Jawaban klasik atas pertanyaan, "Bagaimana mengatasi pengangguran di kalangan muda?" spontan terucap, "Segeralah berwirausaha." Begitu mudahnya jawaban itu tercetus, namun tidak dalam implementasi. Pendidikan kewirausahaan menjadi salah satu sarana untuk menciptakan wirausaha, namun kerap gamang juga untuk melahirkan wirausaha yang digadang-gadang itu.
Seorang narasumber acara forum pendidik kewirausahaan tampak terkesiap ketika ditanya hadirin mengenai persentase keberhasilan peserta didik ketika membangun usaha rintisan yang diajarkan di lembaganya. Namun dengan segudang pengalaman yang dimiliki sang pembicara lihai berkelit untuk enggan mengungkapkan angka yang sebenarnya. Kuat diduga angkanya tidak terlalu menggembirakan hingga ia enggan menjawab secara gamblang.
Di sebuah kampus yang mewajibkan mahasiswanya untuk memiliki bisnis rintisan sebelum lulus juga tidak berani menjamin bahwa alumninya akan terus melanjutkan usaha yang telah dibangun semasa kuliah. Diperoleh info bahwa tidak lebih dari separuh alumni yang terus berwirausaha. Namun diyakini angka itu masih terbilang bagus.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hasil pembelajaran berupa bisnis rintisan yang terbangun adalah capaian yang dianggap paling berhasil, disusul nilai akademik mahasiswa, intensi dan sikap, kontribusi untuk masyarakat atau transfer teknologi, inovasi, kepuasan alumni, kinerja bisnis dan kesadaran umum terhadap kewirausahaan (Mwasalwiba, 2010).
Tampaknya mayoritas program pendidikan kewirausahaan di Indonesia juga menjadikan sasaran lahirnya bisnis rintisan sebagai indikator keberhasilan. Walau ada juga yang sebatas ingin membangun intensi dan sikap dari para peserta didik terhadap kewirausahaan.
Hasil tinjauan terhadap 205 program kewirausahaan memperlihatkan tiga fokus utama yang dituju (Kirby, 2004). Pertama, program yang memberikan orientasi dan kesadaran mengenai kewirausahaan. Kedua, program yang mengembangkan kompetensi untuk membangun usaha baru, self-employment atau kemandirian ekonomi. Ketiga, program yang fokus pada kelangsungan hidup usaha kecil dan pertumbuhannya.
Tujuan
Menurut Mwasalwiba (2010) terdapat tiga hal utama terkait tujuan pendidikan kewirausahaan yang berhubungan erat dengan apa yang diajarkan. Pertama, mendidik untuk berwirausaha. Mendidik untuk berwirausaha artinya menciptakan wirausaha yaitu seorang individu yang ditakdirkan untuk memulai usaha baru. Tujuannya merangsang proses kewirausahaan dan memberikan mereka alat untuk memulai bisnis. Faktanya, ini adalah hasil yang paling diinginkan namun masih banyak diperdebatkan. Tidak sedikit yang mempertanyakan apakah kewirausahaan dapat diajarkan?
Kedua, mendidik mengenai kewirausahaan. Mempelajari mengenai kewirausahaan adalah memperoleh pemahaman umum tentang kewirausahaan sebagai sebuah fenomena. Tujuan ini mungkin juga mencakup kegiatan sosialisasi kepada berbagai pemangku kepentingan termasuk pembuat kebijakan, pemodal dan masyarakat umum tentang peran wirausaha di masyarakat.
Ketiga, mendidik melalui kewirausahaan. Mendidik melalui kewirausahaan dikatakan bertujuan untuk membentuk individu menjadi lebih inovatif di perusahaan atau tempat kerja mereka. Tujuan ini diarahkan agar individu mengambil lebih banyak tanggung jawab pembelajaran dan kehidupan karir.
Untuk mencapai ketiga tujuan tersebut, serangkaian metode pembelajaran diterapkan. Tiga metode yang paling sering diterapkan adalah kuliah klasikal, studi kasus dan diskusi kelompok. Ketiganya lebih bersifat pasif. Untuk melahirkan wirausaha yang sesungguhnya diterapkan metode lain yang mendorong peserta didik untuk lebih aktif seperti simulasi bisnis, role model atau pembicara tamu, penyusunan rencana bisnis dan proyek kerja.
Sementara untuk materi yang disampaikan adalah yang terkait dengan keuangan, pemasaran dan salesmanship, penciptaan ide dan pengenalan peluang, perencanaan bisnis, pengelolaan pertumbuhan, pembentukan organisasi dan tim, penciptaan usaha baru, manajemen usaha kecil, dan risiko. Materi-materi lain juga dapat ditambahkan seperti legalitas, manajemen inovasi dan teknologi, waralaba, bisnis keluarga, keterampilan negosiasi, keterampilan komunikasi dan pemecahan masalah.
Mendidik untuk berwirausaha tampaknya tidak dapat dipisahkan dengan mendidik mengenai kewirausahaan dan mendidik melalui kewirausahaan. Seorang yang dipersiapkan untuk berwirausaha semestinya memiliki pengetahuan yang memadai mengenai konsep kewirausahan. Dia pun semestinya belajar banyak dari usaha-usaha kewirausahaan yang telah berhasil.
Di awal, proses pendidikan mendorong peserta didik untuk memiliki intensi berwirausaha. Namun berbagai temuan penelitian memperlihatkan bahwa proses pendidikan tidak menjamin akan membangun intensi tersebut. Tampaknya metode pembelajaran harus menjadi perhatian utama untuk setiap tujuan yang ingin dicapai.
Begitu ideal tujuan yang ingin diraih dari pendidikan kewirausahaan, namun tantangan yang dihadapi sungguh tidak mudah. Memadukan antara konsep dengan praktik memerlukan pendekatan yang khusus. Tidak ada satu pun metode yang paling ideal dan dapat diterapkan di segala situasi. Menimbang kembali tujuan yang ingin dicapai adalah langkah awal yang paling bijak agar proses pembelajaran yang dijalan tidak sia-sia.
Frangky Selamat dosen Prodi Sarjana Manajemen FEB Universitas Tarumanagara