Tahun 2024 menjadi akhir masa jabatan DPR dan pemerintah setelah lima tahun masa jabatan. Pemilu legislatif dan eksekutif telah dilaksanakan pada 14 Februari dengan memilih tiga calon Presiden dan Wakil Presiden (eksekutif), DPR, dan DPRD Tingkat Provinsi dan Kota/Kabupaten (legislatif). Pada pelaksanaan pemilu eksekutif, masih memungkinkan terjadi dua putaran jika salah satu calon eksekutif tidak memenuhi 50% dari total suara. Jika terjadi putaran kedua, maka 25 Juni adalah pemungutan suara hingga akhirnya dilantik pada 20 Oktober. Sementara untuk legislatif, 20 Maret adalah batas akhir untuk rekapitulasi hasil suara sebelum pelantikan 1 Oktober.
Berkaca dari Pemilu 2019, jarak antara pelaksanaan pemilu dan ketetapan KPU terkait hasil suara pemilu sekitar satu bulan. Pascapemilu (putaran pertama), terdapat minimal tujuh bulan lame duck session atau masa transisi di mana anggota lama sudah dalam posisi kekurangan legitimasi untuk memberikan keputusan, terutama keputusan yang membutuhkan partisipasi publik yang tinggi dan berpengaruh besar bagi kehidupan kenegaraan.
UU Pemilu saat ini memberikan hak bagi pejabat publik seperti kepala daerah maupun Presiden untuk dapat berkampanye dan tentu akan berdampak bagi arah program legislasi maupun kebijakan eksekutif dan legislatif. Pascapemilu (putaran pertama) 14 Februari, minimal telah terpilih anggota legislatif periode 2024 - 2029. Selain itu, adanya tiga calon Presiden dan Wakil Presiden yang diusung oleh gabungan partai politik memberikan perubahan komposisi partai pendukung pemerintah jika dibandingkan dengan empat tahun sebelumnya yang praktis hanya Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang tegas menjadi oposisi pemerintah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, salah satu calon Presiden yang diusung oleh PKS bersama dengan Partai Nasional Demokrat (Nasdem) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dengan ketua umumnya menjadi Calon Wakil Presiden bergabung dan mengusung koalisi perubahan dengan berbagai kesempatan saat masa kampanye kerap mengkritisi program pemerintah saat ini.
Tren Legislasi yang Berulang
DPR dan Presiden memiliki RUU Prioritas setiap tahunnya yang ditargetkan dalam program legislasi nasional. Namun, dalam pelaksanaannya realisasi jauh dari target yang telah ditetapkan. Menurut Prof. Fitra Arsil, kemampuan DPR menyelesaikan rancangan undang-undang per tahunnya rata-rata di bawah 20 RUU. Itu sudah termasuk RUU kumulatif terbuka yang tidak memerlukan pembahasan kompleks seperti pengesahan perjanjian internasional dan pembentukan daerah atau kabupaten/kota.
Jika dikurangi UU kumulatif terbuka, kemampuan rata-rata DPR di bawah 10 UU per tahunnya. Hal ini tergambar pada periode saat ini, di mana pada 2020, DPR dan Presiden menyelesaikan 3 dari 37 RUU Prolegnas Prioritas dan 7 RUU kumulatif terbuka. Hal tersebut berulang pada pada 2021 di mana pengesahan RUU berjumlah 3 dari 33 Prolegnas Prioritas dengan 8 RUU kumulatif terbuka.
Pada 2022, program legislasi memiliki tren peningkatan dengan mengesahkan 7 dari 40 RUU Prioritas dan 22 RUU kumulatif terbuka. Sementara untuk 2023, capaian tidak jauh berbeda yaitu 6 dari 39 RUU Prioritas dan 16 RUU Kumulatif terbuka. Hal ini tidak jauh berbeda dengan capaian prolegnas pada periode sebelumnya di mana DPR dan Presiden hanya memutuskan tidak lebih dari lima UU seperti pada 2015 dan 2018.
Namun, 2019 jumlah tersebut meningkat menjadi 14 RUU Prioritas yang disahkan dari 10 RUU Kumulatif terbuka. Padahal, tahun 2019 merupakan tahun politik dimana terjadinya transisi kekuasaan tengah terjadi. Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) mencatat, angka incumbent yang terpilih lebih dari 56 % terpilih pada periode 2019-2024 ditambah Presiden Joko Widodo juga sebagai peserta pemilu dan kembali menjadi Presiden pada periode yang sama. Menariknya, tingkat pengesahan RUU pada lame duck session tersebut jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan empat tahun periode menjabat setelahnya.
Bukan tidak mungkin, pada 2024 lame duck session akan memberikan pola yang berulang sebagaimana periode sebelumnya. Indikasi ini terlihat 89% jumlah incumbent yang turut menjadi calon legislatif pada periode setelahnya. Selain itu, UU Pemilu juga memberikan hak kepada Presiden untuk melakukan kampanye. Komposisi dan aktor yang relatif sama dengan periode pemerintahan sebelumnya dapat memberikan repetisi dari lame duck session pada 2024 ini sebagaimana produktivitas yang tinggi pada 2019. Terhitung pada bulan Januari, telah dimulai dengan revisi atas UU ITE pada 2 Januari 2024 yang menjadi salah satu UU kontroversi di tengah masyarakat.
Legacy Bertaruh Aspirasi
Presiden Jokowi telah memasuki akhir masa periode kedua jabatannya pada 2024. Sekian banyak kebijakan telah disahkan melalui UU yang menarik perhatian dan kontroversi publik seperti UU Omnibus Law/Cipta Lapangan Kerja, Perubahan UU KPK, Perubahan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), UU Ibu Kota Negara (IKN), UU Kesehatan, UU Pengembangan dan Penguatan Keuangan (PS2K).
Tercatat, pada Prolegnas 2023 terdapat 27 RUU diketahui tanpa perkembangan dan 10 RUU masih dalam pembahasan bersama antara DPR dan pemerintah. Selain itu, 2024 ini Prolegnas Prioritas telah ditetapkan sebanyak 47 RUU dan 10 di antaranya merupakan RUU usulan baru. Dengan jumlah saat ini artinya DPR memiliki dua tugas utama selain menyelesaikan Prolegnas Prioritas harus ikut dalam kontestasi pemilu karena hanya 11% dari anggota DPR periode saat ini yang tidak mencalonkan kembali.
Catatan Prof. Fitra Arsil pada 2019, DPR tiba-tiba menjadi sangat intensif melaksanakan fungsi legislasi tidak seperti biasanya pada masa sidang paling akhir. Berbagai RUU mengantre untuk masuk. Rapat paripurna dalam tiga pekan bisa dilaksanakan dua kali setiap pekannya. Selain itu, paripurna juga masih memutuskan RUU inisiatif DPR yang berarti merupakan awal dari pembahasan RUU. Padahal, masa tersebut hanya sekitar satu bulan saja. Pada akhirnya, tercatat terjadi peningkatan dua kali lipat pengesahan RUU dari tahun-tahun sebelumnya.
Bukan tidak mungkin, dengan tingginya jumlah RUU Prolegnas Prioritas tahun ini, peristiwa ini akan kembali terjadi pada tahun ini. RUU Daerah Khusus Jakarta menjadi sorotan karena dinilai menghilangkan partisipasi publik sebesar-besarnya karena pemilihan kepala daerah ditunjuk oleh Presiden dan adanya daerah aglomerasi yang dipimpin oleh Wakil Presiden dengan area lebih besar dari DKI Jakarta saat ini.
Selain itu, beberapa RUU yang akan pernah dan mungkin akan menjadi perhatian publik adalah RUU Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, RUU Pengelolaan Keuangan Haji, RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, RUU Pemerintahan Aceh, RUU Aparatur Sipil Negara, RUU Hukum Acara Pidana, RUU Hukum Acara Perdata, dan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana. Hal lain ditambah kemungkinan adanya RUU melalui Perppu mengingat sejak 2009, 2014, dan 2019 tercatat Perppu dikeluarkan oleh Presiden terkait dengan pelaksanaan Penyelenggaraan Ibadah Haji 2009, dan Pemilu dan Pilkada pada 2009, 2014, dan 2022.
Presiden Jokowi tentu ingin menciptakan soft landing bagi kepemimpinannya dan legacy bagi pemerintah era selanjutnya. Dengan waktu yang tersisa kurang dari satu tahun ini, rencana program legislasi yang ditetapkan jelas lebih tinggi dari empat tahun sebelumnya memberikan sinyal dari pemerintah untuk memastikan agenda-agenda nasional dapat diselesaikan saat akhir dari kepemimpinannya.
Namun, pengalaman dari legislasi saat ini dari pengesahan UU Cipta Kerja, UU Kesehatan, UU Ibu Kota, UU Perubahan Kedua KPK dan UU Perubahan Kedua ITE tidak banyak memberikan ruang partisipasi publik. Pemerintah tidak memberikan ruang yang cukup untuk aspirasi maupun mengakomodasi protes dari elemen masyarakat. Lebih jauh, momentum Covid-19 justru menjadi dasar bagi menurunnya ruang partisipasi publik.
Kontroversi materi RUU, tingkat urgensi, dan legitimasi dari aspirasi masyarakat harus terjadi secara tuntas sebelum pemerintah dan DPR mengesahkan UU. Waktu dan ruang aspirasi perlu ditingkatkan untuk memastikan bahwa undang-undang yang telah disahkan tidak menjadi "kebiasaan" baru yaitu undang-undang jika masyarakat tidak puas silakan dibawa ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Putusan inkonstitusional bersyarat maupun uji formil dalam penyusunan RUU Kesehatan yang sedang berlangsung terkait partisipasi masyarakat hendaknya menjadi alarm bagi pemerintah dan DPR tidak menjadikan MK menjadi solusi dari ruang aspirasi masyarakat. Peran DPR sebagai lembaga perwakilan dan legislasi harus memastikan bahwa UU yang disahkan telah tuntas dan menjamin aspirasi masyarakat.
Rico Novianto, S.H peneliti Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia
(mmu/mmu)