Urgensi Larangan Perdagangan dan Konsumsi Hewan Ekstrem
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Urgensi Larangan Perdagangan dan Konsumsi Hewan Ekstrem

Jumat, 23 Feb 2024 13:30 WIB
MOH VICKY INDRA PRADICTA
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Animal rights activists attend a protest rally supporting the government-led dog meat banning bill  at the National Assembly in Seoul, South Korea, Tuesday, Jan. 9, 2024. South Koreas parliament on Tuesday passed a landmark ban on production and sales of dog meat, as public calls for a prohibition have grown sharply over concerns about animal rights and the countrys international image. (AP Photo/Ahn Young-joon)
Korea Selatan resmi melarang perdagangan dan konsumsi daging anjing (Foto: Ahn Young-joon/AP)
Jakarta - Miris. Satu kata yang patut disematkan setelah penggagalan pengiriman ratusan anjing dari Semarang ke Solo oleh Polrestabes Semarang. Sementara di sisi yang lain, Korea Selatan baru-baru ini mengesahkan Rancangan Undang-Undang Larangan Penjualan dan Konsumsi daging anjing. Sejumlah langkah strategis dibutuhkan untuk menghentikan praktik ini di Indonesia.

Aksi penggagalan pengiriman anjing berhasil dilakukan setelah pihak kepolisian mendapatkan informasi dari Animal Shelter Indonesia bahwa ada pengiriman anjing ke Solo pada Minggu, 6 Januari 2024. Polrestabes Semarang berhasil menyelamatkan sebanyak 226 ekor anjing yang dalam posisi diikat dengan tali rafia bahkan sebagian diikat dalam keadaan tergantung. Namun 12 anjing di antaranya meninggal dan tiga ekor kritis.

Anjing merupakan salah satu hewan ekstrem yang cukup gemar dikonsumsi di Indonesia. Selain anjing, kucing, tikus, biawak, dan kelelawar adalah contoh hewan ekstrem lainnya yang juga sering jadi pilihan. Bahkan di Indonesia terdapat pasar khusus untuk menjual bebas hewan-hewan ekstrem ini.

Pasar Tomohon di Manado, Sulawesi misalnya. Pasar yang telah berdiri sejak 1850-an dan beberapa kali pindah lokasi ini menjadi salah satu pasar yang memperdagangkan secara bebas berbagai macam daging dan olahan pangan hewan ekstrem antara lain ular, kucing, anjing, tikus, dan kelelawar.

Lalu, Solo juga menjadi sorotan dikarenakan adanya masyarakat yang secara terang-terangan membuka rumah makan "Rica Rica Gukguk" atau "Sate Jamu" dan sebagainya. Salah satu pengalaman rekan yang dibagikan ke saya bahwa sangat mudah dijumpai warung yang menjual pangan olahan daging ekstrem tersebut. Hal ini tentu menjadi mafhum ketika munculnya kasus pengiriman ratusan anjing ke Solo.

Dua contoh ini semakin mempertegas fakta bahwa praktik-praktik memperdagangkan dan mengonsumsi hewan-hewan ekstrem cukup masif di Indonesia. Tentu hal ini menjadi sebuah ironi saat kita melihat bahwa Indonesia memiliki jumlah muslim terbesar di dunia tetapi kita tidak memiliki payung hukum untuk setidaknya membatasinya.

Setidaknya ada dua faktor pendukung mengapa praktik mengonsumsi hewan ekstrem cukup 'langgeng' di Indonesia. Faktor utama yang sering menjadi alasan utama mengonsumsi daging hewan ekstrem adalah budaya atau tradisi. Di Solo, misalnya, terdapat sebuah kepercayaan bahwa daging anjing memiliki khasiat untuk menambah vitalitas dan kebugaran. Khasiat ini yang dijadikan sebuah 'jamu' bagi para konsumennya.

Lain halnya tradisi di Sumatera Utara. Sebagian masyarakat di sana memiliki kaitan dengan animisme Batak kuno. Sehingga biasanya menjadikan hidangan daging anjing didampingi dengan minuman tradisional Sumatera Utara, yaitu tuak.

Faktor yang kedua adalah ekonomi. Anjing, kucing, tikus, ular, dan kelelawar misalnya sangat mudah untuk didapatkan di mana saja dan dagingnya juga memiliki kemiripan dengan daging ayam atau daging sapi. Oleh karena itu hewan ekstrem tersebut menjadi opsi pilihan pada saat harga daging sapi atau ayam naik. Hanya saja perilaku seperti ini bukan tidak membawa adanya risiko. Memperdagangkan dan mengonsumsi hewan ekstrem tentu memiliki dampak terhadap kesehatan.

Semakin erat interaksi antara manusia dengan hewan, maka akan meningkatkan risiko spillover penyakit terutama zoonosis. Yakni, penyakit yang berasal dari hewan tetapi bisa menularkan ke manusia. Sebanyak 70 persen penyakit infeksius saat ini merupakan zoonosis. Contoh penyakit zoonosis yang telah menjadi pandemi adalah Covid-19. Berbagai sumber menyebutkan bahwa asal usul virus korona diduga berasal dari fresh market di Wuhan, China yang menjual bebas hewan-hewan ekstrem.

Hal inilah yang dirasa urgensinya terkait pelarangan perdagangan dan konsumsi hewan ekstrem. Selain faktor pertimbangan agama, kesehatan masyarakat dan kesejahteraan hewan juga patut dipertimbangkan untuk segera membatasi perilaku ini. Ada dua cara yang bisa segera dilakukan. Solusi yang pertama adalah sosialisasi ke masyarakat untuk meningkatkan awareness tentang dampak negatif bagi kesehatan akibat mengonsumsi daging hewan ekstrem ini.

Sosialisasi ini bisa jadi solusi jangka pendek. Karena jika sosialisasi ke masyarakat efektif, maka diharapkan permintaan terhadap daging hewan ekstrem tersebut menjadi berkurang. Apabila demand-nya berkurang, maka otomatis supply-nya juga berkurang. Inilah yang harus bisa segera diusahakan.

Sosialisa ini tentu harus melibatkan berbagai pihak. Salah satunya tentu dengan kepala suku, adat, atau budayawan. Hal tersebut mengingat bahwa budaya merupakan faktor utama dari masifnya perilaku ini beberapa daerah di Indonesia. Keterlibatan budaya tentu diharapkan dapat menyampaikan pesan tersebut agar dapat diterima di masyarakat.

Solusi jangka panjangnya adalah menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) pelarangan penjualan dan konsumsi hewan ekstrem. Persis meniru apa yang sudah dilakukan oleh pemerintah Korea Selatan. Dengan adanya RUU tersebut diharapkan pihak berwenang memiliki payung hukum untuk dapat menindak tegas apabila ada yang melanggar.

Sejatinya hal yang cukup mengherankan hingga saat ini kita tidak memiliki undang-undang untuk membatasi praktik tersebut di Indonesia. Yang kita miliki masih hanya sebatas surat imbauan secara tertulis untuk wilayah-wilayah tertentu mengenai pelarangan perdagangan hewan ekstrem secara komersial.

Pada akhirnya 'cerita' penggagalan penjualan anjing ke Solo dapat dijadikan sebuah momentum untuk memahami urgensinya terhadap dampak yang bisa ditimbulkan. Sosialisasi masyarakat dan penyusunan rancangan undang-undang diharapkan dapat menjadi solusi jangka pendek dan jangka panjang untuk menghilangkan praktik ini di Indonesia. Semoga!

Moh Vicky Indra Pradicta dokter hewan yang bekerja di food industry, pegiat One Health

(mmu/mmu)

Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads