Merekonstruksi Ulang Aturan Main Pemilu & Pilkada, Yuk Bisa Yuk

Merekonstruksi Ulang Aturan Main Pemilu & Pilkada, Yuk Bisa Yuk

Priyo Budi Santoso - detikNews
Sabtu, 16 Mar 2024 13:55 WIB
Priyo Budi Santoso
Priyo Budi Santoso (Ari Saputra/detikcom)
Jakarta -

Hiruk-pikuk hasil pileg dan pilpres masih berlangsung dalam dinamika antara komedi getir dan drama tragedi Yunani.

Namun partai-partai politik sudah harus ancang-ancang adu siasat, strategi dan taktik untuk siap bertarung di pilkada serentak bulan November depan. Pemilu dan pilkada ini yang bakal menentukan lanskap akhir dan konfigurasi peta politik baru di tanah air. Total daerah yang akan melaksanakan pemilihan kepala daerah serentak 2024 sebanyak 545 daerah dengan rincian 37 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota.

Yang mengejutkan, Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto berucap "Buat Apa ada Pilkada kalau Polri tidak netral, kalau TNI tidak netral. Kalau kemudian bisa diambil suatu kebijakan alokasi anggaran yang berpihak."

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kenapa Sekjen partai terbesar di Indonesia dengan jaringan yang besar yang selama dekade ini 'menikmati situasi kepolitikan' sampai bicara semiris pesimistis seperti itu?

Sebelumnya, Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar mengatakan "Ada teman yang bilang kita tidak perlu Pilkada lagi kalau pelaksanaanya dengan mengancam dan menakut-nakuti para kepala desa."

ADVERTISEMENT

Kenapa Ketua Umum partai besar yang kader inti partainya sekaligus kakak kandungnya menjadi Menteri Desa sampai ironis mengeluhkan adanya intimidasi terhadap para kepala desa?

Apakah sudah sedemikian buruk dan menuju sekarat praktik demokrasi kita? Atau itu ekspresi yang 'terlalu baper' dari rasa kecewa dan marah atas kekalahan telak mereka dalam pemilu baru-baru ini?

Ada kawan, seorang politisi top tanah air, yang mengatakan sebetulnya partai-partai politik dan semua peserta dan para pemain politik dalam pemilu ini cenderung berlaku curang, hanya saja kalah atau menang tergantung 'adu keterampilan' dalam situasi yang curang ini. Ini bisa jadi adalah sebuah pengakuan yang jujur, bak pepatah Jawa "ngono yo ngono ning ojo ngono".


Saya tercenung.

Republik Indonesia didirikan sebagai negara demokrasi. Dalam perjalanannya, mulai dari gaya semi liberal di era parlementer di masa awal, lalu "demokrasi terpimpin" di era Presiden Soekarno dan "demokrasi Pancasila"era Presiden Soeharto, hingga "demokrasi eksperimental" di awal reformasi yang berlanjut ke demokrasi transaksional "wani piro" saat ini.

Selanjutnya akan seperti apa nasib demokrasi kita?

Kita tahu ada banyak corak demokrasi di dunia, tumbuh berkembang dari negara-negara di belahan barat hingga jauh ke timur termasuk Indonesia.

Muncul pertanyaan, seperti apa corak demokrasi yang paling cocok dengan watak dan kepribadian budaya asli orang Indonesia?

Kita punya sila ke-4 Pancasila "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan"

Para bapak pendiri bangsa sudah pasti bukan politisi sembarangan yang merumuskan itu secara sembarangan.

Demokrasi, dalam hal memilih pemimpin, sederhananya adalah rakyat memilih pemimpin yang paling layak dipercaya memimpin.

Di level paling orisinal dan fundamental tata kelola masyarakat di Indonesia, dalam hal memilih pemimpin adalah memilih Ketua Rukun Tetangga alias Ketua RT.

Rukun Tetangga di Indonesia berawal dari sistem Tonarigumi yang secara harfiah berarti "kerukunan tetangga". Sistem ini diperkenalkan oleh Kekaisaran Jepang dan diterapkan di Indonesia di masa pendudukan Jepang.

Dalam demokrasi ketimuran ini, sepanjang yang kita alami, para warga memilih Ketua RT dalam nuansa demokratis yang penuh keakraban dan kekeluargaan. Semangatnya adalah musyawarah, kebersamaan, persaudaraan, kerukunan dan semangat gotong royong. Ini adalah orisinalitas budaya demokrasi dengan kearifan lokal ala RT (Rukun Tetangga).

Bukankah demokrasi ala RT dg kearifan lokal ini bisa kita sodorkan untuk diadopsi menjadi cikal bakal praktik demokrasi kita di level nasional?

Harus ada yang berani memulai dan menyodorkan alternatif ini. Memilih Wali Kota, Bupati hingga Gubernur dengan azas "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan" - Bagaimana jika warga diwakili suaranya oleh para Ketua RT untuk memilih Wali Kota, Bupati dan Gubernur?

Dengan "hikmat kebijaksanaan" warga bersama Ketua RT bermusyawarah untuk menentukan akan memilih calon Wali Kota, calon Bupati dan calon Gubernur mana yang dinilai paling layak dipercaya.

Percakapan dalam musyawarah RT itu tentu akan meningkatkan daya rasional warga dalam memilih pemimpin, sekaligus saling berbagi sudut pandang dan wawasan. Bagian dari mencerdaskan kehidupan bangsa.

Dengan Pilkada yang dipilih oleh para Ketua RT ini, tentunya akan lebih hemat anggaran, lebih efisien dan aneka lebih baik lainnya.

Bahkan untuk pemilihan Wali Kota mungkin sudah bisa mulai digunakan cara e-voting.

Jika model demokrasi ala RT ini bisa dijalankan, kedepan bisa disodorkan untuk pilpres di pemilu yang akan datang. Kalau pilpres di Amerika Serikat menggunakan sistem "Electoral College" dalam pemilihan Presiden AS, kita di Indonesia bisa mempraktikkan "Rukun Tetangga College" dalam pemilihan Presiden RI kedepan.

Bagaimana halnya dengan pemilihan Kepala Desa? Sepatutnya dipilih oleh para Ketua RT juga, oleh Badan Musyawarah Ketua RT, bisa dengan cara voting bisa melalui musyawarah. Kita hidupkan kembali kultur warga desa yang umumnya guyub gotong royong. Badan Musyawarah RT juga bisa memiliki hak untuk memakzulkan Kepala Desa yang dinilai sudah tidak bisa dipercaya, dan memilih penggantinya.

Kira-kira apakah partai-partai politik akan tertarik mengadopsi gagasan ini?

Itu harus ditanyakan ke para elit partai politik, termasuk ke teman-teman saya, Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto dan Ketum PKB Muhaimin Iskandar yang meradang gusar menghadapi pelaksanaan Pilkada serentak 2024.

Berandai-andai, seandainya partai-partai politik tertarik memasak gagasan ini, apakah masih cukup waktu karena pelaksanaan Pilkada serentak sudah di depan mata?

Jawabannya adalah kenyataan. Aturan main Pilpres saja bisa direvisi ketika proses Pilpres sedang berlangsung. Selain itu, sejumlah UU maupun revisi UU terbukti bisa dikebut ketok palu oleh DPR. Dunia politik memang dunia serba kemungkinan.

Barangkali ada pemikiran yang lebih baik dan pemikiran yang lebih cermat terhadap gagasan ini?

Mari bergesek untuk mencapai keselarasan dan harmoni, dalam demokrasi yang lebih bernyawa Pancasila.

Dr. Priyo Budi Santoso.
Wakil Ketum ICMI Pusat
Wakil Ketua DPR RI (2009-2014)

Simak juga 'Rancangan Jadwal Pilkada Serentak: Pencoblosan Digelar 27 November':

[Gambas:Video 20detik]



(dnu/dnu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads