Mendorong Penguatan Sistem Perlindungan Hak Cipta
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Mendorong Penguatan Sistem Perlindungan Hak Cipta

Senin, 19 Feb 2024 16:15 WIB
Ahmad Mathori
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Spotify melakukan PHK terhadap 200 pekerja, atau setara 2% total jumlah karyawannya. PHK ini menyasar karyawan di department podcast Spotify.
Foto ilustrasi: Tiffany Hagler-Geard/Bloomberg via Getty Images
Jakarta -

Pernahkah Anda membayangkan jika suatu karya yang kita buat dengan jerih payah kemudian berujung diambil sepihak oleh orang lain? Kalau mengibaratkan karya adalah anak kita sendiri, maka kepedihan dalam hati tidak lagi dapat dipungkiri.

Masalah selanjutnya ialah realitas sistem hukum di negara kita tidak begitu proaktif dalam mengurusi masalah sebuah karya kita yang diambil oleh orang lain. Maka perasaan campur aduk)antara sedih dan marah terhadap keadaan yang terjadi merupakan sebuah keniscayaan.

Kemirisan tersebut kemudian semakin terinternalisasi dalam diri saat mengetahui beberapa figur di bidang seni tarik suara (musik), yakni Mahalini, Celine & Nadya, dan Rayen Pono membuka awal tahun mereka dengan menerima fakta bahwa lagu mereka telah dibajak oleh orang lain. Bahkan bukan sekadar membajak, si pelaku pembajakan juga menggungahnya ke platform streaming digital untuk dikomersialisasi.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kabar tersebut sontak membuat lini masa media sosial dibanjiri oleh ekspresi miris dari para warganet, termasuk saya sendiri. Sebab jelas sekali bahwa pembajakan (penggandaan tanpa izin) sebuah karya cipta adalah hal yang dilarang oleh Undang-undang (UU). Pasal 9 angka (3) UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta menyebutkan bahwa setiap orang yang tanpa izin Pencipta atau Pemegang Hak Cipta dilarang melakukan penggandaan dan/atau penggunaan secara komersial (sebuah) ciptaan.

Bukan Pertama Kali

Kejadian seperti ini bukanlah pertama kalinya terjadi dalam belantika musik Tanah Air, terlebih dalam konteks kasus Mahalini dan lainnya terjadi di sebuah platform streaming digital yang sangat besar namanya. Sebut saja, Spotify. Sehingga fenomena ini mengisyaratkan bahwa sistem perlindungan hukum hak cipta kita sedang tidak baik-baik saja. Terkhusus di ranah praksis, perlu sekali adanya penguatan implementasi aturan main yang lebih optimal.

ADVERTISEMENT

Selain itu, mengutip Earl R. Brubaker yang mengatakan bahwa pencipta (pemegang hak cipta) adalah orang yang patut dihargai karena sudah berkontribusi pada masyarakat, dalam hal ini sejarah perjalanan belantika musik Tanah Air. Maka menghargainya adalah sebuah kepatutan yang logis. Earl mengatakan hal tersebut merupakan bagian dari prinsip perlindungan hak cipta; ia menyebutnya sebagai natural right theory.

Apa yang dikatakan oleh Earl tentang prinsip perlindungan hak cipta, di negara kita dimanifestasikan dalam UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Peraturan yang mengatur dari A sampai Z terkait dengan hak cipta itu sudah berusia satu dekade. Sementara itu, kita dihadapkan oleh tantangan kemajuan zaman, dan (mungkin) kita akan sepakat bahwa perkembangan zaman dari 10 tahun lalu itu rasanya seperti sebuah lompatan zaman satu abad jauhnya. Apalagi yang terkait dengan teknologi informasi. Artinya, apakah pranata hukum hak cipta di negara kita masih relevan dengan berbagai kondisi kekinian?

Ratifikasi Bukan Solusi?

Sejak mangkatnya peraturan terdahulu yang berlaku dalam hukum hak cipta, yakni UU No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Kemudian lahirlah UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Dorongan pembaharuan tersebut merupakan konsekuensi logis dari proses ratifikasi yang dilakukan oleh Indonesia terhadap konvensi (kesepakatan) internasional, yaitu Perjanjian Karya-karya Pertunjukan dan Karya-karya Fonogram (WPPT", yang terkristal melalui Keputusan Presiden No. 74 Tahun 2004.

Sebagai informasi, ratifikasi di sini diartikan sebagai proses adopsi perjanjian internasional. Adopsi yang dimaksud melingkupi pengaturan hak cipta di internet, memuat inti untuk pemerintah berwenang dalam tiga hal. Pertama, pengawasan terhadap pembuatan dan penyebarluasan konten pelanggaran hak cipta dan hak terkait. Kedua, kerja sama dan koordinasi dengan berbagai pihak untuk mencegah pembuatan dan penyebarluasan konten yang melanggar hak cipta dan hak terkait. Ketiga, pengawasan terhadap tindakan perekaman hak cipta atau hak terkait di tempat pertunjukan.

