Tidak jarang saya mendengar ungkapan dari teman-teman saya yang berbunyi, "Orang Madura ada di mana-mana." Mungkin ungkapan tersebut sudah sering berdenging di telinga banyak orang. Ya, saya pun berpendapat demikian, karena asal saya sendiri dari Kota Situbondo atau banyak orang bilang dengan sebutan "Madura swasta".
Sudah banyak orang Madura yang bermigrasi antarkota atau antarpulau, bahkan antarnegara. Hal tersebut juga senada dengan tulisan Buya Hamka dalam bukunya yang berjudul Dari Perbendaharaan Lama, yang salah satu isinya menyatakan, "Sudah sejak zaman dahulu penduduk Madura, pulau kecil yang di dinding lautan itu, mengharung ombak gelombang, menempuh lautan besar dengan perahu layarnya! Sudah sejak dahulu anak Madura dengan perahunya itu berlayar ke Malaka, Kerajaan Islam."
Bisa kita simpulkan bahwa orang Madura sudah banyak yang mengabdikan dirinya di kota atau negara orang lain. Hal tersebut bermula dari ekologi tegal yang tidak mampu mencukupi kebutuhan hidup para penduduk di pulau tersebut, karena dilihat dari tanahnya yang sangat gersang dan tidak subur. Juga, kepadatan populasinya lebih tinggi daripada luas lahan yang ada. Dan, minimnya lowongan pekerjaan yang tersedia menyebabkan penduduk di pulau tersebut lebih memilih bermigrasi atau merantau ke tempat lain.
Namun, sangat berat bagi para perantau untuk meninggalkan halaman rumahnya, khususnya bagi perantau yang sudah berkeluarga ketika meninggalkan istri tercintanya dan anak-anaknya. Begitu banyak pertimbangan yang harus dipikirkan dengan matang, dan konsekuensi yang harus diterima ketika sudah berada jauh dari keluarganya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebuah film kreasi dari para pemuda/i madura yang tayang di channel Youtube @Akeloyproduction5491 dengan judul Mimpiku di Negri Jiran mempersembahkan sebuah kisah tentang seorang istri yang selingkuh dengan pria lain pada saat suaminya sedang merantau jauh. Film tersebut diangkat dari banyaknya kisah nyata yang sudah terjadi di kalangan masyarakat.
Ketika membuka kolom komentar dari video tersebut, berbagai macam celotehan netizen mewarnai isi dalam kolom tersebut dengan beragam komentar dari asumsi masing-masing. Tapi, hanya satu macam komentar yang sangat menarik atensi para viewer dari video tersebut, termasuk juga saya, isinya seperti ini: "Gara-gara film Mimpiku di Negeri Jiran ini, banyak suami orang yang pulang dari perantauan, dan banyak yang tidak kembali merantau lagi."
Komentar di atas secara tidak langsung mewakili suara hati para migran atau perantau yang mayoritas dari mereka diselimuti oleh rasa gelisah berkelanjutan terhadap dirinya dan orang-orang yang ditinggalkannya. Pertanyaannya, apakah pemerintah tidak memberi perlindungan terhadap para migran tersebut? Atau sudah ada, tapi pengimplementasiannya tidak efektif, sehingga masih terdapat banyak para migran yang selalu dihantui oleh rasa kekhawatirannya? Lantas bagaimana cara menanggulanginya?
Sebenarnya, sudah ada undang-undang yang membahas tentang perlindungan bagi para migran, yaitu Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PMI). Pasal 29 ayat (1) menyatakan bahwa "Dalam upaya perlindungan Pekerja Migran Indonesia, Pemerintah Pusat menyelenggarakan Jaminan Sosial bagi Pekerja Migran Indonesia dan keluarganya." Dengan begitu, keluarga dari migran juga mendapatkan jaminan perlindungan tersebut.
Faktanya, undang-undang di atas seakan-akan hanya menjadi wacana belaka, kegelisahan para migran masih menggumpal dalam pikirannya. Mungkin disebabkan oleh dirinya sendiri yang belum sepenuhnya mempersiapkan mental untuk mengabdi di tempat lain yang diharuskan untuk meninggalkan keluarganya, atau karena faktor lain. Hal tersebut sangat penting untuk dibahas.
Calon presiden Ganjar Pranowo sempat menyinggung masalah pekerja migran ketika diwawancarai wartawan menjelang debat kedua Capres (7/1): "Saya pernah berbincang dengan Ibu Menlu dan ternyata problem besar kita di luar negeri terkait dengan kepentingan nasional adalah pada pekerja migran. Ini yang penting." Pernyataan ini bisa kita kritisi lebih dalam lagi, dan disangkutpautkan dengan masalah pekerja migran, lebih khususnya masalah perselingkuhan yang terjadi di dalam keluarganya.
Mayoritas dari mereka pulang dari tempat migrasinya dikarenakan khawatir terhadap keluarganya. Maka dari itu, harus ada persiapan ketika hendak melakukan migrasi. Bukan hanya mempersiapkan mental ketika merantau nanti, namun juga harus mempersiapkan mental dan percaya diri ketika sudah meninggalkan halaman rumah dan keluarganya.
Maksudnya, bukan bermaksud untuk memutus komunikasi dengan keluarganya, tetap berkomunikasi, tapi meminimalisasi perasaan khawatir tersebut. Begitu juga dengan keluarga yang ada di rumah, khususnya untuk istri yang ditinggal merantau oleh suaminya, harus memberikan timbal balik, dan tidak membuat suaminya kecewa, seperti selingkuh, atau melakukan hal lain yang membuat suaminya kecewa.
Juga, undang-undang tentang perlindungan PMI harus terimplementasikan dengan kondusif. Karena, perlindungan dari pemerintah juga sangat dibutuhkan untuk para migran dan keluarganya. Di samping itu, peran tetangga atau kerabat dekat juga sangat penting dan berpengaruh. Oleh karena itu, sebelum bermigrasi, hendaknya meminta tolong terlebih dahulu kepada kerabat atau tetangga yang mungkin bisa dipercayai olehnya dan dipasrahkan untuk memeriksa situasi dan kondisi keluarganya.
Harmonisasi akan tercipta jika dari dua belah pihak bisa menjaga loyalitas dan kepercayaan masing-masing. Manusia adalah makhluk sosial yang pasti membutuhkan bantuan orang lain. Maka dari itu, atensi dari masyarakat sekitar harus saling bahu-membahu demi terciptanya kenyamanan dan kesejahteraan bersama. Khususnya, pelayanan dan perlindungan dari para pemerintah yang terkait.
Moh. Ilzam Nuzuli Taufik mahasiswa Hukum Keluarga Islam (HKI) Institut Agama Islam (IAI) Ngawi