Kolom

Narasi Inflasi pada Tahun Politik

Haryo Kuncoro - detikNews
Jumat, 16 Feb 2024 14:30 WIB
Kenaikan harga bahan konsumsi menyumbang inflasi (Foto ilustrasi: Welly Jasrial Tanjung)
Jakarta - Inflasi perdana 2024 telah dirilis. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Indeks harga konsumen (IHK) meningkat dari 105,15 pada Desember 2023 menjadi 105,19 pada Januari 2024. Dengan demikian, inflasi pada Januari 2024 secara bulanan mencapai 0,04%. Sementara, inflasi secara tahunan sebesar 2,57%.

Sekilas, sehimpun angka di atas tampaknya 'wajar'. Besaran inflasi masih dalam batas toleransi. Sasaran inflasi tahunan sepanjang 2024 ditetapkan 2,5% plus/minus 1%. Demikian pula, inflasi bulanan --jika disetahunkan (0.48%)-- juga masih masuk dalam rentang target.

Namun demikian, data inflasi tidak bisa berdiri sendiri. Ia tidak dapat banyak bercerita jika dilihat sebagaimana adanya pada satu titik waktu tertentu. Artinya, indikator inflasi baru mampu 'berbicara' vokal ketika sudah disandingkan dan diperbandingkan dengan titik waktu yang lain.

Inflasi dihitung dari persentase kenaikan IHK. Sementara, IHK dibangun berdasarkan hasil survei biaya hidup (SBH). Hasil SBH akan menentukan bobot nilai konsumsi. Perhitungan inflasi mulai 2024 menggunakan hasil SBH 2022 sekaligus sebagai tahun dasar yang menggantikan hasil SBH 2018.

Pemutakhiran SBH dari 2018 ke 2022 diharapkan mampu menangkap perubahan gaya hidup. Perkembangan teknologi, pendapatan, penawaran dan permintaan barang/jasa, kualitas dan kuantitas barang/jasa, serta sikap dan perilaku mengubah pola konsumsi masyarakat sehingga perhitungan bobot inflasi lebih akurat.

Pokok persoalannya, SBH 2022 dilakukan masih dalam kondisi masa pandemi. Harus diakui, status pagebluk Covid-19 di Indonesia adalah kejadian yang sangat fundamental, luar biasa (extraordinary), dan belum pernah terjadi sebelumnya (unprecedented) sehingga memukul seluruh sendi kehidupan.

Konsekuensinya, profil pola konsumsi yang didapat pun juga "luar biasa". Pola konsumsi yang "luar biasa" memproduksi nilai konsumsi yang "tidak lazim". Nilai konsumsi yang "tidak lazim" --jika digunakan sebagai bobot dalam penyusunan IHK-- menghasilkan besaran inflasi yang "anomali" pula.

Tesis tersebut tampaknya tidak berlebihan. Data yang disajikan di atas sudah dengan sendirinya mengamini tesis itu. Mengambil contoh inflasi tahunan pada Januari 2024 (2,57%) yang berbasis SBH 2022 masih lebih rendah daripada inflasi tahunan pada Desember 2023 (2,61%) yang mengacu pada SBH 2018.

Perbedaan kedua angka inflasi itu memang tipis lantaran pengamatannya hanya beda bulan. Selisih angka inflasi akan lebih material ketika disandingkan dengan periode yang sama di tahun sebelumnya. Inflasi tahunan pada Januari 2023 mencapai 5,28%. Padahal siklus inflasi di Tanah Air cenderung berulang tiap tahun.

Cerita yang sama juga berlaku pada inflasi bulanan. Inflasi bulanan pada Januari 2024 (0,04%) yang berbasis SBH 2022 jauh lebih rendah daripada Desember 2023 (0,41%), bahkan masih di bawah inflasi bulanan periode yang sama tahun lalu (0,34%) yang sama-sama masih berbasis SBH 2018.

Perbedaan inflasi bulanan yang sangat kontras dalam waktu yang berdekatan seakan 'melawan' hukum gerak gradual. Sementara, faktor pemicu inflasi relatif masih sama, yakni harga pangan bergejolak (volatile foods), seperti cabai merah, cabai rawit, bawang merah, bawang putih, menyusul harga beras yang lebih dahulu melejit.

Sampai di titik ini, inflasi 2024 dengan tahun dasar 2022 jadi lebih kecil dari besaran yang "seharusnya". Inflasi yang bias ke bawah (downward bias) tidak bersumber dari fakta di lapangan melainkan dari pemilihan titik waktu pengukuran.

Revisi SBH rutin dilakukan sekali dalam lima tahun. SBH yang paling mutakhir semestinya jatuh pada 2023, alih-alih 2022. Berangkat dari sini, perubahan tahun dasar IHK untuk menghitung inflasi 2024 disinyalir sengaja dilakukan untuk menyelamatkan "muka" perekonomian di saat inflasi terus menanjak.

Apalagi 2024 adalah tahun politik. Inflasi riil yang lebih tinggi bisa menjadi "komoditas" politik yang digoreng untuk pamrih politik. Perang narasi antarpartai politik yang sedang berkontestasi menjadi keniscayaan yang jauh dari misi edukasi atas perbedaan inflasi antara yang "senyatanya" dengan yang tercatat.

Dengan dugaan berlindung di balik alibi politik pula, pemerintah tetap melanjutkan kebijakan Bantuan Langsung Tunai (BLT). Namun secara tidak langsung, kebijakan itu seakan menegaskan bahwa pemerintah mengakui inflasi yang "senyatanya" lebih tinggi daripada inflasi resmi yang dilaporkan.

Alhasil, fenomena di atas adalah potret kecil bahwa politik masih menjadi "panglima" di negeri ini. Bagaimanapun inflasi adalah produk statistik dari proses perhitungan ilmiah. Sebagai data statistik, inflasi bersifat netral alias tidak memihak. "Ketidaknetralan" data inflasi semata-mata hanya karena penafsiran sepihak si konsumen data.

Sementara, biaya memproduksi data sejatinya mahal. Akan menjadi ironi besar jika penerbitan data resmi inflasi justru menimbulkan kontroversi tak berkesudahan. Inti masalahnya adalah narasi inflasi di tahun politik agar semua pemangku kepentingan cerdas mencernanya plus siap dengan setiap kemungkinan perbedaan interpretasi yang bisa muncul.

Dengan narasi yang elegan, mereka lebih "melek data" sehingga memahami utuh seluk beluk data inflasi. Pada akhirnya, potensi polemik berkepanjangan perihal validitas dan reliabilitas data inflasi niscaya bisa ditekan. Kredibilitas data inflasi nasional menjadi pertaruhan di kancah global.

Haryo Kuncoro Direktur Riset the Socio-Economic & Educational Business Institute (SEEBI) Jakarta




(mmu/mmu)

Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

Foto

detikNetwork