Selama masa-masa menjelang Pemilu 2024, muncul berbagai narasi, sinyalemen, tuduhan, framing dan entah apa lagi istilahnya mengenai kemerosotan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Hal itu dikaitkan dengan adanya berbagai fenomena yang dianggap merupakan pelanggaran etika, moral, hukum, kepantasan, nepotisme, politik dinasti, kecurangan, ketidaknetralan pejabat publik, penggunaan infrastruktur kekuasaan, dan berbagai istilah yang menggambarkan seolah pemerintahan sekarang tidak ada baiknya sama sekali.
Kritik-kritik pedas tersebut sempat membangkitkan kesan bahwa para elite pemerintahan negara sekarang ini tidak memiliki moral atau mereka sebut dengan istilah pemerintahan nir-etika (pemerintahan yang tak punya etika).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Jika kritik semacam ini dilontarkan pada situasi yang biasa (common situation) maka orang akan cenderung bisa berpikir jernih untuk selanjutnya mencari jalan keluar terbaik demi mencapai kebaikan dan kemajuan bersama. Namun demikian ketika kritik semacam ini dimunculkan dan diamplifikasi pada saat kritis pasca-pemilu ketika terjadi persaingan dan kontestasi di antara kekuatan politik yang ada, maka kritik ini akan berubah menjadi alat untuk memukul dan mematikan lawan politik.
Logika untuk mencari jalan keluar demi kebaikan bersama tidak lagi atau sulit menjadi konsiderasi bersama. Disadari atau tidak, ini merupakan lonceng bahaya, bukan tanda kebahagiaan dan kegembiraan. Jika hal ini tidak segera disadari bahwa kita harus menjunjung tinggi kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi dan golongan, maka kritik, hujatan, tuduhan, ancaman, dan sebagainya itu itu bisa menjurus pada kecenderungan untuk memakzulkan presiden saat ini dan deligitimasi terhadap proses dan hasil Pemilu 2024 yang akan datang.
Jika hal ini terjadi maka bahaya konflik dan chaos serta disintegrasi bangsa ada di depan mata. Jika hal itu terjadi, lagi-lagi discontinuity terhadap kemajuan bangsa tentu akan terjadi. Ini merefleksikan banyak orang yang sudah kalap, kepentingan masa depan bangsa dan negara dipertaruhkan.
Padahal sesungguhnya masalah moral semacam itu sudah lama kita alami bersama-sama, bukan mendadak sontak terjadi di seputar Pemilu 2024.
Tata Moral
Semua wacana yang berkembang itu bermuara pada tuduhan bahwa seolah bangsa dan negara ini tidak lagi punya landasan kultural sebagai sumber moral dan etika serta sekaligus sumber norma & hukum.
Lepas dari benar atau tidaknya wacana tersebut, adanya deficit etika budaya atau tidak, maka ada baiknya dipikirkan bagaimana cara agar bangsa kita tidak mengalami deficit moral yang menyebabkan semakin mudahnya terjadi pelanggaran etika, norma dan hukum serta berbagai persoalan bangsa yang menjadi ikutannya.
Dalam konteks ini, Indonesia perlu menseting dan merevitaisasi tata moral yang sekiranya dapat dijadikan sebagai rujukan dan landansan bagi kehidupan bersama sebagai bangsa. Ini untuk menghindari agar tidak terjadi ambigu dalam menafsirkan nukai-nilai moral dalam masyarakat.
Diperlukan penegasan-penegasan standar dan tata moral serta perilaku yang jelas dan tegas mengenai: baik-buruk, keadilan, kejujuran, tanggung jawab, kerja-keras, budaya malu, dll. yang bisa diterima umum sebagai sikap, etika, dan kewajiban moral. Dalam kehidupan berbangsa tata moral tidak bisa diremehkan.
Dalam hal ini moral merupakan seperangkat prinsip dan nilai-nilai yang mengatur perilaku individu dan masyarakat dalam interaksi mereka satu sama lain sebagai komunitas bangsa. Dalam konteks kehidupan berbangsa, tata moral memiliki beberapa peran penting: pertama, memelihara tertib sosial.
Nilai-nilai moral seperti kejujuran, keadilan, dan saling menghormati membantu memelihara ketertiban sosial dan mengurangi konflik antarindividu serta kelompok-kelompok dalam masyarakat. Kedua, penguatan identitas kebangsaan.
Nilai-nilai moral yang dipelihara dan dipraktikkan secara kolektif dapat mengukuhkan rasa persatuan dan kebanggaan nasional. Ketiga, pembentukan karakter kebangsaan. Tata moral memiliki peran signifikan dalam membentuk karakter individu dan pada gilirannya juga karakter masyarakat serta memberikan landasan bagi praktik etika dalam kehidupan sehari-hari.
Pembentukan karakter yang baik, seperti integritas, tanggung jawab, dan altruisme, membantu membangun masyarakat yang lebih baik dan berkeadilan. Keempat, pengaturan kehidupan politik dan hukum. Tata moral juga punya peran penting dalam menciptakan sistem politik dan hukum yang berkeadaban.
Pada satu titik, nilai-nilai moral sering kali tercermin dalam konstitusi, undang-undang, dan kebijakan publik, yang mengatur perilaku pemerintah dan warga negara untuk mencapai keadilan dan kesejahteraan bersama. Dengan demikian tanpa standar tata moral maka kehidupan individu dan komunitas bangsa akan mengalami centang-perenang.
Menggagas Civilization-state dan Tata Moral Kebangsaan
Apa kaitan antara tata moral kebangsaan dengan konsep civilization state (negara peradaban)? Civilization state merupakan konsep negara yang mengidentifikasi dirinya bukan hanya sebagai entitas geopolitik, tetapi juga entitas peradaban (atau setidaknya bercita-cita menjadi entitas peradaban) dan menjaganya serta mewariskannya secara terus-menerus.
Konsep "civilization state" menekankan bahwa kekayaan budaya, sejarah, dan peradaban suatu negara merupakan aset yang sangat penting dan harus dijaga dengan baik. Negara peradaban menekankan identitas budaya dalam politik baik domestik maupun internasional, serta menggunakan basis budaya untuk memperkuat eksistensi negara.
Di dalam negara peradaban inilah moral kebangsaan yang bersumber dari budaya bangsa menjadi faktor substantif dalam kehidupan bersama sebagai sebuah bangsa. Hal ini bisa terjadi karena tata moral merupakan salah satu aspek yang sangat penting dari budaya.
Moral mencakup seperangkat prinsip dan nilai-nilai yang mengatur perilaku individu dan interaksi sosial berdasarkan pada konsep apa yang benar dan salah, baik dan buruk, kejujuran, keadilan, kesetiaan, empati, kebersamaan, dan sebagainya. Budaya, di sisi lain, mencakup seperangkat nilai, norma, keyakinan, tradisi, dan praktik yang diwariskan dari generasi ke generasi dalam suatu masyarakat.
Pancasila dan Evolusi dari Nation State menuju Civilization State
Dalam sejarah Indonesia modern, Pancasila telah diakui baik secara yuridis maupun secara kultural sebagai sumber nilai-nilai moral dan sumber hukum bagi kehidupan bangsa dan negara Indonesia. Diakui oleh Bung Karno sendiri bahwa Pancasila digali dari budaya Indonesia. Demikian juga sebaliknya Pancasila merupakan elemen penting dalam proses konstruksi kebudayaan Indonesia guna memperkuat Indonesia sebagai nation-state dalam rangka menuju civilization-state.
Keberadaan nation state terbukti lebih kuat dan sustainable jika ada landasan budayanya yang kuat. Tanpa basis kebudayaan yang kuat maka sebuah nation-state akan rapuh dan terancam sustainability-nya.
Sejarah umat manusia memberi pelajaran bahwa negara yang dibangun sebagai civilization-state jauh lebih kuat dan sustainable, contohnya natara lain: RRC dan Jepang. Di kedua negara ini basis kebudayaan telah tertanam mendalam dalam praktik politik dan bidang kehidupan yang luas. Dalam konteks ini Indonesia sebagai nation-state bisa dikontruksi menjadi civilization state jika landasan kebudayaannya diperkuat. Meskipun hal ini memerlukan proses namun proses itu tak akan berlangsung kalau tidak dimulai.
Seperti diketahui bahwa pada mulanya pusat-pusat politik yang berkembang di Nusantara bersifat ethno-state atau negara etnik seperti kerajaan Sriwijaya yang berbasis etnik Melayu, Mataram dan Majapahit yang berbasis etnik Jawa, kerajaan Aceh yang berbasis etnik Aceh, Kerajaan Goa yang berbasis etnik Makassar, dll. Kelompok etnik adalah grouping-people concept yang lebih alamiah, yaitu berbasis hubungan darah.
Dalam sejarah Indonesia, kerajaan-kerajaan yang berbasis etnik ketika berkembang menjadi kekuatan politik yang besar kemudian melakukan ekspansi ke kelompok etnik yang lain seperti yang dilakukan oleh Majapahit, Sriwijaya, Aceh, dsb. Ekspansi yang dilakukan oleh negara-negara etnik ini selanjutnya menyebabkan lahirnya multi-ethnic state. Majapahit adalah contoh yang nyata dari multi-ethnic state dalam sejarah Indonesia.
Multi-ethnic state merupakan negara yang terdiri dari keragaman etnik tanpa kohesi internal yang kuat. Oleh karena itu, chauvinisme etnis yang mengarah pada Gerakan separatisme dan pemberontakan yang melemahkan kekuatan, persatuan dan integrasi negara selalu menjadi ancaman yang laten. Keragaman etnis menyebabkan risiko meletusnya perang dan perselisihan antaretnik. Itu yang terjadi pada zaman Majapahit.
Konfigurasi nation-state Indonesia modern sekarang ini sesungguhnya mirip dengan zaman Majapahit. Hanya bedanya terletak pada cita-cita bersama sebagai ikatan bersama di antara anak bangsa yang terdiri dari berbagai kelompok etnik yang ada di Indonesia yang mungkin belum dijumpai pada masa kerajaan Majapahit.
Tanpa ikatan bersama untuk meraih masa depan yang gemilang (merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur) sebagaimana termaktub dalam konstitusi maka nation-state Indonesia akan rapuh. Jika ikatan itu hilang, atau tidak segera dicapai, atau tidak tercapai maka akan dengan mudah Indonesia berubah dari nation-state menjadi multi-ethnic state dan selanjutnya bisa terjerumus ke dalam ethnic-state.
Jika melihat kekuatan kolonialisme Belanda, akhirnya kekuatan itu menghancurkan sisa-sisa multi-ethnic state dan ethnic state yang ada di kepulauan Indonesia. Mereka semua ditempatkan sebagai jajahan dan subordinasi pemerintah colonial Belanda. Di tengah-tengah penjajahan ini lahirlah kesadaran untuk bersatu guna mengusir penjajah dan mendirikan negara-bangsa baru yaitu Indonesia yang terdiri dari warga negara yang multi-ethnic. Jadi lahirnya negara-bangsa Indonesia bukan karena persamaan tetapi justru kesadaran atas perbedaan untuk membangun kebersamaan meraih cita-cita bersama.
Indonesia pada mulanya dicita-citakan sebagai negara-bangsa (nation-state) yang lahir dalam suasana kolonialisme. Di sini kita melihat bagaimana konsep negara-bangsa merupakan rekayasa, non-natural.
Ini sesuai dengan pendapat Benedict Anderson yang menyatakan bahwa bahwa merupakan "imagined community." Terlepas dari perbedaan mereka, mereka membayangkan menjadi bagian dari kolektivitas yang sama, dan mereka lalu mengaitkan dengan sejarah, sifat, kepercayaan, dan sikap yang sama. Dalam hal ini Kolonialisme Belanda merupakan penyebab langsung lahirnya negara-bangsa Indonesia.
Mereka ingin bersatu menjadi satu bangsa untuk mengusir penjajah dan mendirikan satu negara-bangsa yaitu Indonesia. Proses pembentukan nation-state Indonesia ini sesuai yang dikonsepkan Ernest Renan bahwa bangsa merupakan "A group of people who believe themselves to be a nation". Jadi yang mengikat rasa kebangsaan bukanlah kesamaan keturunan, sejarah, budaya, dll. tetapi adalah cita-cita bersama. Dalam konteks Indonesia sebagaimana terlihat dalam UUD 1945: merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.
Civilization State sebagai Basis Nation State untuk Indonesia
Di samping kekuatan dan sustainability nation-state terletak pada orientasi masa depan, yaitu pewujudan cita-cita negara-bangsa sebagai termaktub dalam UUD 1945, kekuatan sebuah nation-state akan ditentukan oleh basis kebudayaan sebagai sebuah civilization state. Contohnya RRC dan Jepang yang merupakan civilization state yang sudah berumur ribuan tahun tetapi masih tetap eksis, sedangkan negara-negara etnik di Nusantara dan beberapa nation-state di dunia hanya berumur pendek. Tanpa basis "civilization state" maka nation state akan lemah dan selalu terancam dengan persoalan disintegrasi bangsa. Ini terjadi karena konsep negara-bangsa ini membayangkan tentang adanya bangsa yang homogen yang diatur oleh negara yang berdaulat. Ide ini hampir tidak pernah tercapai padahal Indonesia merupakan negara multi-etnik dan bahkan multi-ras, serta multi-kultural.
Negara-bangsa merupakan unit politik yang dikonstruksi secara social, bukan pemberian alam. Oleh karena itu pembentukan negara-bangsa yang awalnya bersifat rekayasa sosial-politik harus diperkuat dengan konstruksi dan rekayasa budaya. Dalam hal ini nation-state perlu didukung dengan konstruksi dan penguatan sebagai civilization-state. Jadi negara-bangsa Indonesia merupakan hasil rekayasa sosial politik, dan oleh sebab itu kebudayaannya pun seharusnya direkayasa.
Jika basis budaya (yang dalam hal ini sudah dikristalisasikan dalam Pancasila) dilupakan maka NKRI tak akan punya basis budaya yang kuat, dan tinggal menunggu kehancurannya.
Dalam hal ini basis civilization state yang berupa basis kebudayaan tidak hanya berorientasi pada sejarah sebagaimana yang telah terjadi pada civilization-states seperti Jepang dan RRC yang memiliki akar civilization yang sudah berusia ribuan tahun, tetapi juga pembangunan kebudayaan sebagai landasan untuk memperkuat kohesi kebangsaan dalam nation-state di masa depan.
Sebab awalnya mereka pun juga merupakan ethnic-nation yang berinvasi ke etnik lain, seperti kasus Kerajaan Majapahit. Pancasila sesungguhnya merupakan fondasi peradaban yang sangat penting untuk diwujudkan dalam konteks civilization state sebagai basis Indonesia sebagai nation-state. Jadi paling tidak harus ada upaya untuk sinergi antara civilization-state dan nation-state sehingga nation-state Indonesia punya basis kebudayaan. Jika hal ini bisa dilakukan maka masalah-masalah moral dalam perjalanan bangsa ini tidak akan menjadi persoalan yang laten. Semoga.
Prof Dr Singgih Tri Sulistiyono, M.Hum. Guru besar Universitas Diponegoro, pemerhati masalah integrasi bangsa dan Ketua Presidium Forum Guru Besar Indonesia.
(rdp/rdp)