Mengevaluasi Hasil Food Estate

Kolom

Mengevaluasi Hasil Food Estate

Deo Peter Surbakti - detikNews
Selasa, 05 Mar 2024 14:30 WIB
Food Estate Humbahas
Foto: Kementan
Jakarta -
Perjalanan program food estate dimulai sejak 2020 ketika Presiden Jokowi menilai perlunya program pengentasan krisis pangan yang berlangsung saat pandemi. Program prioritas nasional ini kemudian digagas secara multisektoral melibatkan Kementerian PUPR, Kementerian KLH, Kementerian Desa dan Transmigrasi, Kementerian BUMN, Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian serta Kementerian Pertanian.

Rancangan umumnya diterbitkan pada 2021 bertajuk Pengembangan Kawasan Food Estate Berbasis Korporasi Petani.Terdapat lima provinsi yang menjadi area fokus dari program food estate saat ini yaitu Provinsi Sumatera Utara, Provinsi Sumatera Selatan, Provinsi Kalimantan Tengah, Provinsi Nusa Tenggara Timur, dan terakhir Provinsi Papua.

Program food estate yang telah direalisasikan pada 2023 ini bukanlah program peningkatan produksi pangan yang dilakukan oleh pemerintah pertama kali. Program serupa telah dijalankan sejak 1950-an, dan salah satunya adalah program yang dicetuskan oleh pemerintah era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan nama Merauke Integrated Food and Energy Estate yang dilaksanakan di Merauke dan Papua. Keberhasilan dari program itu sendiri dinilai cukup jauh dari harapan hingga akhirnya harus dihentikan. Oleh karenanya, program food estate saat ini diharapkan tidak mengulangi kesalahan yang sama.

Sesuai dengan nama program yang diusung, food estate masa kini merupakan improvisasi dari program terdahulu. Beberapa improvisasi yang dilakukan di antaranya pelibatan dan peremajaan petani menjadi sebuah badan usaha profesional, pemilihan komoditas yang lebih fleksibel, pengembangan dan penyediaan infrastruktur dari awal proses pembenihan hingga proses panen dan penerapan teknologi produksi tepat guna. Lantas, apakah program food estate benar-benar telah menjadi solusi atas krisis pangan di Indonesia?

Ukuran Keberhasilan

Setidaknya terdapat tiga ukuran utama yang telah ditetapkan pada rancangan umum program food estate sebagai ukuran keberhasilannya. Pertama, peningkatan produksi dan produktivitas tanaman yang dibudidayakan. Kedua, kelembagaan organisasi atau korporasi petani yang mandiri. Ketiga, pengembangan dan keberlanjutan dari program food estate itu sendiri. Tentunya, permasalahan utama yang harus diselesaikan oleh program food estate adalah krisis pangan di Indonesia.

Pada indikator keberhasilan yang pertama, komoditas tanaman pangan padi tentu menjadi tolak ukur utama dalam keberhasilan program ini. Hal ini dilandasi oleh tingkat konsumsi yang sangat tinggi akan komoditas ini, dan dua dari lima wilayah kerja food estate dikhususkan pada tanaman ini. Berdasarkan data sementara yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik, luas panen dan produksi di Kalimantan Tengah dan Sumatera Selatan sendiri masih terus mengalami penurunan dari 2021 hingga 2023.

Begitu pun pada tingkat nasional, data luas panen dan produksi nasional terus mengalami penurunan. Luas panen nasional pada 2021 mencapai angka 10.441.801 hektar, sedangkan pada 2023 hanya sebesar 10.196.886 hektar. Juga angka produksi pada 2021 sebesar 54.415.294 ton, pada 2023 Indonesia hanya mampu meraih 53.625.539 ton padi.

Berdasarkan hasil tersebut, program food estate dianggap belum ampuh mengentaskan krisis pangan di Indonesia. Hingga artikel ini ditulis, setidaknya harga beras masih ada pada level tertinggi, sejak akhir tahun lalu mengalami kenaikan dan belum memperlihatkan tanda-tanda penurunan yang signifikan. Selain itu, penurunan luas panen pada provinsi yang diikutkan dalam program food estate juga memperlihatkan bahwa peralihan lahan tanam pangan menjadi lahan fungsi lain lebih cepat dan progresif dibandingkan program food estate pemerintah.

Bergerak menuju indikator kedua terkait peremajaan petani yang mandiri dan berdikarya, sayangnya indikator ini juga belum dinilai terlalu memuaskan. Distribusi lahan dan kesesuaian jadwal petani dengan rancangan program pemerintah menjadi biang kerok dari permasalahan ini. Luas lahan yang digarap pada program food estate terlalu luas untuk digarap oleh kelompok petani yang berada pada areal food estate. Terlebih lagi para petani ini umumnya juga sudah memiliki lahan yang sedang mereka garap. Di sisi lain, pemerintah memiliki jadwal yang padat berkaitan dengan realisasi anggaran dan capaian kinerja.

Dampaknya, pemerintah akhirnya menggandeng beberapa perusahaan pertanian untuk terlibat dalam pembudidayaan pada lahan food estate untuk menghindari kekosongan lahan. Selain itu, kelompok petani juga belum terbiasa sepenuhnya dengan komoditas yang mereka tanam. Meski mendapatkan sarana dan prasarana yang lengkap, seringkali kondisi lapangan berbeda dengan pelatihan yang diajarkan. Sehingga tidak sedikit juga petani yang kesulitan dalam mengerjakan lahan yang telah diberikan. Hal ini tentu memperlihatkan beratnya perjuangan dalam membentuk petani yang mandiri tersebut.

Indikator ketiga, pengembangan dan keberlanjutan program food estate, jika merujuk pada dua ukuran keberhasilan sebelumnya, program food estate jelas belum memenuhi kualifikasi untuk dikembangkan dan masih memerlukan modifikasi dan inovasi di dalamnya. Terlebih lagi, program ini dinilai telah memberikan dampak lingkungan yang luar biasa melalui deforestasi untuk membuka lahan pertanian food estate. Oleh karenanya juga, program ini tentu tidak boleh berhenti begitu saja. Program ini setidaknya harus dilakukan dengan kompeten dua atau tiga tahun mendatang dan kemudian layak untuk memperoleh evaluasi akhir.

Melihat dari Sisi Petani

Sedari awal permasalahan utama krisis pangan di Indonesia adalah peningkatan konsumsi yang tidak diikuti oleh peningkatan produksi tanaman pangan. Kondisi memprihatinkan yang muncul adalah penurunan produksi tanaman pangan akibat komoditas ini dinilai tidak strategis. Hal inilah yang harusnya menjadi acuan dasar bagi pemerintah dalam mengentaskan krisis pangan, yaitu bagaimana caranya agar masyarakat melihat komoditas ini sebagai komoditas yang strategis, sehingga peningkatan luas tanam dan produksi dapat terjadi secara alami.
Contoh komoditas strategis yang saat ini mengalami pertumbuhan alami adalah kelapa sawit, di mana terdapat pasar yang jelas, industri dari hulu ke hilir yang mumpuni dan mampu bersaing secara internasional. Food estate adalah program artifisial pertanian yang sifatnya sangat bergantung pada pemerintah. Ketertarikan petani terhadap komoditas yang dituju tidak tumbuh secara alami. Untuk benar-benar menyukseskan program ini, sangat penting bagi pemerintah melihat dari sisi petani mulai dari nilai tambah produk, jadwal tanam, target pasar, ketersediaan industri, hingga metode pengelolaan.

Program ini sejatinya juga harus terus dikawal agar lahan yang ada saat ini tidak beralih fungsi atau beralih pengelola. Kesuksesan food estate adalah ketika petani dengan giatnya sendiri mau dan mampu menanam tanaman pangan tanpa adanya program dari pemerintah. Hal inilah yang sejak awal harus menjadi fokus dari pemerintah.

Deo Peter Surbakti statistisi ahli di Badan Pusat Statistik
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads