Keluar dari Kemelut Pajak Hiburan
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Keluar dari Kemelut Pajak Hiburan

Senin, 04 Mar 2024 15:30 WIB
Eduardo Edwin Ramda
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Harap-harap Cemas Pengusaha Hiburan soal Kenaikan Pajak
Foto ilustrasi: Grandyos Zafna
Jakarta -

Memasuki awal 2024, publik dihebohkan dengan kenaikan tarif Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) untuk Hiburan. Rencana-rencana ini tentu saja menuai protes dari pelaku usaha terkait, sebab kebijakan ini berdampak langsung pada harga paket. Muaranya, usaha tersebut menjadi sepi karena daya beli pengguna jasa semakin terbatas pasca adanya perubahan tarif pajak dan harga paket. Pada akhirnya, nasib mereka yang menggantungkan kehidupan pada pekerjaan jasa hiburan berada di ujung tanduk.

Fenomena ini menggambarkan adanya kondisi huru-hara yang terjadi di daerah pasca sahnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD) dua tahun silam. UU tersebut menetapkan sejumlah perubahan, baik pada aras nomenklatur hingga tarif.

Perubahan nomenklatur tentu saja tidak menjadi persoalan bagi pelaku usaha karena hal ini dapat diatasi melalui sosialisasi yang intens. Namun, perubahan tarif memicu resistensi bagi pelaku usaha. Tarif Pajak Hiburan mengalami perubahan pada aras nomenklatur maupun tarif.

Pada era UU 28/2009, kita mengenal nomenklatur Pajak Hiburan yang berdiri sendiri bersama Pajak Hotel, Pajak Restoran, maupun Pajak Penerangan Jalan. Pasca UU HKPD ketok palu, pajak-pajak tersebut mengalami fusi nomenklatur menjadi PBJT. Kendati demikian, tarif PBJT pada masing-masing sektor berbeda sesuai dengan jenisnya.

Perubahan tarif signifikan terjadi; awalnya tarif pajak terkait hiburan dalam UU 28/2009 ditetapkan paling tinggi sebesar 35% dan paling tinggi 75% untuk hiburan berupa pagelaran busana, kontes kecantikan, diskotek, karaoke, kelab malam, permainan ketangkasan, panti pijat, dan mandi uap/spa. Penggunaan diksi paling tinggi membuka ruang bagi pemerintah daerah (pemda) untuk menetapkan tarif serendah mungkin, bahkan nol persen.

Masalah terjadi ketika UU 1/2022 disahkan; terjadi perubahan skema tarif secara drastis. Regulasi ini mengamanatkan tarif PBJT atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ditetapkan 40%-75%. Filosofi di balik peningkatan tarif ini adalah latar belakang pengguna jasa hiburan yang dianggap mampu secara finansial. Selain itu, penetapan tarif ini adalah bagian dari implementasi fungsi regulerend dengan melakukan pengendalian perilaku publik agar semakin membatasi konsumsi jasa hiburan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Fakta problematiknya, ada persoalan konteks kedaerahan yang luput dalam proses penetapan tarif pada masa lalu. Daerah seperti Badung (Bali) hingga destinasi wisata premium Labuhan Bajo hari ini bergantung pada aktivitas malam sebagaimana struktur ekonomi mereka yang didominasi sektor tersier. Selain itu, menjamurnya jasa karaoke keluarga di berbagai kota besar turut menciptakan gaya hidup baru bagi masyarakat. Dengan demikian, jasa hiburan tidak bisa dilhat dari konotasi yang kerap dicap negatif, namun banyak stakeholder yang bergantung pada usaha ini.

Tidak Bisa Balik Kanan

ADVERTISEMENT

Secara yuridis, pemerintah tidak bisa balik kanan dengan menciptakan regulasi khusus yang memperkenankan pemda menarik pajak dengan tarif di bawah 40%. Sebab, UU 1/2022 secara tegas telah memberi range tarif sehingga penetapan tarif di luar ketentuan tersebut adalah bentuk pelanggaran terhadap UU. Pasal 6 ayat (2) UU HKPD menyebutkan bahwa PBJT Hiburan dapat tidak dipungut, dalam hal pemerintah daerah menetapkan kebijakan untuk tidak memungut. Tentu saja, daerah seperti Badung tidak akan memiih langkah ini karena akan menimbulkan distorsi terhadap pendapatan asli daerah (PAD) mereka.