Uraian poin-poin di atas menunjukkan bahwa dengan berlakunya UU No. 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta diharapkan mampu mendorong terbentuknya iklim yang kondusif di media internet. Paling tidak, dapat menekan jumlah potensi pelanggaran yang kerap terjadi. Apalagi kalau kita lihat dalam WPPT yang mengkategorikan standar pengelolaan hak (dalam ruang) digital, maka kita temui dua terminologi utama yang memuat standarisasi sarana manajemen informasi. Yakni, Technical Protection Measures (TPMs) dan Right Management Information (RMI).

TPMs secara sederhana memiliki arti sebuah sistem/aplikasi yang dapat menghambat akses penggunaan karya digital secara absolut atau kondisional. Sedangkan RMI adalah sistem yang dapat mengidentifikasi sebuah karya (Baca: Isu-isu Penting Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia, M. Hawin dan Budi Agus Riswandi, hal. 128-129).

Sampai di sini agaknya wajar kalau saat ini kita dibuat terheran-heran dan bergumam. Dengan adanya pemerintah yang hadir sebagai pengamal penegakan hukum yang berlandaskan sebuah ide visioner menanggapi kemajuan zaman, kok masih ada saja pelanggaran hak cipta dalam lalu lintas internet (digital) dan terjadi secara berduyun-duyun pada hari ini? Padahal sistemnya telah diatur secara detail.

Mahalini, Celine & Nadya, hingga Rayen Pono adalah bukti konkret paling segar yang menunjukkan masih lemahnya peraturan hukum hak cipta kita di level praksis. Kalau adopsi terhadap sebuah hal baru itu masih seumur jagung, mungkin kita akan secara terang mengatakan bahwa hal tersebut dapat terjadi karena kita yang belum biasa dan perlu beradaptasi terhadap sistem yang kita adopsi tersebut. Namun masalahnya, kita sudah menjalaninya selama satu dekade, lho!

Maka sekali lagi, apakah peraturan yang sudah berumur satu dekade itu perlu dilihat kembali? Direvisi? Atau, bagaimana seharusnya?

Penguatan Ranah Praktis

Melihat perkembangan dunia dalam lanskap teknologi informasi yang selalu maju setiap harinya, adaptasi peraturan tampak perlu dilakukan. Sebab jika merujuk kepada sifat hukum yang dinamis, tuntutan perkembangan zaman adalah keniscayaan yang membuatnya harus terus beradaptasi. Namun pembaharuan hukum barulah satu hal, dan hal lain yang tidak kalah penting adalah penguatan di ranah praksis terkait sistem perlindungan hak cipta, khususnya dalam teknologi informasi pada platform streaming digital.

Dalam konteks kasus yang kita bahas di tulisan ini, saya menyarankan pihak Spotify untuk menerapkan RMI dalam bentuk verifikasi wajah atau rekaman biometrik sidik jari pada tiap sesi pengunggahan sebuah karya di kanal mereka. Ini merupakan saran paling instan yang dapat dilakukan oleh Spotify untuk turut serta dalam menguatkan sistem perlindungan hukum hak cipta di Indonesia.

Proses pengenalan wajah maupun rekaman biometrik sidik jari akan lebih mumpuni jika didampingi dengan kecerdasan buatan yang mampu mengidentifikasi kesamaan sebuah ciptaan. Tapi catatannya, saran di atas akan menjadi mulus kalau pihak Spotify menganggap bahwa ini adalah masalah serius. Hal demikian semata-mata dimaksudkan agar Mahalini, Celine & Nadya, dan Rayen Pono merupakan orang terakhir yang merasakan pahitnya menjadi pemegang hak cipta maupun hak terkait.

Jangan ada lagi pihak yang harus menanggung kerugian baik moral maupun ekonomi dari perilaku tidak benar para pembajak karya orang. Maka urgensi harmonisasi ketentuan hak cipta dengan WPPT dan kerangka panduan teknis yang akan dijalankan oleh pihak platform streaming digital untuk menguatkan kualitas sistem perlindungan hukum hak cipta di negara nan gemah ripah loh jinawi ini adalah tawaran yang tidak dapat ditolak.

Ahmad Mathori pemerhati Hak Kekayaan Intelektual

Simak juga 'Saat Pencipta Lagu Minta Royalti Performing Rights Ditambah':

[Gambas:Video 20detik]



(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads