Polemik Batu Bara dan Menagih Janji Transisi Energi
Bagikan opini, gagasan, atau sudut pandang Anda mengenai isu-isu terkini
Kirim Tulisan

Polemik Batu Bara dan Menagih Janji Transisi Energi

Jumat, 02 Feb 2024 09:54 WIB
Monica Ratna
Catatan: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi detik.com
A machine loads a BelAZ dump-body truck with coal at the Chernigovsky opencast colliery, outside the town of Beryozovsky, Kemerovo region, Siberia, Russia, April 4, 2016. REUTERS/Ilya Naymushin/File Photo
Foto: Ilustrasi batu bara (REUTERS/Ilya Naymushin/File Photo)
Jakarta -

Mobilisasi sumber daya untuk ekonomi berkelanjutan perlu dibarengi komitmen penghentian pembiayaan ke sektor yang merusak lingkungan. Taksonomi hijau yang berisi kategorisasi sektor usaha yang berhak mendapat dukungan pembiayaan hijau merupakan salah satu wujud nyata komitmen tersebut.

Namun, OJK menunjukkan upaya setengah hati dalam draf Taksonomi Berkelanjutan Indonesia (TBI) yang memungkinkan kegiatan usaha tambang batu bara dan migas untuk dikategorikan sebagai sektor transisi. Kontradiksi tersebut berpotensi menggagalkan agenda penurunan emisi karbon.

TBI merupakan pengganti Taksonomi Hijau Indonesia (THI) yang dipublikasikan 2022. Taksonomi tersebut menjadi mekanisme klasifikasi berbagai kegiatan industri berdasarkan klasifikasi baku lapangan usaha Indonesia (KBLI) ke dalam sejumlah kelompok warna yang menunjukkan dampak lingkungan. Berbeda dengan THI yang memiliki tiga kategori, yaitu hijau, kuning, dan merah; draft TBI yang diterbitkan pada tahun 2023 hanya memiliki dua kategori, yaitu hijau dan kuning.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

OJK memulai langkah tegas dengan memungkinkan suatu kegiatan usaha diberi kategori merah dalam THI versi pertama. Namun keadaan langsung berbalik kala OJK mengumumkan wacana untuk memasukkan batu bara ke dalam kategori hijau.

Kritik keras bahwa OJK membuka peluang greenwashing pun bergema dari berbagai kalangan pegiat lingkungan dan akademisi. Usai perdebatan tersebut, OJK melalui TBI yang dirilis di bulan November 2023 mencoba menawar dengan mengkategorikan pertambangan batu bara serta migas ke dalam kelompok transisi. Bahkan, kini TBI tidak mengakomodasi label merah.

ADVERTISEMENT

Artinya, apabila memenuhi syarat tertentu, kegiatan pertambangan batu bara dan migas masih dapat memperoleh kategori transisi dan dana dari perbankan yang membiayainya tidak akan diperhitungkan sebagai pendanaan ke sektor 'kotor'. Hal ini jelas menimbulkan masalah besar.

Pasalnya, sangat jelas bahwa batu bara, migas, dan turunannya merupakan antitesis dari energi hijau, dengan sumbangan lebih dari 93% total emisi karbon dunia pada tahun 2022.

Dari risiko greenwashing, kini TBI juga berisiko menjadi sarana transition-washing. Sekalipun terdapat sejumlah syarat dalam TBI agar sektor migas dan batu bara dapat diberi label transisi, persyaratan tersebut tidaklah bebas dari masalah.

Misalnya, persyaratan utama untuk batu bara dan migas yang hanya mewajibkan pemangkasan emisi karbon pada tahun 2030 lebih dari 12,5% dari kegiatan bisnis sehari-hari patut dipertanyakan.

Selain kecilnya syarat pengurangan emisi, penggunaan angka emisi karbon dari kegiatan bisnis sehari-hari dari masing-masing perusahaan sebagai angka dasar tolok ukur sangat tidak akuntabel.

Persyaratan lain berupa predikat Public Disclosure Program for Environmental Compliance (PROPER) kategori Hijau yang dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) juga jelas tidak cukup untuk menunjukkan bahwa suatu perusahaan memiliki dampak lingkungan dan keberlanjutan yang baik, apalagi pada perusahaan batu bara dan migas. PROPER Hijau pun bukanlah predikat tertinggi dalam standar KLHK.

Terdapat peringkat yang lebih tinggi yaitu PROPER Emas. Namun, pada perusahaan yang telah berstatus PROPER Emas sekalipun, seperti PT Adaro Indonesia, masih terdapat kasus pencemaran lingkungan dan konflik sosial yang bertentangan dengan esensi taksonomi hijau dan keberlanjutan.

OJK harus menyadari bahwa dengan standar apapun, sektor batu bara tidak akan pernah selaras dengan keberlanjutan lingkungan. Alasan OJK bahwa kegiatan batu bara masih dibutuhkan untuk mendukung transisi tidak dapat diterima.

Tanpa penghentian pendanaan, pelaku sektor batu bara dan migas tidak akan memiliki disinsentif untuk beralih ke sektor energi terbarukan. Selain itu, keengganan OJK untuk
melabeli sektor 'merah' secara jelas justru memberikan sinyal pada investor bahwa Indonesia tidak konsisten dalam mengeksekusi kebijakan transisi energi. Persepsi terhadap prospek jangka panjang transisi juga akan mempengaruhi perhitungan risiko investor.

Apabila tingkat risiko suatu negara dianggap terlalu tinggi karena keberlanjutan kegiatan transisinya dipertanyakan, ada kemungkinan pendanaan akan dibatalkan atau dilanjutkan tetapi dengan biaya bunga yang lebih tinggi.

Jika argumen OJK adalah dampak negatif terhadap perekonomian, perlu dicermati bahwa efek emisi kegiatan industri ini sukar dijustifikasi. Dalam kurun waktu 2016-2022 saja emisi karbon dari PLTU batu bara di Indonesia naik lebih dari 55% dengan kenaikan rata-rata tahunan sebesar 6,57%.

Ironisnya, rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia pada periode yang sama hanya sebesar 3.89%. Selain itu, penurunan kualitas kesehatan masyarakat dari polusi sektor-sektor tersebut juga menimbulkan kerugian ekonomi.

Sebaliknya, sebuah model mengestimasi manfaat penghentian sektor batu bara terhadap kesehatan publik dapat mencapai sekitar US$ 3,8 triliun atau Rp 60 ribu triliun setiap tahunnya secara global.

OJK wajib mencermati kembali draf TBI. Apabila OJK hendak mendukung transisi melalui batu bara, maka satu-satunya kegiatan yang layak diberi kategori transisi atau bahkan hijau adalah pensiun dini PLTU yang akan digantikan oleh sumber energi terbarukan.

Langkah ini sudah dimulai OJK dengan memasukkan pensiun dini PLTU dalam kategori hijau, meskipun belum menyertakan kriteria rencana substitusi dengan pembangkit listrik ramah lingkungan.

Selain itu, kategori 'merah' atau 'non-eligible' tetap perlu disertakan dalam TBI. Pada hakikatnya taksonomi hijau didedikasikan untuk mengidentifikasi sektor hijau yang benar benar layak diberikan sumber daya keuangan lebih besar, bukan menyembunyikan sektor 'kotor' agar tetap dapat mengakses pendanaan.

Kebijakan yang konsisten dari OJK dalam Taksonomi Berkelanjutan akan mendukung langkah transisi Indonesia dalam mencapai target nol emisi di 2050.

Monica Ratna. Economic Researcher Center of Economic and Law Studies (CELIOS)

(rdp/rdp)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini
Selengkapnya



Ajang penghargaan persembahan detikcom dengan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI) untuk menjaring jaksa-jaksa tangguh dan berprestasi di seluruh Indonesia.
Ajang penghargaan persembahan detikcom bersama Polri kepada sosok polisi teladan. Baca beragam kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini.
Hide Ads