Masalah lainnya, PP 35/2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagai peraturan turunan tidak memberikan penjelasan lebih spesifik terkait PBJT Hiburan. Dampaknya, peraturan daerah bermunculan dan secara tegak lurus menerapkan tarif dengan angka yang bombastis. Gelombang resistensi pelaku usaha pada akhirnya tidak memberikan daya dorong perubahan substansi Perda PDRD. Konsekuensinya, tarif PBJT Hiburan membengkak dan berdampak langsung pada penyelenggaraan jasa hiburan tertentu.

Ada tiga opsi yang bisa ditempuh pemda untuk menyikapi perubahan tarif ini. Pertama, tetap mengikuti ketentuan UU HKPD dengan risiko menurunnya penerimaan daerah akibat berkurangnya pengguna jasa hiburan tertentu. Pilihan kedua adalah tidak memungut tarif PBJT Hiburan dengan konsekuensi hilangnya potensi PAD yang sudah tergerus akibat penurunan sejumlah tarif pajak dalam rezim HKPD. Terakhir, pemerintah bisa memberlakukan klausul insentif pajak untuk PBJT Hiburan tertentu.

Wacana pemerintah untuk memberikan insentif pajak PPh Badan untuk jenis usaha ini tidak sepenuhnya menjawab persoalan yang terjadi. Sebab, PPh adalah tanggungan badan usaha, bukan konsumen, sehingga tidak berdampak apapun terhadap harga paket hiburan. Wacana lainnya ihwal rencana penerbitan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan kepada seluruh kepala daerah perlu dirancang dengan matang dan detail secara teknis. Sebab, ada kecenderungan peraturan turunan dari pusat tampak copy paste dengan UU tanpa membuka ruang penjabaran yang konkret.

Alih-alih memaksakan penurunan tarif, pemerintah pusat dapat membuka ruang pemberlakuan insentif pajak kepada pelaku usaha jasa Hiburan. Insentif yang diberikan berupa diskon atas PBJT terutang sejumlah persentase tertentu sesuai dengan abillity to pay pelaku usaha. Hendaknya kebijakan yang lahir mampu membaca konteks dan isu kewilayahan sehingga tidak ada nuansa pukul rata. Penegakan fungsi regulerend untuk membatasi masyarakat mengakses jasa hiburan tertentu jangan sampai mematikan pelaku usaha dan daerah yang bergantung pada sektor pariwisata.

Gagal Mengkomunikasikan Kebijakan

Resistensi pelaku usaha bidang hiburan menandakan bahwa proses perumusan kebijakan ini tidak deliberatif. Bagaimana mungkin, pelaku usaha hiburan tertentu bersuara kritis di ruang publik atas kebijakan yang sudah diketuk palu dua tahun lalu. Kemungkinan yang terjadi hanya tiga, mereka tidak menyadari ada perubahan tarif dalam UU HKPD, tidak dilibatkan dalam diskusi terkait tarif, atau baru benar-benar merasa terdampak pasca berlakunya Perda Pajak dan Retribusi Daerah. Apapun alasannya, pemerintah sebagai eksekutor UU gagal mengkomunikasikan kebijakan ini secara tuntas kepada pelaku usaha sedari regulasi ini sah.

Masa transisi selama dua tahun tidak memberikan perubahan kebatinan dalam hal pemahaman ihwal kebijakan fiskal daerah. Kritik ihwal UU HKPD yang tidak membawa perubahan fundamental dan futuristik akhirnya terbukti, dimana perkembangan layanan kepariwisataan tidak terakomodir dalam UU tersebut. Regulator hanya tertarik pada utak-atik tarif dan simulasi numerik daripada menyentuh persoalan-persoalan dinamis.

Huru hara implementasi PBJT Hiburan lagi-lagi mengingatkan kita untuk memastikan perumusan kebijakan yang benar-benar menjunjung spirit evidence based-policy. Kontroversi yang terjadi pada akhirnya menimbulkan ketidakpastian dan memperkeruh ekosistem investasi daerah. Jelas, hal ini bertentangan dengan spirit penyehatan iklim investasi yang selama ini digaungkan pemerintah. Fokus meningkatkan PAD semestinya tidak mengejar aspek budgetair dan menegakkan prinsip regulerend secara menyeluruh. Diversitas kewilayahan perlu disikapi dengan kebijakan yang asimetris dan adaptif terhadap perubahan zaman.

(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads