Setelah Perjanjian Paris Tentang Perubahan Iklim (UN-FCCC) ditandatangani pada 2015 dan diratifikasi oleh pemerintah Indonesia melalui UU No. 16 Tahun 2016 tentang Persetujuan Paris Atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Perubahan Iklim), persoalan perubahan iklim menjadi topik bahasan di setiap kebijakan pemerintah di dunia. Maka berkembanglah industri hijau di berbagai sektor. Misalnya sektor utilitas (termasuk energi dan bahan bakar), transportasi, dan industri.
Dalam pembahasan kali ini saya hanya akan membahas euforia kendaraan Electric Vehicles (EV) dan Hydrogen di kalangan pemerintahan dan publik. Perbedaannya tipis untuk kedua jenis kendaraan tersebut. Kendaraan hidrogen adalah kendaraan yang mempergunakan gas hidrogen sebagai bahan bakarnya, sementara kendaraan EV menggunakan listrik.
Pada prinsipnya kendaraan hidrogen menggunakan sebuah alat yang dinamakan fuel cell atau sel bahan bakar yang membutuhkan gas hidrogen dan oksigen untuk menghasilkan listrik setelah melalui sebuah proses reaksi kimia terlebih dahulu pada alat tersebut. Hasil dari reaksi kimia pada alat ini hanyalah uap air. Jadi bisa dibilang kendaraan hidrogen adalah kendaraan yang lebih ramah lingkungan disbanding dengan kendaraan EV.
Persoalan yang akan saya bahas di sini adalah masalah di perizinan dan peraturan, khususnya dari sisi keselamatan berkendara EV atau hidrogen. Sampai hari ini peraturan dan kebijakan untuk kendaraan EV belum lengkap, apalagi untuk kendaraan hidrogen. Seperti biasa, kebijakan pemerintah untuk menggunakan kendaraan yang ramah lingkungan (EV dan Hidrogen) hanya sebatas slogan. Peraturan uji merek untuk kedua jenis kendaraan yang katanya ramah lingkungan ini belum lengkap. Jadi pemilik kendaraan EV dan hidrogen sepenuhnya bertanggung jawab sendiri.
Untuk unsur keamanan dan keselamatan, kendaraan EV dan Hidrogen belum diatur secara lengkap oleh pemerintah, termasuk penanganan limbah baterai, uji tabrak kendaraan untuk memastikan apakah ada dampak lain selain penumpang terbentur lalu bagaimana dengan tegangan listrik yang tinggi di EV apakah dapat menjadi alat pembunuh tambahan? Begitu pula pada kendaraan hidrogen, mengingat tekanan di tabung hidrogen sangat tinggi sementara suhu di luar panas dengan kelembaban tinggi dikhawatirkan dapat membuat tangki gas hidrogen mudah meledak. Bagaimana merawatnya termasuk do and don't-nya.
Belum Jelas dan Lengkap
Dari sisi peraturan perundangan, kendaraan EV dan Hidrogen masih belum jelas dan lengkap. Jadi jika nanti terjadi masalah yang terkait dengan keselamatan, seperti dampak tenaga listrik bagi penumpang ketika terjadi kecelakaan, standar tangki hidrogen yang aman terhadap suhu dan kelembaban tidak mudah meledak, dan sebagainya yang sampai hari ini belum diatur. Hebatnya pemerintah maupun publik tidak peduli terhadap masalah keamanan kedua kendaraan rendah emisi ini. Yang penting membeli dan menggunakan demi mengurangi emisi gas rumah kaca serta bergaya.
Peraturan yang ada terkait dengan kendaraan EV dan Hidrogen, seperti Peraturan Presiden No. 79 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) untuk Transportasi Listrik. Perpres ini mengubah beberapa ketentuan dalam Perpres Nomor 55 Tahun 2019. Kendaraan Berbasis Listrik (KBL) adalah kendaraan yang digerakkan dengan motor listrik dan mendapatkan pasokan sumber daya tenaga listrik dari Baterai secara langsung di kendaraan maupun dari luar.
Kemudian ada juga Peraturan Menteri Perhubungan No. 39 Tahun 2023 tentang Konversi Sepeda Motor Dengan Penggerak Motor Bakar Menjadi Sepeda Motor Listrik Berbasis Baterai. Lalu ada Peraturan Menteri (PM) Perhubungan No. 44 Tahun 2020 tentang Pengujian Tipe Fisik serta PM Perhubungan No. 45 Tahun 2020 tentang Kendaraan Tertentu dengan Menggunakan Penggerak Motor Listrik. Intinya peraturan yang ada belum melindungi pengendara atau penumpang kendaraan EV dan Hidrogen.
Jepang sebagai salah satu macan otomotif dunia percaya bahwa kendaraan berbasis hidrogen jauh lebih unggul dibandingkan dengan EV yang berbasis baterai seperti Lithium Iron Phospat (LFP) atau Nickel Manganese Cobalt (NMC). Dari sisi industri EV, Jepang kalah cepat dari China. Beberapa keunggulan dari kendaraan berbasis hidrogen tidak membutuhkan waktu lama untuk pengisian tangki bahan bakarnya. Toyota Corolla yang sedang diuji coba dengan menggunakan mesin tiga silinder, butuh waktu kurang dari dua menit untuk pengisian ulang. Selain itu hasil pembakaran yang dialirkan lewat knalpot hanya berupa air. Meskipun keduanya sama-sama menggunakan batere, namun berbeda sumber energinya.
Dari sisi volume, hidrogen cair pada temperature minus 253-derajat Celsius punya density sekitar 70 g/L, sementara dalam bentuk gas pada tekanan 10 ribu psi punya density sekitar 40 g/L. Artinya untuk satu liter tangki bahan bakar, hidrogen yang dapat tersimpan sebesar 70 g dalam bentuk cair setara dengan 40 g dalam bentuk gas bertekanan. Dengan kata lain, untuk tangki yang sama, hidrogen cair menyediakan 75% lebih banyak energi dibandingkan dalam bentuk gas bertekanan (Arcandra Tahar, Tantangan Penggunaan Hidrogen Cair untuk Kendaraan Bermotor).
Masih menurut Arcandra Tahar, "Dengan tekanan yang sangat tinggi ini, tangki untuk hidrogen dalam fasa gas dibuat lebih tebal, sehingga lebih berat dibandingkan dengan tangki hidrogen cair. Tapi jangan salah, dengan berbagai tambahan peralatan untuk mengelola hidrogen cair, mobil dengan hidrogen dalam fasa gas ternyata bisa lebih ringan," Dari sisi keamanan, hidrogen dalam fasa gas sama dengan EV masih menjadi bahan perdebatan karena tangkinya yang bertekanan sangat tinggi (10 ribu psi). Risiko tangki bisa meledak kalau terjadi kecelakaan harus dicarikan obatnya.. Sebagai pembanding, tekanan ban mobil hanya sekitar 35 psi.
Lalu bagaimana dengan jarak tempuh dari kendaraan EV dibanding dengan hidrogen? Untuk EV sudah kita tahu semua jarak tempuhnya meskipun terbatas, beberapa di antaranya bisa menempuh jarak ratusan km (di atas 500 Km) dan ketersediaan Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU) sudah mulai banyak tersedia, sementara kendaraan hidrogen? Saat ini rata-rata masih di bawah 100 km, sehingga harus segera mengisi ulang dan infrastruktur pengisian gas hidrogennya belum berkembang. Namun teknologi keduanya akan terus berkembang cepat, jadi tidak lama lagi pasti jarak tempuh dan infrastruktur keduanya akan bersaing dan tidak akan beda jauh.
Langkah Pemerintah
Segera siapkan regulasi, khususnya terkait keamanan dan keselamatan pengguna, dua jenis kendaraan energi bersih ini dengan lengkap dan implementasikan dengan tegas mengingat dampak bahayanya patut diduga lebih tinggi dari kendaraan berbahan bakar fosil. Setelah regulasi lengkap, pencanangan program edukasi yang baik dan benar oleh agen tunggal pemegang merek, Kementerian Perhubungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Investasi, Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian tanpa terkecuali.
Biarpun EV dan hidrogen ramah lingkungan tetapi peraturan pengolahan limbah baterai keduanya harus segera diatur dan dibangun sebelum kendaraan ini masif diperdagangkan (bukan dibuat) di bumi Indonesia dan limbah baterai jadi masalah besar.
Agus Pambagio pengamat kebijakan publik dan perlindungan konsumen
Simak juga 'Kunjungi Pabrik Baterai di Karawang, Jokowi: Terbesar di Asia Tenggara':
(mmu/mmu)