Belakangan ini masyarakat dihebohkan dengan pemberitaan mengenai layanan pinjaman yang diberikan oleh salah satu perusahaan Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (LPBBTI), atau lebih sering dikenal dengan pinjaman online (pinjol), untuk pembayaran Uang Kuliah Tunggal (UKT) salah satu Perguruan Tinggi (PT) terkemuka di Indonesia. Banyak pihak yang menyayangkan atas keputusan pihak PT yang bekerja sama dengan perusahaan LPBBTI tersebut.
Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset dan Teknologi Kemendikbudristek Nizam menyatakan, PTN seharusnya menyediakan pendidikan yang berkualitas dan inklusif, serta mengupayakan solusi skema pendanaan yang baik, aman, dan tidak menambah masalah ekonomi mahasiswa, serta untuk melindungi mahasiswa dari jeratan utang. Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda mengkritik penerapan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 58 Tahun 2013 yang salah kaprah sehingga mengarah kepada komersialisasi pendidikan. Protes paling keras tentu datang dari mahasiswa PTN itu sendiri sebagai pihak yang terdampak langsung atas kebijakan yang diterapkan oleh pihak Kampus.
Sesuai Aturan
Menanggapi polemik tersebut, pihak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) selaku regulator dan pengawas sektor jasa keuangan di Indonesia tentu tidak tinggal diam. OJK dengan tanggap memanggil pihak penyelenggara LPBBTI yang bekerja sama dengan PTN terkait pada 26 Januari yang lalu. Dari hasil penelusuran OJK, temuan sementara menyebutkan bahwa tidak ada aturan yang dilanggar terkait dengan kerja sama tersebut.
Pihak LPBBTI telah memenuhi semua ketentuan dalam pemberian dana pinjaman tersebut, termasuk ketentuan mengenai besaran bunga pinjaman yang ditetapkan dimana sesuai SEOJK No. 19/SEOJK.06/ 2023 adalah sebesar 0.1% per hari untuk pinjaman produktif dan 0.3% per hari untuk pinjaman konsumtif. Berdasarkan informasi yang diterima, PTN tersebut bukanlah institusi pertama yang menjalin kerja sama dengan perusahaan penyelenggara LPBBTI terperiksa. Sebelumnya, perusahaan tersebut telah bekerja sama dengan ratusan perguruan tinggi dan penyelenggara kursus di dalam negeri dalam penyaluran pinjaman bagi pembayaran dana pendidikannya.
Kekhawatiran mengenai penyalahgunaan pinjaman tersebut oleh peserta didik juga kurang beralasan, dikarenakan dana tersebut akan langsung dialirkan kepada rekening institusi pendidikan dan bukan kepada rekening-rekening pribadi. Lebih jauh, sebenarnya perusahaan LPBBTI tersebut bukanlah satu-satunya perusahaan yang menawarkan skema pendanaan untuk tujuan pendidikan, terdapat setidaknya empat perusahaan LPBBTI lainnya yang menawarkan pinjaman dengan skema serupa. Jika semua sudah sesuai dengan aturan, lalu di mana masalahnya?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Persepsi yang Mengakar
Saya meyakini bahwa polemik ini berangkat dari persepsi di masyarakat yang masih menjadikan utang sebagai sebuah momok yang menakutkan dan perlu dihindari. Utang seringkali dikonotasikan sebagai manifestasi ketamakan, keserakahan, hasrat untuk bergaya hidup mewah, namun pada akhirnya berujung kepada biaya finansial yang lebih besar, tekanan hidup, hingga kemiskinan.
Bunga utang bukan dipandang sebagai imbal hasil dari kesempatan yang diberikan, melainkan sebagai riba yang memberatkan. Hal ini diperparah lagi dengan reputasi buruk pinjol ilegal yang mengiming-imingi kemudahan pemberian pinjaman kepada calon debiturnya, namun tanpa disertai dengan analisis kelayakan yang memadai. Tindakan serampangan ini tentu akan meningkatkan risiko kredit atas pinjaman tersebut, yang kemudian dikompensasi dengan bunga pinjaman yang tinggi dan cara-cara penagihan yang memaksa, bahkan cenderung tak beretika.
