Pemilu Presiden 2024 sudah melewati masa kritis pencoblosan di bilik suara. Jutaan rakyat Indonesia memberikan hak suaranya untuk memilih pemimpin lima tahun mendatang. Hasil perhitungan yang melibatkan penyelenggara pemilu dan stakeholders pemilu masih terus berjalan secara berjenjang. Tetapi berdasarkan hasil quick count lembaga survei, Prabowo-Gibran dinyatakan sebagai pemenang. Tidak tanggung-tanggung, hasil suara pasangan nomor urut 02 mencapai angka tinggi di atas 50 persen. Jika sesuai antara quick count dengan perhitungan riil KPU, maka pemilu presiden akan berlangsung satu putaran.
Meski hasil quick count mendapatkan kritikan tajam dari kompetitor politiknya, tetapi hasil statistik dapat menjadi gambaran pertarungan politik selama ini. Bagaimana tidak, persaingan cenderung keras ketiga paslon terjadi dalam masa kampanye. Setiap kontestan beradu gagasan dan "melemparkan" janji politik sebagai bagian dari komunikasi politik. Mereka berusaha menyampaikan pesan terbaik dalam merebut suara dan hati pemilih. Jika akhirnya rakyat percaya kepada pasangan gemoy, itulah realitas dari komunikasi politik yang berjalan. Faktanya, narasi makan siang dan susu gratis lebih menjual dibandingkan aksi "slepet" dan gerakan "sat set"
Di luar itu semua, ada fenomena menarik terkait praktik perilaku pemilih muda sebagai dampak komunikasi politik dari pasangan calon presiden dan wakil presiden. Kita sama mengetahui bagaimana pemilih muda "menguasai" panggung Pemilu 2024. Berdasarkan data resmi Komisi Pemilihan Umum, Daftar Pemilih Tetap (DPT) mencapai 204.807.222 pemilih. Sebanyak 66.822.389 (33,60%) pemilih berasal dari kalangan generasi milenial yang lahir dalam rentang 1980 hingga 1994. Sedangkan pemilih dari generasi Z yang lahir mulai 1995 hingga 2000-an mencapai 46.800.161 pemilih (22,85%). Gabungan kedua kelompok pemilih muda ini mencapai lebih dari 113 juta pemilih (56,45%)
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Suara Pemilih Muda
Berdasarkan hasil exit poll Litbang Kompas mengenai Perolehan Suara Paslon Presiden-Wakil Presiden Berdasarkan Aspek Demografis tergambar bagaimana pemilih muda memberikan suaranya. Pemilih generasi Z mayoritas memberikan suaranya kepada pasangan Prabowo dan Gibran (65,9%), Anies-Muhaimin (16,7%) dan Ganjar-Mahfud (9,6%). Sementara kalangan milenial muda menaruh harapan kepada Prabowo-Gibran untuk memimpin Indonesia lima tahun ke depan dengan persentase 59,6% dilanjutkan Anies-Muhaimin (20,2%) dan Ganjar-Mahfud (11,7%). Dukungan kepada Prabowo-Gibran juga diberikan generasi milenial madya sebanyak 54,1%, Anies-Muhaimin (22,3%) dan Ganjar-Mahfud (13,9%).
Tingginya angka keterpilihan Prabowo menjelaskan beberapa hal. Pertama, pudarnya citra generasi muda yang sebelumnya dikenal apatis dalam berpolitik. Antusiasme justru hadir dari kalangan pemilih muda yang aktif menggunakan hak pilihnya saat 14 Februari 2024. Apolitik anak muda selama ini menjadi "hantu" dalam gelaran pesta demokrasi. Kecenderungan yang dimunculkan di publik, anak muda seolah dianggap beban secara partisipasi politik. Mereka dinilai cenderung menjauh dari politik yang distigma kotor dan terjebak dalam pusaran fenomena sosial lain di luar jalur politik praktis.
Tetapi tingginya dukungan kepada Prabowo-Gibran menjadi sebuah pencerahan bagaimana tingkat partisipasi politik anak muda. Mereka sukses memutarbalikkan "tudingan apolitik" dan sibuk menyalurkan hak pilihnya kepada pemimpin Indonesia lima tahun mendatang. Karakter dinamis, adaptif, dan responsif justru menjadi karakter pemilih muda dalam merespons perubahan lanskap politik Indonesia ke depan.
Faktor penetrasi internet dan peningkatan penggunaan media sosial sukses mempengaruhi perubahan perilaku anak muda dalam berpolitik (CSIS, 2023). Besarnya pengaruh internet dan media sosial mampu dikelola dengan kreatif, unik, dan baik oleh pasangan nomor urut 02 sehingga mampu memikat pemilih muda. Keberhasilan ini tentu tidak terlepaskan dari kerja keras tim Prabowo-Gibran khususnya penggalangan pemilih muda melalui Tim Kampanye Nasional Pemilih Muda (TKN Fanta)
Kedua, munculnya sentimen positif atas kehadiran Gibran sebagai anak muda yang mendampingi Prabowo. Perpaduan generasi tua dan muda menjadi simbol kolaborasi membangun masa depan Indonesia. Dibandingkan kontestan lain, Prabowo-Gibran merupakan simbol perpaduan antargenerasi yang memunculkan kesan pentingnya pengalaman generasi tua (baby boomers) dan kreatifitas anak muda (generasi milenial dan zilenial).
Selama ini terpinggirkannya anak muda dalam ranah politik membuat mereka kurang mendapatkan tempat dalam pertarungan politik elit di Indonesia. Masuknya Gibran sebagai pendamping Prabowo mampu memecah kebuntuan dan menghapus kesenjangan usia dalam kontestasi perpolitikan nasional. Kolaborasi ini diharapkan mampu memicu semangat anak muda untuk tertarik berkiprah di politik dengan bimbingan generasi di atasnya.
Ketiga, viralisme dan konten ringan sebagai kunci pendekatan kepada pemilih muda. Kedekatan kepada media digital membuat pemilih muda terlihat moody atau memiliki perilaku memilih yang mudah berubah. Mereka juga terlihat suka konten politik yang ringan dan viral. Kedua perspektif ini dipengaruhi banjir informasi yang masuk ke dalam keseharian melalui gadget yang dimilikinya.
Mengembangkan Gimik
Anies sempat berusaha menggaet pemilih muda dengan "menembus" komunitas K-pop. Tetapi kondisi itu agaknya belum mampu menyasar pemilih muda secara keseluruhan. Strategi komunikasi politik yang dipakai hanya menyentuh satu segmentasi dibandingkan keseluruhan pemilih muda. Pasangan Ganjar-Mahfud juga mencoba menarik simpati pemilih muda dengan konsep pagelaran musik dan konten substantif. Gagasan yang disiapkan cenderung serius dan menghindari gimik sebagaimana diakui Jubir TKN, Chicho Hakim. Hasilnya mudah ditebak, suara Ganjar-Mahfud menempati posisi terakhir.
Sebaliknya Prabowo-Gibran justru menyibukkan diri dengan memadukan teknologi dan konten ringan media sosial. Keduanya mengembangkan gimik "gemoy" yang justru disukai dan menjadi tren di kalangan anak muda. Joget gemoy dan iklan videotron Prabowo-Gibran menjadi viral dan ikut mempengaruhi arus deras suara pemilih muda. Kondisi ini didukung konten media sosial yang lebih soft dengan menyasar anak muda sebagai insan kreatif.
Para kompetitor Prabowo-Gibran sepertinya lupa warning pakar dari Fisipol UGM, Dr Mada Sukmajati bahwa kaum muda tidak menyukai konten kampanye dengan materi berat dan mendalam. Kesukaan mereka cenderung dengan konten politik yang ringan sehingga memiliki cara yang berbeda memahami profil dari para kandidatnya. (ugm.ac.id, 2023)
Memikat suara pemilih muda, kita disadarkan bagaimana pentingnya perpaduan sentuhan komunikasi, politik, dan psikologis. Media sosial, viralisme, gimik politik adalah kunci memenangkan komunikasi dalam merayu suara pemilih muda. Politik gagasan itu bagus, tapi kemampuan mengemas gagasan dengan konten ringan adalah sebuah kebutuhan berpolitik era sekarang.
Tak ketinggalan, bagaimana pentingnya sentuhan psikologis dengan menciptakan kolaborasi antargenerasi sehingga generasi muda merasa diajak ikut dalam memajukan bangsa melalui jalur politik. Terlepas dari itu semua, kita masih terus menunggu hasil akhir Pemilu 2024 secara resmi dari KPU. Apapun hasilnya para politisi perlu memikirkan ulang bagaimana ke depan mampu lebih kreatif, dinamis, adaptif, dan responsif terhadap fenomena pemilih muda dalam kontestasi politik ke depan.
Inggar Saputra peneliti Perkumpulan Rumah Produktif Indonesia, lulusan S2 Ketahanan Nasional UI, dosen di beberapa perguruan tinggi