Demokrasi Tegangan Tinggi, Politik Ketakutan, dan Harapan Baru
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Kolom

Demokrasi Tegangan Tinggi, Politik Ketakutan, dan Harapan Baru

Jumat, 16 Feb 2024 10:30 WIB
Ganda Febri Kurniawan
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
Dirty Vote
Foto ilustrasi: screenshot YouTube 'Dirty Vote'
Jakarta -

Terhitung dua puluh jam setelah rilis, film Dirty Vote besutan Dandhy Laksono telah ditonton oleh tiga juta lebih pengguna YouTube. Sebuah angka yang tidak bisa diremehkan, mengingat pemilihan umum kali ini sudah sejak awal mengalami goncangan yang berakibat pada meningkatnya eskalasi persaingan antar para pasangan calon presiden dan wakil presiden. Juga di kalangan bawah, masyarakat dihadapkan pada dilema, apakah Jokowi masih seperti yang dulu atau ia telah berubah.

Saya mengamati secara langsung bagaimana film itu diperbincangkan sejak akan dirilis hingga detik-detik perilisannya, yang seketika tautan YouTube langsung menyebar ke berbagai media sosial. Yang menarik, respons dari masing-masing tim pemenangan. Film ini dinilai lebih banyak merugikan pasangan nomor urut 02, dan muncul anggapan bahwa film ini adalah upaya untuk menggerus suara 02.

Ada juga kubu yang menilai film ini sebagai 'pencerahan' di tengah kabut gelap demokrasi, kira-kira itu yang diekspresikan kubu 01. Kubu 03 memberi klarifikasi kecil bahwa dugaan abuse of power dari 03 sulit dibuktikan karena mereka tidak didukung oleh infrastruktur kekuasaan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Respons yang sangat cepat dari semua kubu ini menunjukkan bahwa demokrasi Indonesia hari ini sedang dalam tegangan yang terus meningkat. Demokrasi tegangan tinggi yang dapat menciptakan 'sengatan' yang berbahaya bagi siapa saja.

Film Ilmiah dan Dimensi Peminatnya

ADVERTISEMENT

Tidak semua orang mau menonton film, terlebih film ilmiah yang di dalamnya mengajak penontonnya untuk berpikir. Dirty Vote adalah karya ilmiah yang difilmkan. Di dalam film itu terdapat presentasi dari Bivitri Susanti, Zainal Arifin Mochtar, dan Feri Amsari yang semuanya berlatar akademisi. Film ini diproduksi sebagai sebuah respons atas rentetan peristiwa sepanjang Pemilu 2024, khususnya sentimen yang muncul tentang potensi abuse of power dan politik dinasti.

Data yang dipresentasikan di film ini bersifat aktual, digali melalui metode ilmiah yang baik. Namun, tidak semua orang bisa menerima hasil penelitian ilmiah dengan terbuka, terlebih jika penelitian itu menyangkut aspek politik yang di dalamnya sangat kental nuansa kepentingan. Sejak awal, saya memprediksi bahwa sasaran film ini adalah kalangan terdidik dan perkotaan. Bobot informasi, dialog, dan data yang ditampilkan perlu dibaca dengan kemampuan analisa yang baik. Sehingga, film ini akan sulit menjangkau kalangan di luar yang telah disebutkan.

Menarik minat tiga juta lebih penonton dalam kurun waktu kurang dari dua puluh empat jam adalah proses yang menakjubkan, misalnya kita bandingkan dengan film-film box office Indonesia yang untuk mencapai satu juta penonton saja teramat berat. Sehingga, film ini dapat dikatakan bukan karya biasa. Meskipun jangkauan penontonnya, jika disurvei akan berkumpul di kalangan terdidik, yang artinya mereka yang setidaknya mengenyam pendidikan tinggi, dan kalangan perkotaan yang memiliki kemudahan dalam mengakses informasi dengan infrastruktur yang ada.

Dilihat dari konten isi, film ini bukan tontonan yang mudah bagi masyarakat di pedesaan dan yang tidak terdidik dengan baik. Sehingga akan sulit jika dikatakan bahwa film ini akan dengan mudah menggerus suara 02 di berbagai daerah basis pemenangan. Mengapa begitu? Dari hasil survei terakhir yang dirilis oleh Indikator, basis kuat pendukung 02 adalah 45,5 % berpendidikan maksimal atau setara SMA dan mayoritas berasal dari pedesaan.

Di perkotaan suara 02 ditopang oleh Gen Z yang masih berusia sekolah, saat ini adalah pemilih pemula yang duduk di kelas dua belas. Semuanya bukan pasar bagi film ilmiah semacam Dirty Vote, film itu berkemungkinan kecil dijangkau oleh basis kuat pemilih 02, sehingga dengan sendirinya maka kondisi ini meruntuhkan asumsi dari kubu 02 itu sendiri maupun sebagian kalangan yang telah membuat pernyataan sebelumnya.

Berpolitik Tanpa Pengetahuan

Jika membaca kondisi yang ada, bagaimana kepanikan yang diakibatkan oleh Dirty Vote, rasanya politik Indonesia masih jauh dari nilai-nilai humanis yang didasarkan pada ilmu pengetahuan --riset, wacana, percakapan. Politik Indonesia saat ini didominasi oleh sentimen yang tinggi, aksi-reaksi terhadap apa yang dinilai mendukung dan menentang. Apabila aksi-reaksi itu diekspresikan dengan semangat dialog maupun perdebatan ilmiah, itu akan lebih baik, namun yang terjadi justru ancaman hukum, yang dengan sendirinya menimbulkan ketakutan.

Produksi ketakutan itu pada akhirnya mengantarkan suatu bangsa pada kestabilan semu --yang sebenarnya di bawah, masyarakat berkasak-kusuk, mendiskusikan kebenaran dengan rasa was-was. Penelitian bertajuk The Politics of Fear and the Securitization of African Elections yang ditulis oleh Sarah Jenkins pada 2020 menunjukkan bahwa politik ketakutan diciptakan oleh suatu kelompok (in-group) untuk memojokkan kelompok lain (out-group) atau menarik mereka ke dalam kubu. Politik ketakutan terbiasa dilakukan di Afrika sub-Sahara di antaranya Ghana, Mali, Zimbabwe.

Lebih mudah mengendalikan ketakutan daripada meyakinkan orang untuk memilih --dengan gagasan ataupun program. Rasa takut itu tercipta karena kita tidak percaya diri dengan kemampuan yang dimiliki, di samping kita terus membuka ruang untuk ketakutan itu hidup di dalam diri kita.

Konstruksi politik Indonesia tidak jauh berbeda dari Afrika; setiap kali muncul sebuah gerakan akademis, reaksi yang paling awal adalah kewaspadaan, bukan kesiapan untuk berdialog, merespons dengan narasi tandingan yang berbasis data baru. Suasana politik yang demikian tentu saja akan terus menguntungkan 'pihak-pihak tak terlihat' yang selama ini ikut serta mempengaruhi kebijakan Indonesia, karena tidak ada kemandirian dan idealisme pada diri seorang politisi, terlebih rasa simpatik terhadap ilmu pengetahuan yang dapat menjadi pijakan kuat untuk berwacana, merespons keadaan yang sedang terjadi, sehingga setiap statement politik tidak berimplikasi pada usaha menghukum dalam arti yang sebenarnya.

Dirty Vote adalah karya ilmiah yang menyajikan kekayaan data tentang penyalahgunaan oleh kekuasaan. Isinya berupa narasi yang berupaya untuk memberikan pencerahan tentang kondisi terkini demokrasi Indonesia, namun sangat disayangkan apabila respons yang muncul justru mencerminkan sifat ketegangan, amarah, dan tuduhan yang justru mencederai politik itu sendiri.

Sudah waktunya partai politik membuat grand design sekolah kepartaian modern yang dapat mendidik kadernya untuk mampu membaca dan merespon wacana ilmiah tanpa ketegangan - ide dijawab ide, data dijawab data, suatu usaha mengedepankan dialog daripada 'menghukum orang-orang yang menghambat untuk mencapai kekuasaan', rasa-rasanya era itu harus segera diakhiri dengan kaderisasi partai yang melibatkan banyak pihak, termasuk akademisi.

Mengupayakan 'Politik Harapan'

Politik ketakutan menjadi senjata yang efektif dalam pemilu-pemilu di Afrika; di Indonesia, potensi itu masih ada, dan sedang berlangsung dalam pemilu kali ini. Di tengah situasi yang 'panas' akibat gerakan segelintir orang, tidak seharusnya ketakutan itu dipelihara - disebarkan ke masyarakat umum, yang menyumbangkan pikirannya bagi perbaikan demokrasi.

Jika setiap perbedaan pendapat selalu bermuara pada ancaman hukuman, maka apa yang akan diharapkan dari masa depan 'Indonesia Emas' yang selama ini digaungkan. Sudah saatnya, politik harapan atau politics of hope itu diupayakan, dengan usaha setiap hari dari setiap warga negara, dengan caranya masing-masing.

Untuk itu, pihak-pihak dalam kontestasi, atau yang sedang berjuang meraih kekuasaan tidak semestinya memberikan pernyataan yang sifatnya menuduh atau mengancam, dari analisis di atas, rasanya kesalahan membaca data dan informasi telah menciptakan kesalahan tafsir, yang justru melahirkan wacana yang kontraproduktif dengan harapan yang sedang diperjuangkan.

Bagaimanapun, Dirty Vote ini adalah karya dari putra-putra terbaik bangsa, yang hendak menyumbangkan gagasan untuk peningkatan kualitas demokrasi Indonesia. Di sisi lain, Dirty Vote yang telah membuka mata sebagian kalangan itu, dapat menjadi pijakan untuk menumbuhkan harapan baru bagi perbaikan sistem politik. Jika kita sedang sakit dan pergi ke dokter, tentu saja kita ingin tahu, apa yang menyebabkan kita sakit, dan setelah tahu - dokter memberi resep, sakit pun reda. Hanya orang gila yang tidak mau sakitnya diobati --karena tak pernah merasa dirinya sakit.

Masalahnya apakah kita menyadari 'rasa sakit' itu, apakah kita lebih senang hidup dalam bayang-bayang silent killer yang dapat meledak sewaktu-waktu tanpa sempat diobati. Mungkin sudah waktunya kita merefleksikan ini semua sebagai pendewasaan dalam berdemokrasi, dan pada akhirnya tegangan tinggi itu perlahan akan mereda, sehingga demokrasi kembali sehat dan pulih dalam jalannya cita-cita reformasi kita.

Ganda Febri Kurniawan dosen Sejarah Politik FISIP UNNES

(mmu/mmu)



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Hide Ads