Di sisi lain, institusi pendidikan dipersepsikan sebagai wahana untuk meningkatkan derajat hidup menuju kemuliaan. Pada masa lalu, institusi pendidikan lekat dengan kegiatan keagamaan, di mana peran guru setara dengan brahmana yang menempati kasta tertinggi dalam sistem kemasyarakatan. Dengan demikian, institusi pendidikan dituntut untuk fokus pada pengembangan aspek spiritual dan harus menjauhkan diri dari hal-hal yang bersifat keduniawian.
Maka dapat dipahami apabila publik kemudian terhenyak ketika mendengar kabar bahwa sebuah institusi pendidikan terkemuka menjalin kerja sama dengan sebuah perusahaan pinjol untuk memberikan pinjaman (baca: utang) kepada para peserta didik untuk membiayai pendidikannya. Sungguh merupakan hal yang mengguncang tatanan kepercayaan masyarakat yang sudah mengakar secara turun temurun.
Institusi Pendidikan sebagai Social Enterprise
Perlu usaha keras untuk menyadarkan masyarakat bahwa persepsi-persepsi tersebut perlu diluruskan secara fundamental. Pertama, penyelenggaraan pendidikan tinggi yang berkualitas membutuhkan biaya yang tidak murah. Banyak aktivitas yang perlu dilakoni oleh sebuah perguruan tinggi, mulai dari aktivitas belajar-mengajar, praktikum, penelitian, pengabdian masyarakat, pengembangan institusi, kemahasiswaan, kerja sama antarinstitusi hingga hal-hal yang bersifat rutin operasional seperti penggajian, pemeliharaan fasilitas, kepustakaan, dan urusan administratif lainnya.
Maka sangat tidak wajar apabila PT terus dituntut untuk meningkatkan kualitas dan prestasi tanpa disertai peningkatan anggaran untuk melakukan aktivitas-aktivitas yang mendukungnya. Simon Bridge dari Ulster Business School, Inggris menawarkan perspektif berbeda untuk melihat institusi pendidikan sebagai sebuah usaha sosial (social enterprise). Mengutip Investopedia, social enterprise didefinisikan sebagai sebuah organisasi yang melakukan aktivitas-aktivitas komersial di mana pendapatan yang dihasilkan dari usaha tersebut digunakan untuk mendanai tujuan sosial yang dimiliki oleh organisasi tersebut.
Sebagai sebuah usaha sosial, institusi pendidikan akan memiliki ruang gerak yang cukup untuk merangsang kreativitas dalam mencari sumber-sumber pembiayaan alternatif, termasuk juga bekerja sama dengan lembaga keuangan dan institusi-institusi lainnya. Saat ini, sebagian besar pembiayaan operasional PT berasal dari iuran dana pendidikan yang dibayarkan oleh mahasiswa. Maka tak heran apabila nominal yang dibebankan kepada mahasiswa terus meningkat dari waktu ke waktu, seiring dengan meningkatnya pula tuntutan kepada PT untuk menaikkan standar kualitas.
Berdasarkan data Kemendikbudristek, biaya kuliah di PTN pada 2023 bisa bervariasi antara Rp 2 juta hingga Rp 20 juta per tahun, dengan rata-rata sebesar Rp 7,5 juta per tahun. Sementara, biaya kuliah di PTS bisa mencapai hingga hingga Rp 100 juta tiap tahunnya. Variasi tersebut bergantung pada reputasi, akreditasi, fasilitas, dan banyaknya kerja sama antarinstitusi. Nantinya diharapkan tidak akan ada lagi tercetus istilah "komersialisasi pendidikan" karena PT memang diizinkan untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang bersifat komersil untuk mendanai kegiatan operasionalnya.
Selain itu, sebagai sebuah usaha sosial, institusi pendidikan juga diklaim akan mampu memberikan penghidupan yang lebih layak bagi para pegawainya, yang pada akhirnya akan meningkatkan kepuasan dan keterlibatan pegawai pada pekerjaannya. Tenaga pendidik tidak seharusnya dipandang sebagai orang salih yang mengabdikan diri untuk tujuan ilahiah, namun sebagai tenaga profesional yang perlu untuk terus dikembangkan dan diperhatikan aspirasinya.
Di sisi lain, peserta didik pula tak seharusnya dipandang sebagai murid yang harus selalu dibimbing dan diawasi, tetapi sebagai konsumen, mitra, dan bahkan aset berharga yang perlu didayagunakan dan dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan produktif seperti penelitian, pelaksanaan proyek dan konsultasi kepada industri, serta pengabdian kepada masyarakat.
Meluruskan Persepsi tentang Utang
Persepsi kedua yang perlu diluruskan adalah terkait utang. Dalam ilmu manajemen keuangan, utang adalah sebuah alat yang dapat digunakan untuk meraih tujuan keuangan. Utang dapat meningkatkan leverage (baca: daya ungkit) yang dimiliki seseorang dalam melakukan usahanya. Selain itu, utang juga merupakan sumber pemodalan dengan biaya termurah dibandingkan dengan sumber pemodalan lainnya, seperti saham dan modal penyertaan.
Namun seperti alat lainnya, penggunaan utang memang bukan tanpa risiko. Jika tidak digunakan secara bijak dan hati-hati, memiliki utang justru akan menyengsarakan. Sebelum berutang, kita harus memastikan bahwa utang tersebut akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan produktif yang memberikan imbal hasil lebih besar daripada kewajiban bunga yang akan timbul. Selain itu, penting bagi kita untuk menilai kemampuan keuangan yang kita miliki untuk melunasi kewajiban yang akan timbul, baik cicilan pokok maupun bunganya.
Apabila melihat dari syarat-syarat yang disebutkan di atas, maka pinjaman pendidikan telah memenuhi syarat pertama; yaitu bertujuan untuk memenuhi kebutuhan produktif, di mana pendidikan dapat dianggap sebagai sebuah investasi diri untuk meraih taraf hidup yang lebih tinggi di masa yang akan datang. Permasalahan yang sering terjadi adalah terkait dengan syarat yang kedua. Banyak orang gagal memenuhi kewajiban yang muncul atas utang akibat terlampau optimis dan percaya diri dalam menilai kemampuan keuangannya di masa depan, atau bahkan mengabaikan sama sekali konsekuensi yang akan dihadapi.
Beberapa ekonom memperingatkan bahaya jebakan utang yang membayangi pinjaman pendidikan dengan membandingkan kasus ledakan tunggakan student loan di Amerika Serikat (AS). Namun, dalam menyikapi peringatan tersebut, perlu kiranya kita memahami perbedaan skema pinjaman yang dilakukan di AS dan di Indonesia.
Di AS, pinjaman dapat diberikan oleh pemerintah federal, bank, atau lembaga keuangan lainnya. Pembayaran pinjaman beserta bunganya dimulai setelah mahasiswa lulus dari perkuliahan dan mendapatkan pekerjaan. Pinjaman yang diberikan oleh pemerintah federal bisa lebih fleksibel, terutama pada skema pinjaman yang disubsidi, namun dengan besaran yang terbatas. Dengan skema seperti itu, peserta didik dapat menunda kekhawatirannya terkait permasalahan finansial selama masa perkuliahan dan berfokus pada pendidikannya. Namun, ternyata skema tersebut menjadi bom waktu.
Seiring dengan pelambatan ekonomi dan penurunan tingkat pendapatan, banyak orang berusaha untuk menaikkan taraf hidupnya, salah satunya adalah dengan cara menempuh pendidikan yang lebih tinggi. Akibatnya jumlah calon mahasiswa meningkat, di mana sebagian dari para pendaftar itu mengandalkan skema pembiayaan student loan. Di sisi lain, pemerintah federal mulai membatasi pemberian pinjaman bersubsidi sejak 2002, memaksa para calon mahasiswa tersebut untuk melakukan pinjaman kepada institusi swasta.
Dengan meningkatnya permintaan akan pinjaman pendidikan tersebut, suku bunga pinjaman juga semakin menaik, padahal tingkat pendapatan rata-rata tak kunjung membaik selepas kelulusan mereka dari kampus. Bisa dipastikan, tingkat Non Performing Loan (NPL) melonjak. Pada 2020, jumlah tunggakan student loan di AS mencapai lebih dari $1,6 triliun, sebuah angka yang sangat fantastis.
Berbeda dengan skema pembiayaan di AS, di mana penundaan pembayaran cicilan memberikan ilusi ketersediaan waktu dan harapan pertumbuhan, di Indonesia pinjaman pendidikan pada dasarnya adalah skema kredit tanpa agunan biasa, di mana kewajiban pembayarannya dimulai pada bulan berikutnya setelah pinjaman dicairkan. Selain itu durasi pinjaman cukup pendek, maksimal hingga 24 bulan saja. Dengan demikian kapasitas keuangan dalam melunasi cicilan akan lebih mudah terukur.
Perbedaan lainnya terkait dengan adanya penjamin pinjaman. Di AS, mahasiswa bertanggung jawab sendiri atas pinjaman yang ia ajukan. Umumnya, ini adalah pinjaman pertama yang ia lakukan dalam jumlah besar, sehingga akan mengurangi kapasitas keuangannya untuk melakukan pinjaman lainnya pada fase hidup selanjutnya setelah kelulusan, seperti pengajuan KPR, kredit kendaraan, dan tujuan-tujuan finansial lainnya.
Di Indonesia, keputusan pengajuan pinjaman dana pendidikan tidak dapat dilakukan oleh mahasiswa bersangkutan semata. Peran seorang wali dibutuhkan sebagai penjamin pinjaman. Hal ini dikarenakan selama periode pembayaran, mahasiswa dianggap belum cukup umur dan belum memiliki penghasilan, sehingga walilah yang kemudian bertanggung jawab untuk melunasi kewajiban atas utang tersebut. Kehadiran kewajiban tambahan ini biasanya muncul belakangan setelah tujuan-tujuan keuangan primer telah dipenuhi.
Bukan Solusi Paten
Walaupun risiko skema pinjaman pendidikan di Indonesia lebih terukur, tetapi menurut hemat saya itu hanya sebuah panasea. Biasanya mahasiswa yang tertarik untuk mengajukan pinjaman berasal latar belakang kurang mampu yang benar-benar terdesak untuk melunasi tagihan biaya pendidikannya. Bagi mereka, tentu skema pendanaan yang lebih permanen, seperti beasiswa, subsidi ,dan pengurangan UKT, atau bekerja paruh waktu di kampus akan lebih melegakan daripada pemberian pinjaman yang sekadar memindahkan kewajibannya ke waktu yang akan datang.
Hal lainnya yang perlu diperhatikan adalah bunga yang dibebankan cukup tinggi, bahkan jika dibandingkan dengan suku bunga pinjaman konsumtif sekalipun. Untuk mengatasi hal itu, diperlukan dukungan pemerintah melalui Kementerian Keuangan untuk menyediakan pendanaan pendidikan yang lebih murah di mana ini dapat bersumber dari dana abadi pendidikan yang dikelola oleh LPDP.
Selanjutnya, perlu bagi OJK untuk meninjau kembali aturan mengenai batas maksimum suku bunga pinjaman LPBBTI, khususnya bagi skema pinjaman dana pendidikan. Selain itu, perlu pula kiranya Kemendikbudristek mempertimbangkan fleksibilitas yang lebih luas bagi PT untuk berinovasi dalam mencari pendanaan alternatif sehingga tidak lagi bergantung dari dana iuran pendidikan mahasiswa, serta meningkatkan kapasitas para pejabat PT dalam melakukan pengelolaan dan pengembangan aset yang mereka miliki.
Ahmad Danu Prasetyo, PhD Analis Senior OJK Institute, mantan dosen perguruan tinggi