Beberapa waktu belakangan, publik kembali disuguhi oleh rentetan peristiwa perundungan atau bullying. Bulan lalu, terjadi aksi bullying terjadi di Binus School Serpong, Banten ((13/2). Belum juga reda kasus itu, terjadi kasus serupa di Gunung Kidul, Yogyakarta ((21/2). Seorang siswa SMP menjadi korban perundungan temannya hingga jari kelingkingnya patah. Kemudian disusul kasus penganiayaan terhadap seorang santri oleh santri senior hingga korbannya meninggal di Kediri (23/2) dan Lampung (3/3). Selain itu, ada juga kasus bullying pada dua anak perempuan di Batam (28/2) oleh teman-temannya hingga korban babak belur.
Rangkaian peristiwa itu sekali lagi menegaskan bahwa "darurat kekerasan" pada anak, khususnya yang terjadi di dunia pendidikan, masih terus berlangsung. Ini juga menjadi isyarat bahwa perjuangan untuk memutus rantai kekerasan pada anak-anak masih panjang dan berliku. Masih jauh dari titik ujung.
Kasus-kasus perundungan tersebut menjadi viral dan diketahui publik karena masuk kategori serius. Korban perundungan mengalami luka fisik yang parah, hingga dibawa ke rumah sakit, bahkan meninggal. Sementara untuk bullying yang tidak berdampak serius, apalagi bullying verbal, tidak banyak terangkat ke permukaan, sehingga kerap tidak terdeteksi dan dianggap tidak ada.
Padahal bullying yang dianggap ringan itu tidak selalu berdampak ringan. Ia juga bisa jadi memiliki dampak yang lebih serius pada korbannya. Perundungan dalam bentuk apapun dapat menyebabkan luka psikologis, yang bisa jadi akan dirasakan oleh korban sepanjang hidupnya. Luka ini tidak terlihat menganga seperti fisik yang luka. Tetapi, luka psikis juga sama sakitnya dengan luka fisik. Bahkan beberapa orang sampai pada titik untuk memilih untuk mengakhiri hidupnya karena dampak traumatis dari perundungan yang mereka alami.
Tentang tingginya kasus bullying di Indonesia tersebut tercermin dari beberapa penelitian. Misalnya, data hasil survei Programme for International Student Assessment (PISA) 2018 menunjukkan ada 41,1% pelajar Indonesia yang pernah mengalami perundungan. Jumlah ini tergolong tinggi. Bahkan jumlah itu menjadikan Indonesia menempati peringkat kelima negara dengan kasus perundungan terbanyak.
Laporan UNICEF pada 2020 tentang perundungan di Indonesia juga menunjukkan fakta tidak jauh beda. Laporan itu menunjukkan bahwa 2 dari 3 anak berusia 13-17 tahun di Indonesia pernah mengalami setidaknya satu jenis kekerasan dalam hidupnya. Jenis kekerasan yang mereka alami diantaranya dipukul, diancam, dihina, dikucilkan, dirusak nama baiknya, juga diambil atau dirusak barang miliknya.
Mengapa Berulang?
Ada banyak faktor yang menjadikan perundungan pada anak-anak terus berlangsung dan berulang. Salah satunya karena perundungan sudah menjadi bagian dari kenyataan sosial di beberapa komunitas masyarakat. Narasi kekerasan sudah menjadi bagian dari sistem keyakinan, nilai, norma, atau budaya mereka. Di komunitas-komunitas itu, kekerasan dianggap cara hidup sehari-hari yang umum dan wajar.
Adanya kultur kekerasan yang dipelihara secara laten tersebut kerap mengemuka di dunia maya. Survei Microsoft berjudul Digital Civility Index 2020 menunjukkan bahwa netizen Indonesia tergolong sebagai salah satu kelompok netizen di dunia yang banyak paling tidak sopan. Tidak sopan ini di antaranya dapat diartikan tindakan yang mengarah pada perilaku agresi verbal atau ujaran kebencian. Perilaku netizen yang cenderung agresif ini mengindikasikan kuatnya wacana tentang kekerasan dalam struktur budaya dan memori kolektif masyarakat Indonesia.
Kultur kekerasan semakin subur karena media terus-menerus memapar publik dengan tayangan berbasis kekerasan. Saat ini, banyak game atau tontonan yang mengeksploitasi kekerasan sebagai tema utama, terutama di kalangan anak-anak dan remaja. Dalam permainan dan tontonan tersebut, kekerasan sering kali dihadirkan sebagai bentuk hiburan dan solusi untuk menyelesaikan masalah. Tanpa disadari, ini dapat mempengaruhi cara hidup mereka. Orang ua juga tidak luput dari paparan tayangan kekerasan, yang setiap saat mengisi pikiran mereka dengan imaji kekerasan melalui media.
Penyebab lainnya adalah kecenderungan penanganan kasus-kasus perundungan cenderung bersifat top down dan tidak sampai ke akar. Penanganan perundungan cenderung berfokus pada pihak-pihak yang dianggap memiliki otoritas, seperti guru, orangtua, aparat pemerintah atau aparat hukum. Sementara itu, siswa-siswa yang merupakan pelaku dan korban bullying kerap tidak dilibatkan dalam usaha-usaha pencegahan perundungan.
Penyebab selanjutnya adalah penanganan bullying yang kurang berbasis bukti dan tidak berorientasi jangka panjang atau terprogram. Penanganan bullying di sekolah terlihat cenderung bersifat reaktif ketimbang proaktif. Meskipun ada peraturan untuk pencegahan perundungan di dunia pendidikan, namun peraturan tersebut cenderung tidak dioperasionalkan sebagai program yang terprogram dengan agenda-agenda yang tertata. Ini wajar terjadi karena guru dan pemangku kepentingan lain sudah banyak beban tugas yang lain, sementara penanganan bullying bukan prioritas di pemerintah.
Kemudian, terkait penanganan bullying yang tidak berbasis data, jarang ada sekolah atau lembaga pendidikan yang memiliki data atau informasi yang komprehensif tentang kejadian perundungan tersebut. Misalnya, data tentang jumlah kejadian perundungan, profil pelaku dan korbannya, dampak perundungan pada korban, cara korban untuk menangani perundungan tersebut, dan sebagainya.
Perubahan Penanganan
Mempertimbangkan beberapa masalah tersebut, saya berpendapat perlu ada perubahan pendekatan dalam penanganan bullying di sekolah atau lembaga pendidikan yang lain. Pertama, penting bagi sekolah untuk membangun budaya perlawanan terhadap aksi bullying. Gerakan kultural ini dilakukan untuk mengganti narasi dengan narasi nilai-nilai kedamaian, hidup tanpa kekerasan.
Gerakan ini sebaiknya dilakukan secara masif di sekolah-sekolah. Bahkan bagus ketika bila berlangsung secara nasional untuk menciptakan dukungan terhadap gerakan anti-bullying menjadi dominan. Suasana demikian memungkinkan siswa merasa memiliki banyak teman, sehingga berani untuk melaporkan atau melawan segala bentuk perundungan. Semua pihak harus mendukung dan terlibat aktif dalam gerakan ini, agar para pelaku bullying menjadi minoritas.
Kedua, penanganan perundungan di sekolah harus bersifat partisipatif. Selain melibatkan pejabat berwenang, partisipasi siswa menjadi kunci. Mereka perlu diberi ruang yang aman dan nyaman untuk berbicara pengalaman serta sikap mereka terhadap perundungan. Sebagai pihak yang paling memahami situasi, mereka dapat memberikan informasi dan kontribusi yang sangat berharga dalam mengatasi aksi bullying di sekolah.
Terakhir, setiap sekolah sebaiknya menangani perundungan tersebut secara terprogram dan berbasis data empirik. Data tersebut di antaranya data tentang pengalaman siswa terkait perundungan, lokasi kejadian, pelaku, korban, serta dampak yang dirasakan. Bisa juga ditambahkan data tentang strategi siswa untuk menghadapi bullying.
Data tentang kejadian perundungan tersebut dapat dengan mudah dikumpulkan oleh sekolah. Apalagi bila sekolah melibatkan siswa untuk pengumpulan data itu. Dengan kombinasi tindakan berbasis data, program yang terencana, serta pemantauan dan evaluasi berkala, perundungan di sekolah sangat mungkin untuk di atasi secara lebih efektif.
Sartana, M.A dosen Psikologi Sosial di Departemen Psikologi Universitas Andalas
Simak juga 'Saat Remaja Putri di Jambi Dibully, Dipukuli hingga Ditendang':