Secara umum institusi pendidikan diasosiasikan dengan intelektualitas, kritis, ilmiah, inklusif, dan mencerdaskan. Sebenarnya kita tidak perlu mempertanyakan apa fungsi dari institusi pendidikan, sama halnya kita tidak perlu mempertanyakan apa fungsi dari institusi peradilan, karena semua orang tahu persis fungsinya adalah tempat mencari keadilan. Namun, dengan melihat realitas yang terjadi, rasa-rasanya penting untuk mempertanyakan kembali eksistensi kampus sebagai institusi pendidikan, yang beberapa bulan lalu ramai diperbincangkan terkait kampus yang bekerja sama dengan aplikasi pinjaman online sebagai alternatif pembayaran Uang Kuliah Tunggal (UKT).
Pinjaman online (pinjol) bukanlah hal baru bagi masyarakat pada umumnya. Dari pinjol yang sudah terdaftar Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sampai pinjol ilegal yang tidak terdaftar OJK, keduanya sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat kita. Bagi sebagian orang pinjol merupakan solusi pinjaman keuangan yang cepat, tapi tidak sedikit pula menjadi sumber titik awal masalah yang mengancam kehidupan seseorang.
Secara substansi polemik mengenai pinjol dapat teratasi dengan membuat kerangka peraturan yang lebih spesifik. Masalahnya persoalan financial technology (fintech) di Indonesia saat ini hanya diatur dalam peraturan OJK, peraturan Bank Indonesia, dan beberapa peraturan kementerian terkait. Hal demikian mengindikasikan bahwa peraturan yang ada hanya mengatur hal yang sifatnya teknis saja, secara kekuatan keberlakuannya lemah jika dibandingkan dengan adanya undang-undang khusus yang mengatur tentang fintech.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Implikasi dari persoalan regulasi yang lemah berdampak pada institusi pendidikan yaitu kampus. Siapa sangka, ternyata jasa pinjol telah digunakan oleh beberapa kampus, termasuk yang beberapa bulan lalu ramai diperbincangkan salah satu kampus ternama yang berada di Bandung yaitu Institut Teknologi Bandung (ITB). ITB menggunakan skema pembayaran UKT bagi mahasiswa dengan bekerja sama dengan jasa pinjol sebagai alternatif pembayaran bagi mahasiswa yang kurang mampu atau tidak mampu melunasi UKT nya secara langsung. Peristiwa ini menjadi preseden buruk serta mencederai citra kampus sebagai ladang pengetahuan untuk memproduksi kader intelektual, mulai bergeser ke arah komersialisasi.
Jeratan Sistemik
Biasanya pinjol lebih menyasar pedagang, orang terlilit utang, dan UMKM, namun kali ini pinjol melakukan ekspansi bisnis ke ranah yang lebih spesifik yakni mahasiswa. Sebenarnya mahasiswa bukanlah satu-satunya dari institusi pendidikan yang terjerat pinjol, karena guru lebih awal menjadi profesi pengguna pinjol yang paling banyak. Berdasarkan hasil riset No Limit Indonesia (2021) sekitar 42% guru terjerat pinjol.
Pinjol melakukan ekspansi dengan melihat pasar dan segmentasi yang cukup mudah untuk menawarkan jasanya. Kampus cenderung mudah untuk dijadikan tempat melempar jaring, karena sebagai institusi pendidikan kampus dilengkapi seperangkat aturan yang dapat diterapkan kepada mahasiswa. Suka atau tidak mahasiswa akan lebih cenderung mematuhi aturan yang telah ditetapkan kampus. Skema yang telah diperjanjikan antara pihak kampus dan jasa pinjol akan lebih mudah untuk diikuti oleh mahasiswa.
Hal demikian tentu berpotensi menjerat mahasiswa dalam lilitan utang serta bunganya, padahal seyogianya mahasiswa kurang mampu mendapatkan bantuan dispensasi, semacam potongan UKT atau bahkan beasiswa. Namun yang terjadi justru sebaliknya, pinjol-lah yang mendapatkan ruang di dalam wilayah kampus, berpotensi melakukan eksploitasi secara sistemik kepada mahasiswa.
Paradigma Keliru
Stigma dominan bahwa pinjol adalah solusi keuangan sudah tidak terbendung. Benteng yang notabenenya tempat kaum terdidik dan kritis telah diterobos oleh jasa pinjol. Jasa pinjol yang bekerja dalam kampus sejatinya telah mencederai akal sehat kita semua. Kampus seharunya mencerminkan intelektualitas dan kemapanan dalam berpikir di mana hal tersebut teraktualisasikan dalam suatu kebijakan kampus.
Kebijakan yang dibuat kampus mendeskripsikan bahwa pinjol sebagai alternatif pembayaran UKT bagi mahasiswa yang kurang mampu merupakan paradigma keliru yang tidak menawarkan solusi. Alih-alih sebagai solusi, malah menjadikan mahasiswa sebagai sapi perah bagi pinjol. Hal ini tentu sangat ironis apalagi terjadi di beberapa kampus yang ada di Tanah Air.
Sepatutnya pihak kampus tidak memandang pinjol sebagai solusi untuk UKT mahasiswa, karena kampus adalah tempat produksi pengetahuan bukan produksi cuan. Paradigma yang digunakan sebaiknya pinjol tidak diperuntukkan untuk kepentingan yang sifatnya konsumtif seperti dana pinjaman digunakan untuk membayar UKT sehingga dana tersebut tidak dapat dimanfaatkan terlebih dahulu.
Dalam konteks ini pihak kampus seharusnya dapat memahami bahwa penggunaan pinjol sebaiknya diperuntukkan bagi kebutuhan produktif di mana dana pinjaman dapat diputar kembali sebagai suntikan modal usaha yang nantinya dana tersebut lebih potensial untuk dikembalikan. Bukan untuk pembayaran UKT demi kepentingan kampus, tapi mengorbankan mahasiswa yang hampir mampus karena kesulitan membayar UKT. Tidak tepat jika penggunaan jasa pinjol diperuntukkan bagi mahasiswa yang tidak mampu membayar UKT. Sebab harapannya tentu solusi yang ditawarkan dapat memberikan kemudahan, bukan menambah kesulitan --sulit bayar utang disertai bunganya.
Firmansyah Dosen Hukum Bisnis Universitas Negeri Makassar
Simak juga 'Saat Sri Mulyani Tawarkan Opsi Student Loan Buntut Bayar UKT Pakai Pinjol':