Jumat Agung, Perdamaian, dan Anti Kekerasan

Kolom

Jumat Agung, Perdamaian, dan Anti Kekerasan

Paulus Mujiran - detikNews
Jumat, 29 Mar 2024 14:10 WIB
Sejumlah umat Katolik beribadah di depan diorama penyaliban Yesus Kristus saat prosesi Jalan Salib di lereng gunung Wilis Desa Puhsarang, Kediri, Jawa Timur, Jumat (7/4/2023). Prosesi rangkain Hari Paskah tersebut menggambarkan peristiwa yang dialami Yesus menjelang dan saat penyaliban di Bukit Golgota. ANTARA FOTO/Prasetia Fauzani/foc.
Jumat Agung selalu diperingati dengan khusyuk di berbagai daerah (Foto: Prasetia Fauzani/Antara)
Jakarta - Kematian Yesus yang hari ini (29/3) diperingati umat kristiani dalam perayaan Jumat Agung bukanlah kenangan sebuah ritus pembantaian. Kekerasan algojo yang didukung penguasa politik waktu itu sebagaimana kita baca dalam Injil Santo Yohanes 18 – 24 bukanlah ekspose kekerasan. Warta perjanjian baru hendak menunjukkan kepada dunia, kesengsaraan yang diderita Yesus karena ketaatan-Nya secara radikal kepada Allah (Filipi 2: 2 – 11) yang berbuah kebangkitan dan penebusan dosa.

Mahatma Gandhi bersaksi tentang Yesus: "Bagiku Tuhan adalah kebenaran dan kasih...Dia sabar menderita." Gandhi menempatkan hidupnya sendiri dan jalan hidupnya bagai jalan salib Yesus, yang dia kagumi (Robert Ellsberg, ed, Gandhi on Christianity, Yogyakarta: LKiS, 2004). Ketika Tuhan dipandang sebagai Dia yang akrab dengan kehidupan, Tuhan pun berduka saat manusia berduka. Dia menangis saat melihat manusia yang dicintainya menangis. Tuhan pun sedih kala memandangi makhluk-makhluk ciptaan-Nya dilanda bencana hebat. Penderitaan Yesus di kayu salib adalah belarasa terdalam Yesus kepada manusia dalam peziarahan hidupnya.

Ketika melihat Yesus luka dan mati, bahkan mati digantung di salib bak penjahat kelas kakap yang menjadi tontonan aib, yang terlintas dalam benak kita adalah penderitaan setiap manusia. Salib dan derita manusia sesuatu yang absurd tengah keberadaban manusia. Derita manusia adalah aib bagi semua orang. Karena itu potret manusia Yesus yang tubuhnya penuh bilur-bilur berdarah-darah menjadi pengalaman manusia sepanjang jaman.

Dalam konteks ini di tengah dunia yang penuh kekerasan merenungkan kisah sengsara menjadi sangat relevan. Dunia sekarang ini diwarnai dengan aneka kekerasan. Polisi membunuh bawahan, istri meracuni anaknya sampai tewas, anak-anak korban kekerasan orangtuanya, kekerasan dalam rumah tangga pemicu perceraian. Ancaman terorisme juga masih mencemaskan. Dalam konteks global konflik AS-Irak, Israel-Palestina seperti tidak pernah terselesaikan. Kekerasan sudah menjadi budaya manusia dalam menyelesaikan masalah pelik kehidupan. Dunia yang dikuasai kekerasan belakangan ini menjadi cermin manusia yang sakit.

Meminjam Rene Girard (1990) berdasarkan fakta sepanjang sejarah peradaban, balas-membalas adalah hukum yang dipakai untuk eksis. Konflik diselesaikan dengan kekerasan. Dalam perkembangannya, ada pihak tak bersalah ditargetkan menjadi korban kekerasan kolektif (viktimisasi). Menurut Girard, mekanisme viktimisasi itu dilestarikan dalam dalam ritus korban di mana hewan dikorbankan atau dikambinghitamkan sebagai solusi konflik.

Menurut Girard, keunikan kekerasan yang ditampilkan dalam Injil adalah keberpihakan Allah pada korban. Yesus menderita di kayu salib menjadi korban kekerasan kolektif yang dilakukan bangsa Yahudi dengan meminjam tangan penguasa pemerintah Romawi. Yesus dituduh menjadi biang keladi kekacauan dan keresahan di kalangan masyarakat Yahudi. Untuk mereka yang berlindung di balik kemunafikan. Karena itu, Yesus harus disingkirkan.

Baru selang beberapa hari sebelumnya, massa menyambut Yesus dengan pujian, "Hosana!" Namun, mereka cepat berubah, lalu dengan histeris berteriak, "Salibkan Dia!" Yesus harus menjadi korban supaya komunitas Yahudi selamat, seperti ditegaskan Imam Besar Kayafas, "Lebih berguna bagimu, jika satu orang mati untuk bangsa kita daripada seluruh bangsa kita ini binasa." (Yohanes 11:50).

Pada zaman-Nya, Yesus menghadapi musuh yang tidak sepaham dengan ajaran dan tindakan-Nya dengan mengedepankan sikap anti kekerasan. Tak ada senjata pembunuh canggih di tangan-Nya. Kepada para murid dan pendengar-Nya yang notabene rakyat miskin, haus keadilan, rindu perdamaian, lapar kesejahteraan, Yesus mengajarkan, sikap yang penuh dendam, kepahitan, dan kekerasan akan mematikan diri sendiri dan sesama. Yesus adalah promotor perdamaian. Dengan cara-Nya sendiri Yesus hendak menegaskan kekerasan yang dibalas dengan kekerasan justru kian tidak berujung.

Dalam konteks sikap hidup seperti itulah, Yesus mengedepankan sikap anti kekerasan sebagai ajaran dan keteladanan. Bagi Yesus, satu-satunya jalan untuk pembebasan dari musuh adalah dengan mencintai musuh, berbuat baik kepada orang-orang yang membenci, dan berdoa bagi mereka yang memberikan perlakuan buruk (Lukas 6:27-28). Mendoakan musuh merupakan kalimat yang selalu berulang-ulang diajarkan kepada murid-murid-Nya. "Barangsiapa menggunakan pedang, akan binasa oleh pedang." (Matius 26:25).

Terhadap perempuan yang ditemukan berzina yang hendak dilempari batu, Yesus mengatakan, "Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu." (Yohanes 8 : 9). Kematian-Nya di kayu salib adalah puncak antikekerasan-Nya dalam sejarah manusia.

Hukuman salib yang harus ditanggung Yesus dan kematian-Nya merupakan puncak gerakan anti kekerasan yang dilancarkan Yesus demi membela rakyat yang ditindas penguasa agama yang berkoalisi-berkonspirasi dengan penguasa politik sezaman-Nya. Salib adalah risiko tertinggi yang harus ditanggung Yesus dalam kesetiaan dan konsistensi-Nya membela rakyat yang dipinggirkan, diperlakukan tidak adil, dan diperas tangan-tangan kotor penguasa agama dan politik zaman itu.

Itulah bentuk perlawanan radikal yang memutus siklus kekerasan dan balas dendam dengan cara membawa perdamaian. Yesus menyadari akibat paling mengerikan dari sikap-Nya dalam mewartakan dan mendemonstrasikan pilihan-Nya membela rakyat miskin tertindas. Itulah konsistensi Yesus yang secara sadar dan bebas menyongsong kematian-Nya demi lahirnya perdamaian bagi orang-orang tertindas, terutama belenggu dosa.

Yesus memilih peran sebagai aktor perdamaian dengan anti kekerasan, ketika tetap mendemonstrasikan gerakan damai-Nya demi melawan kezaliman dan kekerasan penguasa agama yang berkoalisi dengan penguasa politik sezaman-Nya. Dewasa ini ketika kekerasan merajalela dibutuhkan pejuang-pejuang perdamaian yang tidak kenal lelah. Meneladan Yesus adalah bentuk yang paling mungkin untuk membangun kedamaian hidup bersama.

Sikap anti kekerasan Yesus menjadi inspirasi bagi banyak orang termasuk Mahatma Gandhi penganut Hindu, dengan ahimsanya. Mahatma kini dikenang di seluruh dunia dengan gerakan-gerakan anti kekerasan. Merayakan Jumat Agung adalah merefleksikan Allah yang berbelas kasih kepada manusia bukan Allah yang kejam. Dengan menempatkan Yesus sebagai pelopor gerakan anti kekerasan yang dewasa ini semakin relevan di tengah-tengah masyarakat.

Paulus Mujiran Ketua Pelaksana Yayasan Kesejahteraan Keluarga Soegijapranata Semarang

(mmu/mmu)

Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads