat krusial. Mulai mengorganisasi tempat evakuasi, kebutuhan dasar, perlindungan kelompok rentan, ketersediaan sumber daya kesehatan, hingga pengerahan sumber daya lainnya. Semua dalam rangka memitigasi atau mengurangi potensi kerugian akibat bencana.

Mengorganisasi fase kesiapsiagaan sampai tanggap darurat tentu akan memakan waktu apabila harus menunggu pemerintah. Maka, kapasitas serta kemandirian masyarakat diperlukan. Ingat, rumus bencana ialah hazard dan vulnerability. Setidaknya, langkah-langkah prioritas bisa dilakukan terlebih dahulu sambil menunggu bala bantuan pemerintah dan masyarakat luar berdatangan dari daratan.

Dalam hal ini, Pemkab Gresik dapat meninjau kembali program desa tangguh bencana (Destana) yang ada di Pulau Bawean --apakah sudah ada atau belum. Bila ada, perlu diperkuat. Setidaknya, dari dua kecamatan, masing-masing terdapat lima Destana yang representatif. Selanjutnya, sepuluh desa ini yang menjadi penyangga penanggulangan bencana bersumber daya masyarakat di Bawean.

Beberapa instrumen dikenal di dalam Destana. Mulai Forum Pengurangan Risiko Bencana (PRB Desa), pelatihan dan peningkatan kapasitas, perdes hingga perkades tentang rencana penanggulangan dan kontingensi. Prinsipnya adalah partisipatoris. Yakni, bagaimana masyarakat memiliki kemampuan untuk mengenali ancaman, mengorganisasi sumber daya untuk meredam dan mengurangi kerentanan.

Kedua, dari sisi struktural. Ada dua isu krusial yang mendesak untuk dibahas di sini. Pertama, penguatan jejaring perangkat daerah yang membidangi urusan kebencanaan di Bawean. Perlu dibentuk unit pelaksana teknis (UPT) atau sejenis kepanjangan perangkat dari organisasi induk BPBD.

Dalam hal ini, Pemkab Gresik dapat merujuk ke inovasi BPBD Pemprov Jawa Timur, yakni Kontainer Command Center TRC-PB. Dengan kejadian gempa Bawean dan penjelasan Pusat Gempa dan Tsunami BMKG, Pemkab Gresik tentu harus memiliki visi kebijakan kebencanaan yang lebih kuat untuk Pulau Bawean. Kontainer Command Center Tim Reaksi Cepat Penanggulangan Bencana bisa jadi rujukan.

Bagaimana pun, pemerintah tentu menjadi garda terdepan. Karena ia memiliki perangkat dan sumber daya yang lebih paripurna. Khususnya pemenuhan sumber daya kesehatan dan perlindungan sosial. Kondisi ini akan lebih menyempurnakan kapasitas dan kemandirian masyarakat akan sadar bencana.

Sementara isu kedua, sistem informasi. Harus diakui, manajemen sistem dan media informasi yang dikelola Pemkab Gresik terbilang kedodoran sejak hari pertama gempa Jumat (22/3) sampai Ahad (24/3) atau kurun tiga hari kritis. Padahal, media informasi berperan penting menghadirkan rasa aman, menetralisir kepanikan, atau intinya mengatasi masalah psikososial akibat bencana.

Sejak Jumat sore, masyarakat pesisir Bawean sudah mengosongkan rumah. Pindah sementara dan mengungsi ke dataran yang lebih tinggi. Baik mendirikan tenda di tanah lapang kosong maupun tinggal sementara di rumah keluarga. Tak ada yang berani tidur di dalam rumah. Mereka menggelar tikar di jalan-jalan depan rumah masing-masing.

Meski berkali-kali BMKG merilis tak ada potensi tsunami, tapi kepanikan dan trauma sudah terlanjur menjalar. Di sinilah, perangkat sistem dan media informasi yang dimiliki pemerintah daerah punya peran penting. Informasi resmi diharap mampu menjawab hoaks yang beredar di aplikasi berkirim pesan. Pun informasi kreatif berisi dos and don'ts untuk mengedukasi masyarakat saat bencana.

Selebihnya, pendapat-pendapat ahli yang mengurai solusi, memetakan persoalan, kiranya dapat diolah dan disajikan menjadi referensi dan literasi. Selain BMKG, banyak NGO di bidang kebencanaan yang sangat aktif merespons dan memberi informasi edukatif melalui media sosialnya. Dalam situasi penuh kepanikan, mengelola sistem informasi yang baik adalah upaya untuk mengangkat moral dan psikis positif warga yang terdampak bencana.

Ahmad Faiz Muhammad Noer Ketua Karang Taruna Kab Gresik, Juara 1 Karang Taruna Berprestasi Provinsi Jawa Timur, mahasiswa Sekolah Pascasarjana Unair Surabaya

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads